Aku menutup pintu kamar dengan sedikit keras. Kurebahkan tubuhku ke kasur tidak begitu empuk punyaku di kamar. Tubuhku lelah. Memejamkan mata saja tidak cukup untuk membuatku merasa lebih baik. Kepalaku terasa berat, seperti ada sebongkah batu yang bertengger di atasnya. Atau ada topeng yang menempel di seluruh permukaannya. Ah, topeng!
Aku tiba – tiba ingat perkataan Memes beberapa hari yang lalu. Seorang sahabatku yang berprofesi sebagai psikolog. Saat itu dia sedang mendengarkan curhatku, seperti biasa. Kupikir mungkin dia sudah bosan. Tapi bukankah itu memang sudah resiko pekerjaannya? Mendengarkan keluh kesah orang yang belum gila, sedikit gila sampai gila tingkat dewa.
“Mau sampai kapan kau bersembunyi di balik 'topeng'mu? Mungkin di depan mereka kau bisa terlihat baik – baik saja. Tapi di dalam hati tidak bisa dibohongi kan?” tanyanya waktu itu.
Aku menghela napas pelan.
“Apa aku memang harus seperti itu?”
“Cintai dan sayangi dirimu sendiri. Jangan lupakan ada dirimu yang berhak bahagia. Aku seperti ini karena aku sayang dan tidak mau kau terus terusan begini, Luh.”
Mataku panas. Sepertinya akan ada titik air yang jatuh dari sana. Aku sudah sering mendengar yang seperti ini. Tapi entah kenapa aku bebal sekali. Hatiku seperti kulit babi. Batu saja jika lama lama ditetesi air bisa pecah, hatiku lebih keras daripada itu. Kata temanku.
“Apa ada hal lain yang bisa kulakukan?” tawarku.
“Tidak ada, Luh.” Jawab Memes tegas.
Dan benar saja, titik air yang sudah menggelayut di sudut mataku tadi terjun dengan bebas. Membayangkannya saja sudah membuatku terluka, apalagi menjalaninya? Bagaimana Memes bisa menjawab dengan begitu entengnya? Apakah karena hidupnya terlihat selalu berjalan sesuai rencana? Sedangkan aku? Rencana yang sudah dipersiapkan matang hampir 80%, mungkin lebih, tiba – tiba gagal tengah jalan. Bagaimana bisa aku tidak mengenakan topeng kemana – mana setelahnya? Hanya untuk memastikan orang di sekitarku tahu aahwa Galuh wanita kuat yang baik – baik saja. Kalau saja orang – orang di sekitar bisa memahami bahwa tidak ada orang yang akan baik – baik saja ketika rencana yang sudah ia buat ditinggalkan dan dibiarkan berhenti begitu saja. Tidak ada orang yang suka ditatap dengan rasa kasihan yang berlebihan.
“Kalau aku gagal?”
“Kalau kau gagal, berarti kau akan terus – terusan seperti ini. Kau hanya perlu mencobanya lagi.”
Aku diam. Rasanya seperti tertusuk. Aku ingin sekali bisa seperti yang Memes sarankan. Tapi sebenarnya aku sudah mencobanya dan berkali kali pula gagal. Berhenti memikirkan seseorang itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kalau semudah itu, tidak akan ada kasus orang mati gantung diri karena putus cinta atau karena cinta ditolak.
Kalau cinta ditolak saja bisa membut seseorang depresi, bagaimana seperti aku? Yang ditinggal menikah oleh seseorang yang aku cintai saat kami juga sudah menyiapkan pernikahan? Mungkin bunuh diri masuk dalam salah satu solusi, jika tidak ingat keluarga dan Tuhan. Lalu berakhirlah aku yang hanya mengenakan 'topeng' kemana – mana kata Memes.
Sesekali aku tertawa, begitu lepas seakan lupa aku pernah menjadi orang yang malang. Sesekali aku melompat kegirangan seakan lupa aku sudah dewasa. Sesekali aku terpingkal seakan lupa kalau aku sedang berduka. Tapi sesekali itu juga kuharap tidak ada embel pura – pura di belakangnya. Sesekali itu kuharap selamanya. Sesekali itu kuharap hidupku yang sebenarnya.
Tok tok tok!!
Pintu kamarku berbunyi, ada yang mengetuk dari luar.
“Mbak Galuh?”
Suara ibu kosku memanggil.
“Ya, Bu?”
“Ada paket datang untuk Mbak Galuh,”
“Oh iya Bu, sebentar saya keluar.” Jawabku.
Begitu aku tiba di teras kosanku, seorang petugas pengantar paket menyambutku dengan senyuman dan sebuah bungkusan kecil di tangan kananya. Setelah menyerahkan bungkusan dan menerima tandatangan telah diterima dariku, petugas itu berlalu.
Aku kembali ke kamar, membuka bungkusan kecil yang baru saja kuterima. Sebuah jam tangan pria berwarna hitam yang kupesan dari sebuah toko di ibukota beberapa waktu lalu. Jam yang akan kuberikan untuk dia yang kucintai sebagai hadiah. Jam yang akan menjadi kenangan terakhir sebelum aku benar – benar berubah. Kuharap setelah ini aku tidak lagi mengenakan topeng. Kuharap setelah ini aku tidak lagi menjadi manusia bebal, atau justru manusia lemah? Kuharap.
Aku harus bisa berlari, setidaknya berdiri tanpa jatuh lagi. Hidup itu kejam kalau sudah menyangkut hati. Aku tidak pernah tahu bagaimana rupa neraka jahanam, atau surga firdaus. Tapi jika boleh mengandaikan dengan keterbatasan pemahamanku, neraka jahanam adalah hari – hari saat aku tidak bisa bersamamu. Dan surga firdaus adalah hari saat aku bertemu denganmu dan merangkai mimpi bersamamu. Hanya itu.

0 komentar:
Posting Komentar