Pernah merasa lelah?
Tentu saja pernah, bukan?
Lelah berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti
lesu, tidak bertenaga. Secara umum, hal tersebut pastinya selalu dikaitkan
dengan kemampuan fisik atau jasmani. Namun yang saya maksudkan kali ini bukan
lelah karena terlalu banyak berolahraga atau lelah yang disebabkan padatnya
aktifitas. Bukan. Lelah yang saya maksudkan tidak ada hubungannya dengan
seberapa kuat kamu bisa berlari di bawah terik matahari, atau seberapa kuat
kamu dapat mengangkut beban barang dengan berat berton – ton setiap harinya.
Lelah yang saya maksudkan adalah seberapa kuat kamu bertahan menghadapi
permasalahan dalam hidup yang tak kunjung berhenti.
Kali ini saya akan bercerita tentang seorang kawan. Tak
perlu disebut siapa namanya. Dia adalah seseorang dengan latar belakang
keluarga, pendidikan dan ekonomi yang mungkin bagi banyak orang dinilai baik.
Orang lain yang tidak mengenal dia akan berpikir bahwa kehidupannya mungkin
juga akan menjadi kehidupan yang begitu didambakan. Tapi hal tersebut justru
tidak berlaku untuk dirinya sendiri.
Dia adalah orang yang kesepian di tengah pekerjaannya
yang mengharuskan dia bertemu dan berinteraksi dengan banyak orang setiap
harinya. Temannya hanya segelintir, itupun tak ada yang benar – benar mengenal dengan
baik.
Meskipun memiliki pekerjaan yang cukup mapan untuk
menghidupi dirinya sendiri, namun seperti sebuah kalimat yang sering kita
dengar: ‘kebutuhan selalu mengikuti pendapatan’, materi yang dihasilkan tak
pernah cukup. Dia tak pernah berpikir bekerja untuk menghidupi dirinya sendiri,
namun bekerja sebagai dedikasi untuk orang – orang terdekatnya. Mandi keringat
di bawah terik matahari, tangan gemetar tak henti – henti hingga tak ada waktu
untuk mencari hiburan, dia lakukan demi mencukupi kebutuhan orang – orang
terdekatnya.
Dan dia masih menjadi orang yang tak pernah dianggap
keberadaannya. Hidupnya hanya sebatas omong kosong, sebuah beban, atau kotak
penyimpanan yang hanya perlu diletakkan di suatu tempat bagi orang – orang yang
begitu ingin dia perjuangkan. Satu waktu saya bertemu dengannya, dia adalah
orang yang bersemangat dan penuh harapan. Cita – citanya banyak. Namun di lain
waktu, saya bertemu dengannya yang hanya melamun dengan sorot mata kosong. Dan
satu kalimat yang keluar dari bibirnya “Aku harap aku bisa mati muda”. Tak ada
airmata mengalir ketika dia mengucapkan kalimat itu.
Di hari ulang tahunnya, dia menangis sejadinya tak henti.
Katanya, dia takut akan kematian namun begitu mengharapkannya. Segala sesuatu
yang ada di muka bumi ini, baik yang berwujud maupun tak berwujud memiliki
batasnya masing – masing, bukan? Karena itulah tak jarang dia berfikir mungkin
kemampuannya sudah mendekati batas untuk pada akhirnya menyerah. Lelah. Lelah
karena merasa berkali – kali menjadi orang gagal. Lelah karena merasa tidak
berguna dan berarti untuk orang lain. Lelah karena merasa sendiri dan kesepian.
Lelah karena merasa ternyata usianya bertambah untuk menerima dan menghadapi
kegagalan – kegagalan dan ketidakbergunaan berikutnya.
Pada beberapa fase kehidupan pribadinya, dia pernah
melewati banyak kejadian ‘ditinggalkan’ oleh beberapa orang hingga membuat dia
begitu terpuruk. Kalimat – kalimat berikutnya yang menyusul untuk didengarkan
adalah bahwa orang – orang yang begitu dia gantungkan harapannya pun mengatakan
bahwa mereka siap meninggalkan dia kapan saja. Lagi – lagi kehidupan hanya
sebatas ditinggalkan dan meninggalkan baginya.
Jika rasanya ditinggalkan sudah tidak asing baginya, kali
ini dia begitu berharap bisa meninggalkan. Dan seperti yang diduga,
‘meninggalkan’ versi dia bukanlah hal yang sederhana. Karena saya tahu betul
dia tidak pernah bisa melakukan hal yang menjadi barometer meninggalkan bagi
banyak orang pada umumnya, termasuk mereka yang membuat dia merasa
keberadaannya tidak berarti. Dia tidak bisa memutuskan hubungan, menutup pintu
silaturahmi dan komunikasi, atau bahkan membenci orang – orang yang begitu dia
sayangi.
Apakah dia kecewa pada semua orang? Tidak. Yang saya
lihat dia justru membenci dirinya sendiri yang tidak pernah dianggap ada. Oleh
banyak orang dia dianggap memiliki kedudukan yang baik, tapi oleh orang
terdekatnya dia tak lebih dari manusia yang hanya sekedar hidup. Karena itu
pula berkali – kali dia berharap bahwa bunuh diri merupakan jalan keluar satu –
satunya.
Mengerikan? Atau memalukan?
Saya pernah bertanya.
“Apa yang kamu pikirkan ketika kamu berharap mati?”
“Mereka berbahagia dengan ketidakhadiranku,”
“Kalau ternyata pikiranmu salah dan mereka tidak
berbahagia setelah kematianmu?”
Dia terdiam sebelum kemudian menjawab, “Mungkin aku akan
sekarat dan mati untuk kedua kalinya.”
Yang saya tahu, dia pernah menjadi sosok yang begitu
tangguh meski bercucuran airmata. Karena itu ada nyeri yang menjalar di hati
saya ketika mendengar dia begitu putus asa di tengah harapan – harapan yang
masih dia genggam erat. Saya tahu, pikirannya pasti berkecamuk. Menjadi
seseorang yang begitu penuh harapan tapi tak pernah diharapkan itu bukanlah hal
mudah. Dan hal tersebut menyerang pikirannya setiap hari.
Dia butuh pertolongan walau saya juga tidak tahu
bagaimana caranya. Saya takut, menolongnya karena rasa iba akan membuat dia
semakin tersungkur. Tapi dia sungguh butuh pertolongan. Dan satu – satunya yang
bisa saya lakukan hanya membuatnya tidak semakin merasa lelah akan
kehidupannya.
Let me know, siapapun juga yang sekiranya tahu apa yang
bisa kita lakukan kepada manusia – manusia seperti teman saya. Dia hanyalah salah
satu dari sekian banyak orang di dunia yang merasakan hal seperti itu. Dan
semoga apa pun yang bisa kita lakukan berdampak baik untuk dia dan orang di
sekelilingnya.

0 komentar:
Posting Komentar