Selasa, 28 November 2017

Mereka bilang mereka penulis..

Beberapa waktu lalu sempat ramai diperbincangkan di media sosial tentang sebuah berita yang menyangkut seorang penulis terkenal. Tere Liye. Mungkin banyak dari anda pasti tahu siapa Tere Liye, meskipun mungkin banyak juga dari anda yang tahu siapa beliau tapi tidak tahu dan tidak pernah membaca karya beliau. Ya, beliau adalah seorang penulis novel cukup terkenal di Indonesia. Terlepas dari seberapa baguskah karya beliau, menurut saya setiap karya memiliki penilaian yang relatif. Menurut si A bagus, tapi belum tentu menurut si B bagus juga. Oke, disini saya tidak akan membahas seberapa bagus atau buruk karya beliau (karena memang bukan itu yang ingin saya bahas). Berita yang diperbincangkan beberapa waktu yang lalu adalah bahwa Tere Liye mengeluarkan statement yang melarang menggunakan karya atau tulisan beliau untuk dijadikan status pada akun medsos.
Menarik. Jarang loh ada penulis yang blak - blakan seperti ini. Dan statement semacam ini sudah pasti akan menuai pro kontra di masyarakat, terlebih masyarakat pengkonsumsi media sosial fanatik. Dari bermacam pro kontra tersebut, saya amati lebih banyak kontra dengan pernyataan beliau. Dan banyak pula yang tak segan - segan mengirimkan kritik pedas bahkan cacian ke beliau. Ya, manusia memang bisa berubah 180 derajat apabila hal - hal yang mereka sukai dilarang keras oleh orang lain.
Begini. Masyarakat  sebenarnya memiliki hak untuk bebas berekspresi dimana saja termasuk sosial media. Dan si penulis memang memiliki hak untuk tidak memperbolehkan orang lain menggunakan karyanya untuk kepentingan pribadi. Asal dengan satu syarat, karyanya murni hasil sendiri. Bukan pula hasil plagiat. Banyak yang mengaku dirinya seorang penulis padahal hasil mencomot tulisan orang lain, tanpa menyertakan sumber sehingga seolah - olah itulah tulisan mereka. Apakah seperti itu etikanya? Tentu tidak. Mirisnya, terkadang yang tidak mengetahui etika mengutip justru orang - orang yang bergelut pada dunia tersebut. Oh ralat, mungkin mereka tahu tapi pura - pura tidak tahu.
Saya tidak bermaksud menyudutkan atau menyalahkan Tere Liye, tidak. Dalam hal ini saya tidak memfokuskan pembahasan pada satu sosok penulis, tapi banyak penulis. Penulis muda dengan segudang talenta tipu - tipu, istilahnya yang disebutkan pasangan saya saat kami ngobrol ringan. Hey kawan, berkarya boleh saja, tapi pastikan tujuannya. Apa benar - benar ingin berekspresi dan menyampaikan pemikiran, atau hanya demi eksistensi dan pencitraan semata? Dua duanya memang sah - sah saja. Semua orang bebas menuliskan apa saja apapun tujuannya. Jika karya anda murni orisinal karya pribadi dan anda benar - benar memahami apa yang anda tulis, tentu saja banyak yang akan menghargai. Namun, jika karya anda hanya hasil dari 'tipu-tipu', seharusnya jangan marah jika suatu saat tulisan anda, bahkan mungkin anda sendiri tidak lagi dihargai. Yang harus dipahami, tidak semua pembaca bisa dibodoh bodohi.
Intinya, jadilah orang yang orisinil dan smart. Narsis boleh, eksis boleh, tapi jangan lupa aturan yang berlaku. Demi eksis upload foto, update status harus dengan kalimat bijak biar terlihat keren dan intelek, padahal jiplak, padahal tidak mengerti. Jiplak boleh, tapi dicantumkan sumbernya jangan asal menjiplak. Pahami juga dulu tulisan anda, jangan sampai terlihat bodoh sehingga mudah ditertawakan orang lain. Saya memang tidak sekolah di jurusan yang memahami perihal tulis menulis, saya juga tidak bekerja di profesi yang berkaitan erat dengan dunia tulis menulis, tapi saya tahu cara dan etika mengutip karya orang lain. Saya bukan penulis, tulisan saya jauh dari bagus, apalagi dibandingkan dengan tulisan - tulisan para penulis ternama tanah air (apalah saya), tapi saya juga tentu tidak bisa terima jika tulisan saya dijiplak atau dicomot orang lain demi kepentingan pribadi tanpa mencantumkan sumber. Saya juga tidak bisa terima jika orang lain menulis tanpa memahami terlebih dahulu hanya agar terlihat pintar dan bijaksana.
Sebelum berkata - kata bijak di media sosial alangkah baiknya jika menggunakan sikap yang bijak pula. Tidak malukah berkata bijak dan intelek demi membangun image atau citra baik padahal sikap tidak mencerminkan sikap yang cerdas? Menulis sesuatu yang bijak memang mudah, apalagi sekedar mengutip, yang susah adalah menyelaraskan antara tulisan dan sikap. Semua kembali ke masing - masing. Ingin menjadi penulis 'cerdas' atau penulis penuh 'tipu - tipu?' Semoga banyak yang menamai diri mereka penulis membaca, tersinggung lalu membenahi diri mereka. Bukan membaca, tersinggung lalu marah dan mencari pembenaran atas tulisan mereka.

