Belakangan
ini marak sekali berita baik di online maupun koran nasional menyoroti salah
satu tokoh politik yang bermasalah dengan tuduhan penistaan agama. Ya, semua
orang sudah tahu; Ahok. Gubernur Jakarta yang dikenal tegas dan blak – blakan (mungkin
banyak yang beranggapan cenderung kasar). Beliau berasal dari daerah yang sama
dengan saya, Bangka Belitung. Saya Bangka dan beliau Belitung. Bangka Belitung
adalah sebuah provinsi dengan pulau yang berbeda. Pulau Bangka dan Belitung
dipisahkan oleh selat Belitung, dari yang saya pelajari saat masih duduk di
bangku SD. Sering sekali saya bertemu orang baru yang bertanya daerah asal
saya, begitu saya jawab Bangka Belitung lantas mereka akan refleks mengatakan “Tetangga
Pak Ahok ya?”. Seharusnya saya menjawab tidak, karena memang kita tinggal di
pulau yang berbeda. Hanya pulaunya saja yang bertetangga, seperti pulau Bangka
bertetangga juga dengan pulau Sumatra. Ya begitulah. Tetapi untuk mempersingkat
obrolan biasanya saya hanya menjawab dengan sebuah senyuman.
Saya
tidak kenal Bapak Ahok, karena kami memang tidak bertetangga. Saya hanya tahu
beliau dari televisi dan berita saja, bahkan saya juga belum pernah bertemu
beliau jadi saya tidak tahu sosok seperti apa beliau. Karena itu saya bukan pendukung
Bapak Ahok, bukan pula pembenci Bapak Ahok. Tulisan ini saya buat karena
sebenarnya saya cukup gerah dengan banyaknya berita yang menuliskan tentang
masalah beliau yang menurut saya terlalu dibesar – besarkan.
Pertama,
beliau dituduh menistakan agama Islam. Ya, saya tidak akan berkomentar banyak
tentang hal ini. Karena saya tahu, ternyata mengenai agama merupakan hal yang
sangat sensitif untuk dibahas. Terlebih saya bukan orang yang paham betul
mengenai agama, rasanya memperdebatkan atau mengulas agama secara mendalam,
hmmm ilmu saya masih sangat cetek. Salah bicara justru hanya akan menambah
dosa.
Terlepas
dari benar atau tidaknya tuduhan tersebut, kenyataannya Bapak Ahok sekarang
berakhir dengan mencicipi dinginnya tidur di balik jeruji besi penjara.
Disinilah kegerahan saya mulai timbul. Melihat media yang tidak henti –
hentinya membahas kejadian tersebut. Beberapa hari berturut – turut headline
news dipenuhi dengan cerita Pak Ahok yang masuk penjara dan para pembenci Pak
Ahok yang berpesta pora merayakannya. Tidak sedikit berita yang terkesan
menyudutkan, atau sebenarnya tidak menyudutkan tetapi untuk beberapa orang
berita tersebut justru menyakitkan. Disini, saya bukan memihak pendukung Pak Ahok
yang mungkin kesal setengah mati dengan berita tersebut. Saya tahu, tentu ada
kepentingan politik di balik itu semua.
Media,
atau mungkin banyak orang lupa, yang mengkonsumsi berita tersebut bukan hanya
pendukung dan pembenci Pak Ahok saja. Pendukung Pak Ahok, tentu akan kesal,
sama halnya seperti pembenci Pak Ahok, tentu sangat senang dengan pemberitaan
seperti itu. Namun, ada segelintir orang yang kita tidak pernah tahu seberapa
besar pengaruh berita semacam itu dalam hidupnya; ya, keluarga. Terutama istri
dan anak – anaknya.
Laki
– laki di dunia ini tak terhitung banyaknya, dan semua tidak ada yang sempurna.
Termasuk Pak Ahok. Saat ini saya tidak melihat beliau sebagai sosok yang
dituduh sebagai seorang penista agama atau pejabat tinggi provinsi, namun saya
melihat beliau sebagai sosok kepala keluarga. Ya, kepala keluarga; seorang
suami dan seorang ayah. Selama beliau tidak berusaha menciderai anak dan
istrinya, seburuk apapun laki – laki, jika dia seorang kepala keluarga tetaplah
menjadi sosok yang dihormati dan dicintai.
