Selasa, 04 Februari 2014

Everything's change

            Hampir 30 menit saya duduk manis di depan laptop mencari berbagai sumber bacaan dari internet yang loadingnya sudah mulai melambat karena quota pemakaian yang sudah hampir habis. Saya mencari sumber bacaan yang membahas mengenai ibu Inggit Garnasih. Iya, Bu Inggit mantan istri orang nomor satu di Indonesia ketika Indonesia merdeka dulu yaitu Soekarno alias Bung Karno.
            Kenapa saya penasaran dengan sosok Bu Inggit? Tadi sore saya berbincang cukup lama dengan salah seorang sahabat saya di tengah cafe anak muda yang lumayan booming di Jogjakarta dan diiringi suara riuh titik hujan yang cukup deras yang sahut menyahut dengan suara petir menggelegar. Perbincangan saya dan sahabat (sebut saja dia Rizki) dibuka dengan sebuah kata tanya keramat saat Rizki datang: KENAPA?
Saat itu saya hanya membalas pertanyaan Rizki dengan kalimat pertanyaan juga, yang mungkin terdengar agak cengeng di mata orang – orang. “Apakah wanita dilarang meminta perhatian lebih dari laki – laki yang menjadi pasangannya?”
            Iya, mungkin bisa dibilang saya memiliki permasalahan yang tidak tahu bisa dibilang masalah kecil atau besar dengan pasangan. Ketika beban yang menumpuk sudah terasa semakin berat, yang bisa kita lakukan salah satunya adalah berusaha membagi beban tersebut dengan orang lain. Bukan, bukan bermaksud menambah beban orang lain. Hanya berupaya membuat beban tersebut terasa sedikit lebih ringan. Dan itulah yang ingin saya lakukan ketika saya memiliki partner yang bisa dipercaya yaitu pasangan saya, terlebih dia sudah menemani hari saya cukup lama kurang lebih 5 tahun. Hal apapun yang saya lakukan hampir bisa dipastikan semuanya saya share dengan dia. Namun justru disitulah permasalahan timbul. Saat partner yang dipercaya tersebut tidak mempunyai kesempatan dan waktu untuk saya berbagi, saya mulai merasa kecewa. Mulai timbul dibenak saya pertanyaan ‘mengapa?’
            Entahlah, tekanan dari beban yang menumpuk ditambah dengan kelelahan membuat emosi kadang menjadi kurang stabil. Saya marah, kecewa dan sedih. Otak saya kembali dipenuhi pertanyaan. Kenapa tidak bisa? Kenapa begitu sulit? Bukankah selama ini semuanya berjalan dengan baik baik saja? Lantas kenapa sekarang jadi begitu sulit?
Jawabannya hanya satu: Everything’s change.

           Saya adalah orang yang selalu bisa diluangkan waktu sesempit apapun itu untuk dia. Saya adalah orang yang selalu menemani dia kapanpun dia membutuhkan teman. Saya adalah orang yang slalu menghabiskan pulsanya hanya untuk bercerita lewat telepon genggam. Saya adalah orang pertama yang slalu dikabari saat dia mendapat berita bahagia. Saya adalah orang yang paling dikhawatirkan ketika smsnya lama saya balas. Saya adalah orang yang bisa membuat dia cemburu ketika saya dekat dengan laki – laki lain. Saya adalah orang yang slalu memberikan semangat setiap hari untuk dia mengejar citanya. Dan saya adalah orang yang sudah mengenal dia lama, bahkan sebelum dia berpikir akan jadi apa besok.
Tapi itu dulu. Sekarang, everything’s change.
Saya adalah orang yang mungkin tidak diingat lagi untuk sekedar disapa ‘hai, apa kabar?’. Dan muncullah pertanyaan dari Rizki (sahabat saya tadi): Apa yang membuat kamu memilih dia kemarin? Saya jawab: Karena dia adalah dia, bukan orang lain. Mungkin itu salah satu kekeliruan saya, ketika saya berpikir dia adalah dia, saya tidak pernah berpikir dia akan jadi orang lain. Dan ketika dia yang saya rasa bukan lagi dia, saya merasa cukup berat. Tapi itu tadi, everything’s change. Saya belum terlalu bijak menyikapi perubahan itu.
            Sakit, sangat sakit. Pilu, sangat pilu. Kecewa, sudah tidak terbendung. Bukan, bukan hanya kecewa dengan perubahan saja. Kecewa karena saya ternyata tidak sekuat itu menghadapi perubahan. Banyak perubahan yang terjadi selama hidup, tapi entahlah mungkin saya belum banyak belajar.   Saya menangis sejadinya, saya menjerit sejadinya, tapi tak keluar semuanya. Tertahan di hati.
            Saya disuruh belajar. Iya, Rizki bilang saya harus banyak belajar. Salah satunya dari Bu Inggit. Hubungannya apa? Jauh, jauh sekali hubungan saya dan Bu Inggit. Saya bukan siapa – siapa, dan Bu Inggit adalah salah satu sosok wanita hebat (selain Ibu saya) dalam kisah hidupnya yang ternyata jauh lebih pilu dari saya. Saya merasa amat sakit saat tidak lagi bisa bersama berjuang mewujudkan apa yang saya bahkan kami impikan. Hampir di ujung jalan menuju mimpi ketika semuanya harus berhenti tiba – tiba. Namun ternyata (mungkin) tidak sesakit yang diterima Bu Inggit ketika harus ditinggalkan Bung Karno. Tidak sesakit Bu Inggit yang harus menerima kenyataan bahwa seseorang yang telah dibela mati matian, ditemani berjuang, dikasihi sepenuh hati atas nama cinta meninggalkan beliau demi wanita lain dengan alasan ‘ingin punya keturunan’.
            Sesaat mungkin saya akan berpikir dunia berhenti berputar jika saya adalah orang yang sama dengan Bu Inggit. Tapi itulah bedanya saya dengan beliau. Beliau saya akui mempunyai hati yang sungguh besar untuk mundur ke belakang meskipun dengan hati yang mungkin retak beribu keping. Dan saya harus belajar. Entah bagaimana caranya saya harus belajar, itu yang diinginkan banyak orang di sekililing saya. 
Kembali ke percakapan saya dengan Rizki, dia bilang tidak selamanya saya harus selalu mengikuti hati. Iya, mungkin hati terlalu banyak menciptakan hal yang tidak rasional. Saya bingung. Saya berpikir, sangat keras. Yang mana yang harus saya ikuti? Hati atau pikiran? Entahlah, yang pasti semua nanti akan berubah lagi. Iya, everything will be change (again). Dan maafkan saya alam, saya harus menguraikan airmata lagi untuk mengakui hal ini.

0 komentar:

Posting Komentar

 

This Template Was Found On Elfrida Chania's Blog