Kamis, 21 September 2017

Proses..



Saya ingat salah satu omongan sahabat saya beberapa waktu lalu “Setiap orang akan menempuh jalan hidup yang berkelok – kelok, ngga ada yang lurus. Hanya saja setiap orang mempunyai kelokan yang berbeda.”
Iya, untuk saat ini kalimat itu persis menggambarkan kehidupan ‘koas’ kita yang berjalan sudah hampir 3 tahun. Tiga tahun! Sekolah pasca sarjana aja kebanyakan hanya butuh waktu dua tahun. Tahun – tahun genting dimana kita yang dianggap ‘angkatan tua’ sudah kehabisan stock pasien, ngga dapet jatah kursi, tiap ketemu dosen ditanyain “kamu kurang pasien apa?”, kalau orangtua nanya kapan selesai mulai keringat dingin, dan sensasi – sensasi lain yang hanya anak koas KG yang tahu.
Dulu awal koas, dalam satu bulan saya dan teman – teman bisa mengerjakan banyak sekali requirement pasien. Setiap hari produktif. Sehari ngga kerja pasien rasanya pusing keliling keliling cari pasien ganti, karena sayang jatah kursi yang kita punya. Mau diskusi kasus pun dijadwalin dan dirundingin banget sama kelompok biar ngga bingung pembagian waktunya. Jam koas pun teratur banget, termasuk waktu makan.
Sekarang, duh masyaallah semuanya kayak benang kusut. Berangkat koas semaunya aja, pulang pun gitu. Di rumah sakit pun kadang bingung dan bengong ngga tau mau ngerjain apa. Garap resus dan follow up, duh malesnya luar biasa. Nyari pasien keliling kampung ngga nemu juga. Kalau ini sih ya karena kita cuma nyari pasien sisa requirement atau ujian yang kita belum punya aja, makanya rada susah. Belum lagi banyak drama yang terjadi antara pasien dan koas yang mungkin kalau diangkat ke film, bikin mewek banyak penonton. Hahaha.
Ini ada salah satu dari sekelumit cerita anak koas KG (cerita temen saya). Jadi temen saya hanya kurang satu ujian lagi untuk bisa ikut ujian Kompre, dan ujian yang dibutuhkan tersebut adalah ujian scalling (OHI buruk). Tahu dong yaa, yang namanya pasien Scalling itu tumpah ruah banget. Dulu scalling pasien tiap hari sampe udah bosen, ketemu pasien baru scalling meneh scalling meneh. Tapi inii, teman saya nyari pasien scalling yang bisa diindikasi untuk ujian sampai berbulan – bulan. Berapa kali teman saya harus ganti pasien karena pasien yang dibawa tidak memenuhi syarat untuk dijadikan pasien ujian. Alasannya ya selalu keadaan rongga mulutnya kurang kotor, kalkulus (karang gigi)nya kurang banyak. Singkat cerita akhirnya teman saya menemukanlah pasien yang bisa diindikasikan buat ujian (setelah berbulan – bulan lamanya) yaitu pengasuh anak teman saya yang lain (sesama koas juga). Ujian berjalan lancar, laluuuu bukan ujian namanya kalau semuanya lancar – lancar aja. Selalu ada ‘ujian’ di dalam ujian. Pasien teman saya ini pulang kampung ke Tasikmalaya dan resign dari kerjaannya sebagai pengasuh anak teman saya, sebelum pasien ini kontrol ujian. Padahal yang namanya ujian harus dengan kontrol biar ujiannya dianggap sah. Kalang kabutlah teman saya, panik sampai nangis karena mikirnya udah ngulang cari pasien lagi dari awal. Akhirnya setelah telfon pasien dan bujuk – bujuk agar pasien mau balik ke Jogja sebentar, pasien oke balik ke Jogja dengan biaya transportasi dan akomodasi ditanggung teman saya. Tau berapa biaya yang dihabiskan teman saya untuk bisa datengin pasien kontrol Scalling? Satu juta. Demi kontrol ujian yang biaya administrasi di rumah sakitnya cuma delapan ribu rupiah. Demi biar bisa lulus koas cepet (walaupun sebenernya kita udah telat). Satu juta, kalau saya udah nangis darah mau nyari uang kemanaaa dalam waktu singkat demi pasien. Alhamdulillahnya dia akhirnya bisa selesai ujian, dengan perjuangan penuh airmata, uang, dan darah.
