Senin, 15 Mei 2017

Be wise, please..


                Belakangan ini marak sekali berita baik di online maupun koran nasional menyoroti salah satu tokoh politik yang bermasalah dengan tuduhan penistaan agama. Ya, semua orang sudah tahu; Ahok. Gubernur Jakarta yang dikenal tegas dan blak – blakan (mungkin banyak yang beranggapan cenderung kasar). Beliau berasal dari daerah yang sama dengan saya, Bangka Belitung. Saya Bangka dan beliau Belitung. Bangka Belitung adalah sebuah provinsi dengan pulau yang berbeda. Pulau Bangka dan Belitung dipisahkan oleh selat Belitung, dari yang saya pelajari saat masih duduk di bangku SD. Sering sekali saya bertemu orang baru yang bertanya daerah asal saya, begitu saya jawab Bangka Belitung lantas mereka akan refleks mengatakan “Tetangga Pak Ahok ya?”. Seharusnya saya menjawab tidak, karena memang kita tinggal di pulau yang berbeda. Hanya pulaunya saja yang bertetangga, seperti pulau Bangka bertetangga juga dengan pulau Sumatra. Ya begitulah. Tetapi untuk mempersingkat obrolan biasanya saya hanya menjawab dengan sebuah senyuman.
                Saya tidak kenal Bapak Ahok, karena kami memang tidak bertetangga. Saya hanya tahu beliau dari televisi dan berita saja, bahkan saya juga belum pernah bertemu beliau jadi saya tidak tahu sosok seperti apa beliau. Karena itu saya bukan pendukung Bapak Ahok, bukan pula pembenci Bapak Ahok. Tulisan ini saya buat karena sebenarnya saya cukup gerah dengan banyaknya berita yang menuliskan tentang masalah beliau yang menurut saya terlalu dibesar – besarkan.
                Pertama, beliau dituduh menistakan agama Islam. Ya, saya tidak akan berkomentar banyak tentang hal ini. Karena saya tahu, ternyata mengenai agama merupakan hal yang sangat sensitif untuk dibahas. Terlebih saya bukan orang yang paham betul mengenai agama, rasanya memperdebatkan atau mengulas agama secara mendalam, hmmm ilmu saya masih sangat cetek. Salah bicara justru hanya akan menambah dosa.
                Terlepas dari benar atau tidaknya tuduhan tersebut, kenyataannya Bapak Ahok sekarang berakhir dengan mencicipi dinginnya tidur di balik jeruji besi penjara. Disinilah kegerahan saya mulai timbul. Melihat media yang tidak henti – hentinya membahas kejadian tersebut. Beberapa hari berturut – turut headline news dipenuhi dengan cerita Pak Ahok yang masuk penjara dan para pembenci Pak Ahok yang berpesta pora merayakannya. Tidak sedikit berita yang terkesan menyudutkan, atau sebenarnya tidak menyudutkan tetapi untuk beberapa orang berita tersebut justru menyakitkan. Disini, saya bukan memihak pendukung Pak Ahok yang mungkin kesal setengah mati dengan berita tersebut. Saya tahu, tentu ada kepentingan politik di balik itu semua.
                Media, atau mungkin banyak orang lupa, yang mengkonsumsi berita tersebut bukan hanya pendukung dan pembenci Pak Ahok saja. Pendukung Pak Ahok, tentu akan kesal, sama halnya seperti pembenci Pak Ahok, tentu sangat senang dengan pemberitaan seperti itu. Namun, ada segelintir orang yang kita tidak pernah tahu seberapa besar pengaruh berita semacam itu dalam hidupnya; ya, keluarga. Terutama istri dan anak – anaknya.
                Laki – laki di dunia ini tak terhitung banyaknya, dan semua tidak ada yang sempurna. Termasuk Pak Ahok. Saat ini saya tidak melihat beliau sebagai sosok yang dituduh sebagai seorang penista agama atau pejabat tinggi provinsi, namun saya melihat beliau sebagai sosok kepala keluarga. Ya, kepala keluarga; seorang suami dan seorang ayah. Selama beliau tidak berusaha menciderai anak dan istrinya, seburuk apapun laki – laki, jika dia seorang kepala keluarga tetaplah menjadi sosok yang dihormati dan dicintai.
