Saya ingat salah satu omongan
sahabat saya beberapa waktu lalu “Setiap orang akan menempuh jalan hidup yang
berkelok – kelok, ngga ada yang lurus. Hanya saja setiap orang mempunyai
kelokan yang berbeda.”
Iya, untuk saat ini kalimat itu
persis menggambarkan kehidupan ‘koas’ kita yang berjalan sudah hampir 3 tahun.
Tiga tahun! Sekolah pasca sarjana aja kebanyakan hanya butuh waktu dua tahun.
Tahun – tahun genting dimana kita yang dianggap ‘angkatan tua’ sudah kehabisan
stock pasien, ngga dapet jatah kursi, tiap ketemu dosen ditanyain “kamu kurang
pasien apa?”, kalau orangtua nanya kapan selesai mulai keringat dingin, dan
sensasi – sensasi lain yang hanya anak koas KG yang tahu.
Dulu awal koas, dalam satu bulan
saya dan teman – teman bisa mengerjakan banyak sekali requirement pasien.
Setiap hari produktif. Sehari ngga kerja pasien rasanya pusing keliling
keliling cari pasien ganti, karena sayang jatah kursi yang kita punya. Mau
diskusi kasus pun dijadwalin dan dirundingin banget sama kelompok biar ngga
bingung pembagian waktunya. Jam koas pun teratur banget, termasuk waktu makan.
Sekarang, duh masyaallah semuanya
kayak benang kusut. Berangkat koas semaunya aja, pulang pun gitu. Di rumah
sakit pun kadang bingung dan bengong ngga tau mau ngerjain apa. Garap resus dan
follow up, duh malesnya luar biasa. Nyari pasien keliling kampung ngga nemu
juga. Kalau ini sih ya karena kita cuma nyari pasien sisa requirement atau
ujian yang kita belum punya aja, makanya rada susah. Belum lagi banyak drama
yang terjadi antara pasien dan koas yang mungkin kalau diangkat ke film, bikin mewek
banyak penonton. Hahaha.
Ini ada salah satu dari sekelumit
cerita anak koas KG (cerita temen saya). Jadi temen saya hanya kurang satu
ujian lagi untuk bisa ikut ujian Kompre, dan ujian yang dibutuhkan tersebut
adalah ujian scalling (OHI buruk). Tahu dong yaa, yang namanya pasien Scalling
itu tumpah ruah banget. Dulu scalling pasien tiap hari sampe udah bosen, ketemu
pasien baru scalling meneh scalling meneh. Tapi inii, teman saya nyari pasien
scalling yang bisa diindikasi untuk ujian sampai berbulan – bulan. Berapa kali
teman saya harus ganti pasien karena pasien yang dibawa tidak memenuhi syarat
untuk dijadikan pasien ujian. Alasannya ya selalu keadaan rongga mulutnya
kurang kotor, kalkulus (karang gigi)nya kurang banyak. Singkat cerita akhirnya
teman saya menemukanlah pasien yang bisa diindikasikan buat ujian (setelah
berbulan – bulan lamanya) yaitu pengasuh anak teman saya yang lain (sesama koas
juga). Ujian berjalan lancar, laluuuu bukan ujian namanya kalau semuanya lancar
– lancar aja. Selalu ada ‘ujian’ di dalam ujian. Pasien teman saya ini pulang
kampung ke Tasikmalaya dan resign dari kerjaannya sebagai pengasuh anak teman
saya, sebelum pasien ini kontrol ujian. Padahal yang namanya ujian harus dengan
kontrol biar ujiannya dianggap sah. Kalang kabutlah teman saya, panik sampai
nangis karena mikirnya udah ngulang cari pasien lagi dari awal. Akhirnya
setelah telfon pasien dan bujuk – bujuk agar pasien mau balik ke Jogja sebentar,
pasien oke balik ke Jogja dengan biaya transportasi dan akomodasi ditanggung
teman saya. Tau berapa biaya yang dihabiskan teman saya untuk bisa datengin
pasien kontrol Scalling? Satu juta. Demi kontrol ujian yang biaya administrasi
di rumah sakitnya cuma delapan ribu rupiah. Demi biar bisa lulus koas cepet
(walaupun sebenernya kita udah telat). Satu juta, kalau saya udah nangis darah
mau nyari uang kemanaaa dalam waktu singkat demi pasien. Alhamdulillahnya dia
akhirnya bisa selesai ujian, dengan perjuangan penuh airmata, uang, dan darah.