Kalau saya? Beda cerita lagi. Saya kurang satu ujian lagi juga untuk bisa ikut ujian Kompre, dan ujian yang dibutuhkan adalah ujian cabut. ‘Waaah gampang dong ujian cabut?’ ‘Enak tuh ujian cabut doang’ ‘Ah masa ujian cabut doang ga bisa?’ Kesannya sih gitu. Kenyataannya juga sama seperti teman saya tadi, saya berbulan – bulan juga mencari pasien yang bisa saya jadikan pasien ujian. Mungkin saya yang terlalu selektif dan hati – hati mencari pasien, karena sebenernya agak keder juga dapet dosen penguji yang saya anggap ‘killer’. Sebenarnya saya sudah maju ujian dengan beliau sekali, ngga berhasil karena time limitnya habis dan pasien akhirnya diambil alih dikerjakan oleh dosen penguji. Ini sih memang kesalahan saya. Tapi pas apes juga mungkin, mood dosen saya waktu itu sedang kurang baik, karena dosen ini memarahi saya di depan pasien (Well, dimarahin dosen tentang kasus pasien itu sudah seperti makanan kita sehari – hari). Tapi untuk pasien ya mungkin kaget juga sih ya karena pasien saya sampai gemetaran takut dan saya jadi ngga enak banget sama pasiennya. Setelah drama ujian pertama selesai, saya harus mengulang ujian, artinya cari pasien lagi. Berhubung waktu terpotong puasa (saat sedang puasa pasien tidak disarankan untuk melakukan pencabutan, setelah buka puasa pasien lebih banyak memilih tarawih aja daripada ke dokter gigi) dan libur lebaran, saya baru bisa cari pasien lagi setelah lebaran. Keliling sana sini, minta teman sana sini akhirnya dapetlah saya kontak si pasien. Setelah pasien saya datangkan dan saya rontgen, saya tinggal janjian jadwal ujian lagi dengan dosen penguji (tetap dosen yang sama dengan yang sebelumnya). Jadwal sudah oke, pas hari H pasien saya ngga ada kabar sama sekali. Dihubungi ngga bisa, dan akhirnya saya batal ujian. Beberapa hari setelahnya pasien saya berkabar dan mengatakan bahwa handphonenya rusak, ya tapi kalau sudah janji setidaknya pasien bisa datang kan? Positive thinking aja, mungkin ngga bisa datang karena lagi service handphone (?). Saya tanya lagi ke pasien bisa kapan untuk mengatur jadwal kembali, dengan berbagai alasan mulai dari sibuk panitia ospek, pulang kampung idul adha, sedang haid (ya memang kalau sedang haid juga tidak terlalu dianjurkan melakukan pencabutan), sampai pasien kembali tidak bisa dihubungi hampir dua minggu sehingga molorlah jadwal ujian saya sampai sudah hampir dua bulan berlalu. Masalahnya untuk kembali nyari pasien dari awal lagi itu nggak mudah, udah punya pasien pun kadang pasiennya ngga kooperatif seperti ini ya menghambat sekali.
Ya begitulah drama dibalik kehidupan koas kita. Ngga semuanya lancar seperti yang dilihat orang dari luar. Ngga semuanya gampang segampang orang – orang yang sering bertanya “KG kan cuma ngurusin gigi doang? Kok koasnya lama?” Hahaha, sering banget ditanya begini. People always judge the book by its cover. They don’t know you until they in exactly the same position with you. And you don’t have to make sure about how far they know you. Jadi yaudah, jalani aja prosesnya dengan ikhlas. Terkadang kita terlalu sibuk memperhatikan bagaimana jalan hidup orang lain terlihat begitu mudah, sehingga lupa bersyukur dan menyadari bahwa setiap apapun yang kita lewati itu selalu ada maksud dan tujuannya dari Yang di Atas. Seperti kata teman saya tadi, setiap orang mempunyai kelokan dan kerikil yang berbeda. And we are blessed in different ways. Barakallah.


Nb: Sampai tulisan ini dipost, saya belum jadi ujian cabut lagi. Kali ini karena jadwal dosennya yang tugas keluar kota. Hiks. Tapi tetap ya semangat karena perjuangan masih belum berakhir.

0 komentar:

Posting Komentar

 

This Template Was Found On Elfrida Chania's Blog