                Para penulis berita, atau yang menikmati berita semacam itu dengan penuh sukacita, bukankah mereka juga memiliki sosok ayah atau suami atau anak yang mereka cintai? Dan bukankah sosok ayah, suami atau anak yang mereka cintai itu juga pernah melakukan kesalahan? Fatal atau tidaknya kesalahan tersebut, saya rasa sebagai seorang anak atau istri dan juga orangtua pasti akan sangat terluka ketika melihat orang yang kita cintai dan hormati diperlakukan dengan buruk. Posisi itu, memang tidak semua orang bisa mengetahui bagaimana rasanya. Namun saya tahu. Saya tahu dengan jelas bagaimana rasanya melihat orang lain membahas kesalahan yang dilakukan anggota keluargamu berulang – ulang, saya tahu dengan jelas bagaimana sedihnya melihat ibu atau saudaramu menangis membaca berita – berita semacam itu di koran atau internet, saya juga tahu dengan jelas bagaimana rasanya saling menguatkan anggota keluargamu satu sama lain setelah membaca berita tersebut.
                Pendukung Pak Ahok pasti marah dan sedih, tapi mereka tidak akan lebih sedih dari anak, istri dan orangtua sosok yang didukungnya. Pendukung Pak Ahok pasti merasa tersakiti, tapi mereka tidak akan lebih tersakiti dari anak, istri dan orangtua sosok yang didukungnya. Saya rasa hati dan nurani media sudah lama mati untuk menyadari keberadaan sosok keluarga dibalik setiap sosok yang dibicarakannya. Bukan hanya Pak Ahok, tetapi siapa saja yang kesalahannya digambarkan secara gamblang dan nyata oleh media.
                Bisa jadi media tidak salah, toh memang tugas mereka memberikan informasi ke masyarakat yang dikemas semenarik mungkin untuk bisa dikomentari secara bebas oleh siapa saja. Tapi sebagai pemberi dan penerima informasi, bukankah kita juga harus menyisipkan sisi kemanusiaan untuk menyikapi setiap pemberitaan? Saya sering sekali membaca artikel atau tulisan yang setelahnya menimbulkan beragam komentar pedas atau buruk terhadap sosok yang dibicarakan dalam artikel. Salah satu contohnya ya Pak Ahok tadi. Sekali lagi saya tekankan, saya bukan pembela Pak Ahok. Masyarakat dengan gampang sekali mengucapkan kata kasar atau menghakimi seseorang hanya lewat segelintir berita yang tidak mutlak kebenarannya. Tidak sedikit juga yang akhirnya ikut membully keluarga sosok yang dibicarakannya. Hey, you’re so damn immature! Dalam hal ini saya kembalikan lagi, seharusnya mereka bisa lebih menahan opininya hanya untuk menghargai perasaan keluarga sosok yang akan dikomentarinya. Semua orang memang bebas berbicara atau mengungkapkan pendapat apapun, tetapi bukankah yang paling mengenal kita adalah orang yang selalu berada di sisi kita, yang menghabiskan waktu bersama kita, yang menemani saat suka dan duka?
                Saya sangat berharap masyarakat saat ini bisa jauh lebih bijak menyikapi berbagai pemberitaan, baik pembuat berita maupun yang mengkonsumsi berita. Jangan berkomentar sembarangan jika memang tidak tahu duduk persoalannya. Jangan menghakimi seseorang hanya melalui salah satu sikap yang ditunjukkannya. Terlebih lagi, jangan memukul rata sikap buruk seseorang ke keluarga atau sukunya. Everyone makes mistakes. Dan kita bukan Tuhan yang bebas menghakimi seseorang. Hukum yang berlaku di negara, biarkan saja berjalan seperti seharusnya. Tidak perlu ditentang, karena sejatinya kita tahu hukum paling adil adalah yang datangnya dari Allah SWT. Kita hanya perlu SALING menasihati jika melakukan kesalahan, dan MENDOAKAN agar kita dan orang tersebut tidak melakukan kesalahan yang sama di hari akan datang. Jadi sebelum berujar, gunakanlah pikiran dan hati. Karena kita semua ini hanya manusia biasa, tidak ada yang sempurna.

0 komentar:

Posting Komentar

 

This Template Was Found On Elfrida Chania's Blog