Kalau saya? Beda cerita lagi.
Saya kurang satu ujian lagi juga untuk bisa ikut ujian Kompre, dan ujian yang
dibutuhkan adalah ujian cabut. ‘Waaah gampang dong ujian cabut?’ ‘Enak tuh
ujian cabut doang’ ‘Ah masa ujian cabut doang ga bisa?’ Kesannya sih gitu. Kenyataannya
juga sama seperti teman saya tadi, saya berbulan – bulan juga mencari pasien
yang bisa saya jadikan pasien ujian. Mungkin saya yang terlalu selektif dan
hati – hati mencari pasien, karena sebenernya agak keder juga dapet dosen
penguji yang saya anggap ‘killer’. Sebenarnya saya sudah maju ujian dengan
beliau sekali, ngga berhasil karena time limitnya habis dan pasien akhirnya
diambil alih dikerjakan oleh dosen penguji. Ini sih memang kesalahan saya. Tapi
pas apes juga mungkin, mood dosen saya waktu itu sedang kurang baik, karena
dosen ini memarahi saya di depan pasien (Well, dimarahin dosen tentang kasus
pasien itu sudah seperti makanan kita sehari – hari). Tapi untuk pasien ya
mungkin kaget juga sih ya karena pasien saya sampai gemetaran takut dan saya
jadi ngga enak banget sama pasiennya. Setelah drama ujian pertama selesai, saya
harus mengulang ujian, artinya cari pasien lagi. Berhubung waktu terpotong
puasa (saat sedang puasa pasien tidak disarankan untuk melakukan pencabutan, setelah
buka puasa pasien lebih banyak memilih tarawih aja daripada ke dokter gigi) dan
libur lebaran, saya baru bisa cari pasien lagi setelah lebaran. Keliling sana sini,
minta teman sana sini akhirnya dapetlah saya kontak si pasien. Setelah pasien
saya datangkan dan saya rontgen, saya tinggal janjian jadwal ujian lagi dengan
dosen penguji (tetap dosen yang sama dengan yang sebelumnya). Jadwal sudah oke,
pas hari H pasien saya ngga ada kabar sama sekali. Dihubungi ngga bisa, dan
akhirnya saya batal ujian. Beberapa hari setelahnya pasien saya berkabar dan
mengatakan bahwa handphonenya rusak, ya tapi kalau sudah janji setidaknya
pasien bisa datang kan? Positive thinking aja, mungkin ngga bisa datang karena
lagi service handphone (?). Saya tanya lagi ke pasien bisa kapan untuk mengatur
jadwal kembali, dengan berbagai alasan mulai dari sibuk panitia ospek, pulang
kampung idul adha, sedang haid (ya memang kalau sedang haid juga tidak terlalu
dianjurkan melakukan pencabutan), sampai pasien kembali tidak bisa dihubungi
hampir dua minggu sehingga molorlah jadwal ujian saya sampai sudah hampir dua
bulan berlalu. Masalahnya untuk kembali nyari pasien dari awal lagi itu nggak
mudah, udah punya pasien pun kadang pasiennya ngga kooperatif seperti ini ya
menghambat sekali.
Ya begitulah drama dibalik kehidupan
koas kita. Ngga semuanya lancar seperti yang dilihat orang dari luar. Ngga
semuanya gampang segampang orang – orang yang sering bertanya “KG kan cuma
ngurusin gigi doang? Kok koasnya lama?” Hahaha, sering banget ditanya begini.
People always judge the book by its cover. They don’t know you until they in exactly the
same position with you. And you don’t have to make sure about how far
they know you. Jadi yaudah, jalani aja prosesnya dengan ikhlas. Terkadang kita
terlalu sibuk memperhatikan bagaimana jalan hidup orang lain terlihat begitu
mudah, sehingga lupa bersyukur dan menyadari bahwa setiap apapun yang kita
lewati itu selalu ada maksud dan tujuannya dari Yang di Atas. Seperti kata
teman saya tadi, setiap orang mempunyai kelokan dan kerikil yang berbeda. And we
are blessed in different ways. Barakallah.
Nb: Sampai tulisan ini dipost, saya belum jadi ujian cabut lagi. Kali
ini karena jadwal dosennya yang tugas keluar kota. Hiks. Tapi tetap ya semangat
karena perjuangan masih belum berakhir.