Para
penulis berita, atau yang menikmati berita semacam itu dengan penuh sukacita,
bukankah mereka juga memiliki sosok ayah atau suami atau anak yang mereka cintai?
Dan bukankah sosok ayah, suami atau anak yang mereka cintai itu juga pernah
melakukan kesalahan? Fatal atau tidaknya kesalahan tersebut, saya rasa sebagai seorang
anak atau istri dan juga orangtua pasti akan sangat terluka ketika melihat
orang yang kita cintai dan hormati diperlakukan dengan buruk. Posisi itu, memang
tidak semua orang bisa mengetahui bagaimana rasanya. Namun saya tahu. Saya tahu
dengan jelas bagaimana rasanya melihat orang lain membahas kesalahan yang
dilakukan anggota keluargamu berulang – ulang, saya tahu dengan jelas bagaimana
sedihnya melihat ibu atau saudaramu menangis membaca berita – berita semacam
itu di koran atau internet, saya juga tahu dengan jelas bagaimana rasanya
saling menguatkan anggota keluargamu satu sama lain setelah membaca berita
tersebut.
Pendukung
Pak Ahok pasti marah dan sedih, tapi mereka tidak akan lebih sedih dari anak, istri
dan orangtua sosok yang didukungnya. Pendukung Pak Ahok pasti merasa tersakiti,
tapi mereka tidak akan lebih tersakiti dari anak, istri dan orangtua sosok yang
didukungnya. Saya rasa hati dan nurani media sudah lama mati untuk menyadari
keberadaan sosok keluarga dibalik setiap sosok yang dibicarakannya. Bukan hanya
Pak Ahok, tetapi siapa saja yang kesalahannya digambarkan secara gamblang dan
nyata oleh media.
Bisa
jadi media tidak salah, toh memang tugas mereka memberikan informasi ke
masyarakat yang dikemas semenarik mungkin untuk bisa dikomentari secara bebas
oleh siapa saja. Tapi sebagai pemberi dan penerima informasi, bukankah kita
juga harus menyisipkan sisi kemanusiaan untuk menyikapi setiap pemberitaan?
Saya sering sekali membaca artikel atau tulisan yang setelahnya menimbulkan
beragam komentar pedas atau buruk terhadap sosok yang dibicarakan dalam
artikel. Salah satu contohnya ya Pak Ahok tadi. Sekali lagi saya tekankan, saya
bukan pembela Pak Ahok. Masyarakat dengan gampang sekali mengucapkan kata kasar
atau menghakimi seseorang hanya lewat segelintir berita yang tidak mutlak
kebenarannya. Tidak sedikit juga yang akhirnya ikut membully keluarga sosok
yang dibicarakannya. Hey, you’re so damn immature! Dalam hal ini saya
kembalikan lagi, seharusnya mereka bisa lebih menahan opininya hanya untuk
menghargai perasaan keluarga sosok yang akan dikomentarinya. Semua orang memang
bebas berbicara atau mengungkapkan pendapat apapun, tetapi bukankah yang paling
mengenal kita adalah orang yang selalu berada di sisi kita, yang menghabiskan
waktu bersama kita, yang menemani saat suka dan duka?
Saya
sangat berharap masyarakat saat ini bisa jauh lebih bijak menyikapi berbagai
pemberitaan, baik pembuat berita maupun yang mengkonsumsi berita. Jangan berkomentar
sembarangan jika memang tidak tahu duduk persoalannya. Jangan menghakimi
seseorang hanya melalui salah satu sikap yang ditunjukkannya. Terlebih lagi,
jangan memukul rata sikap buruk seseorang ke keluarga atau sukunya. Everyone
makes mistakes. Dan kita bukan Tuhan yang bebas menghakimi seseorang. Hukum
yang berlaku di negara, biarkan saja berjalan seperti seharusnya. Tidak perlu
ditentang, karena sejatinya kita tahu hukum paling adil adalah yang datangnya
dari Allah SWT. Kita hanya perlu SALING menasihati jika melakukan kesalahan,
dan MENDOAKAN agar kita dan orang tersebut tidak melakukan kesalahan yang sama
di hari akan datang. Jadi sebelum berujar, gunakanlah pikiran dan hati. Karena
kita semua ini hanya manusia biasa, tidak ada yang sempurna.