Rabu, 08 November 2017

Dilarang Sakit.. Dilarang Menyerah..



Kalimat yang sering saya dengar akhir – akhir ini di lingkungan ‘lengkung AMC’ –daerah kekuasaan mahasiswa profesi tingkat akhir di AMC karena kita udah hampir ngga pernah masuk bangsal lagi– adalah “DILARANG SAKIT!” dan “DILARANG MENYERAH!”.
Berangkat pagi disaat pegawai pun belum datang (kadang jam tujuh pagi udah nangkring di lengkung) pulang sore kadang malam, dari yang wajah masih segar sampai wajah sudah kucel, lari kesana kesini mengejar dosen, revisi laporan bolak balik ke fotocopyan, menu makan tiap hari di kantin sama, plus bonus pulang kehujanan karena Jogja belakangan ini sering hujan deras dan awet, kita tetap dilarang keras untuk jatuh sakit disaat – saat seperti ini. Pemandangan ketiduran di lengkung, laptop jejeran kayak costumer service, rebutan DOPS buat minta nilai, misuh – misuh saat ditolak ujian atau diskusi lagi dengan dosen, dan heboh ketika lihat dosen yang lagi dicari tiba – tiba jalan santai di bangsal udah jadi makanan sehari – hari. Terkadang kita saling curhat sampai pengen nangis, mau lulus kok gini amat ya, tapi selaluu aja ada yang nyemangatin dengan teriak keras “Jangan nyerah sih, dikit lagi”. Atau kalau ada yang mulai bilang “Aku udah capek ni kok ngga kelar – kelar ya?” selalu aja ada yang bilang “Ngga boleh capek, ngga boleh sakit. Mau lulus kapan klo dikit – dikit capek, dikit – dikit sakit?” Saling gantian menyemangati, karena kita semua tahu kondisi kita sama. Terlebih kita semua tahu tujuan kita saat ini sama, LULUS SECEPATNYA.
Saya, sudah dua minggu lebih ini batuk ngga sembuh – sembuh. Kalau pulang kehujanan, batuknya semakin menjadi – jadi, ditambah bersin – bersin pula. Tapi kalau sudah berada di lingkungan lengkung dengan ‘teman – teman seperjuangan’ yang orangnya setiap hari itu – itu aja, jadi lupa kalau saya sakit dan seharusnya banyak istirahat. Minum obat tetap jalan, tapi revisian dan ujian diatas segala – galanya. Pulang ke kost langsung tepar, dan baru terasa lelah selelah lelahnya. Ingin tidur yang panjang, tapi setiap mau tidur kepikiran laporan lagi laporan lagi ujung – ujungnya ngga bisa tidur dan yaa begitulah setiap hari. Aturan nomor satu tetap; DILARANG SAKIT.
Kemarin saya mendengar sebuah lagu baru dari salah satu grup band favorit saya, Noah, judulnya Jalani Mimpi. Entah karena memang saya orangnya hiperbola, baperan, atau memang saya sedang dalam fase sensitif, liriknya yang sebenarnya biasa aja bisa bikin saya menangis ngga berhenti.  
Teruslah kau mencari.. Waktu akan selalu mengobati.. Temukan semua yang terhenti dalam hidupmu.. Tak perlu kau sesali.. Hidup kan membuatmu memahami.. Coba untuk tetap berdiri jalani mimpi..
Biasa aja kan? But I felt complicated. Di tengah – tengah masa berjuang seperti ini, saya ingat kembali tujuan saya disini untuk memberikan kebanggan ke orang – orang yang menyayangi saya terutama kedua orangtua saya. Sesulit apapun perjuangan saya, tentu tidak sebanding dengan perjuangan yang sudah mereka lakukan agar saya bisa tetap berdiri. At that point, down banget dan kadang ngerasa kecewa sama diri sendiri. Kenapa untuk menjalankan kewajiban yang seperti ini aja saya ngerasa berat dan sering mengeluh? Kenapa usaha saya ngga sebesar apa yang sudah orang – orang terdekat saya harapkan kepada saya? Tapi saya sadar, mau kecewa mau nangis pun kalau semua ngga dilanjutkan dan diselesaikan dengan baik ya ngga akan ada gunanya. Jadi aturan nomor dua; DILARANG MENYERAH itu memang manjur banget untuk menjaga semangat di saat seperti ini.
Sedikit lagi. Bertahan sedikit lagi. Untuk mereka; kedua orangtua, adik dan pasangan saya yang selalu berada di belakang saya mendorong saya untuk terus berjalan meraih mimpi. Sedikit lagi. Dan akan saya bayar semua yang sudah mereka berikan untuk saya selama ini. Saya tidak akan sakit dan tidak akan menyerah.

 

This Template Was Found On Elfrida Chania's Blog