Hampir 30 menit saya duduk manis di
depan laptop mencari berbagai sumber bacaan dari internet yang
loadingnya sudah mulai melambat karena quota pemakaian yang sudah hampir habis.
Saya mencari sumber bacaan yang membahas mengenai ibu Inggit Garnasih. Iya, Bu
Inggit mantan istri orang nomor satu di Indonesia ketika Indonesia merdeka dulu
yaitu Soekarno alias Bung Karno.
Kenapa saya penasaran dengan sosok
Bu Inggit? Tadi sore saya berbincang cukup lama dengan salah seorang sahabat
saya di tengah cafe anak muda yang lumayan booming di Jogjakarta dan diiringi
suara riuh titik hujan yang cukup deras yang sahut menyahut dengan suara petir
menggelegar. Perbincangan saya dan sahabat (sebut saja dia Rizki) dibuka dengan
sebuah kata tanya keramat saat Rizki datang: KENAPA?
Saat
itu saya hanya membalas pertanyaan Rizki dengan kalimat pertanyaan juga, yang
mungkin terdengar agak cengeng di mata orang – orang. “Apakah wanita dilarang
meminta perhatian lebih dari laki – laki yang menjadi pasangannya?”
Iya, mungkin bisa dibilang saya
memiliki permasalahan yang tidak tahu bisa dibilang masalah kecil atau besar
dengan pasangan. Ketika beban yang menumpuk sudah terasa semakin berat, yang
bisa kita lakukan salah satunya adalah berusaha membagi beban tersebut dengan
orang lain. Bukan, bukan bermaksud menambah beban orang lain. Hanya berupaya
membuat beban tersebut terasa sedikit lebih ringan. Dan itulah yang ingin saya
lakukan ketika saya memiliki partner yang bisa dipercaya yaitu pasangan saya,
terlebih dia sudah menemani hari saya cukup lama kurang lebih 5 tahun. Hal
apapun yang saya lakukan hampir bisa dipastikan semuanya saya share dengan dia.
Namun justru disitulah permasalahan timbul. Saat partner yang dipercaya
tersebut tidak mempunyai kesempatan dan waktu untuk saya berbagi, saya mulai
merasa kecewa. Mulai timbul dibenak saya pertanyaan ‘mengapa?’
Entahlah, tekanan dari beban yang
menumpuk ditambah dengan kelelahan membuat emosi kadang menjadi kurang stabil.
Saya marah, kecewa dan sedih. Otak saya kembali dipenuhi pertanyaan. Kenapa tidak
bisa? Kenapa begitu sulit? Bukankah selama ini semuanya berjalan dengan baik
baik saja? Lantas kenapa sekarang jadi begitu sulit?
Jawabannya
hanya satu: Everything’s change.
Saya
adalah orang yang mungkin tidak diingat lagi untuk sekedar disapa ‘hai, apa
kabar?’. Dan muncullah pertanyaan dari Rizki (sahabat saya tadi): Apa yang
membuat kamu memilih dia kemarin? Saya jawab: Karena dia adalah dia, bukan
orang lain. Mungkin itu salah satu kekeliruan saya, ketika saya berpikir dia
adalah dia, saya tidak pernah berpikir dia akan jadi orang lain. Dan ketika dia
yang saya rasa bukan lagi dia, saya merasa cukup berat. Tapi itu tadi,
everything’s change. Saya belum terlalu bijak menyikapi perubahan itu.
Sakit, sangat sakit. Pilu, sangat
pilu. Kecewa, sudah tidak terbendung. Bukan, bukan hanya kecewa dengan
perubahan saja. Kecewa karena saya ternyata tidak sekuat itu menghadapi
perubahan. Banyak perubahan yang terjadi selama hidup, tapi entahlah mungkin
saya belum banyak belajar. Saya menangis
sejadinya, saya menjerit sejadinya, tapi tak keluar semuanya. Tertahan di hati.
Saya disuruh belajar. Iya, Rizki
bilang saya harus banyak belajar. Salah satunya dari Bu Inggit. Hubungannya
apa? Jauh, jauh sekali hubungan saya dan Bu Inggit. Saya bukan siapa – siapa,
dan Bu Inggit adalah salah satu sosok wanita hebat (selain Ibu saya) dalam
kisah hidupnya yang ternyata jauh lebih pilu dari saya. Saya merasa amat sakit
saat tidak lagi bisa bersama berjuang mewujudkan apa yang saya bahkan kami
impikan. Hampir di ujung jalan menuju mimpi ketika semuanya harus berhenti tiba
– tiba. Namun ternyata (mungkin) tidak sesakit yang diterima Bu Inggit ketika
harus ditinggalkan Bung Karno. Tidak sesakit Bu Inggit yang harus menerima
kenyataan bahwa seseorang yang telah dibela mati matian, ditemani berjuang,
dikasihi sepenuh hati atas nama cinta meninggalkan beliau demi wanita lain
dengan alasan ‘ingin punya keturunan’.
Sesaat mungkin saya akan berpikir
dunia berhenti berputar jika saya adalah orang yang sama dengan Bu Inggit. Tapi itulah bedanya saya dengan beliau. Beliau saya akui mempunyai hati yang sungguh besar untuk mundur ke belakang meskipun dengan hati yang mungkin retak beribu keping. Dan saya harus belajar. Entah bagaimana caranya saya harus belajar, itu yang diinginkan banyak orang di sekililing saya.
Kembali
ke percakapan saya dengan Rizki, dia bilang tidak selamanya saya harus selalu
mengikuti hati. Iya, mungkin hati terlalu banyak menciptakan hal yang tidak
rasional. Saya bingung. Saya berpikir, sangat keras. Yang mana yang harus saya
ikuti? Hati atau pikiran? Entahlah, yang pasti semua nanti akan berubah lagi.
Iya, everything will be change (again). Dan maafkan saya alam, saya harus
menguraikan airmata lagi untuk mengakui hal ini.

0 komentar:
Posting Komentar