Saya telah menulis berlembar lembar cerita di sebuah buku. Buku yang awalnya saya tidak tahu setebal apa. Buku yang awalnya saya tidak tahu akan diisi dengan apa. Namun saat itu saya telah memilih buku tersebut untuk diisi cerita.
Mengalir, seperti air. Mungkin itulah yang awalnya ingin saya tulis. Saya ingin menulis cerita yang mengalir seperti air, tidak dipaksakan untuk indah. Karena menurut saya indah akan datang dengan sendirinya, hanya perlu menyertakan hati yang tulus.
Kenyataannya memang benar adanya, tanpa punya gambaran untuk menulis akhirnya saya bisa menulis. Sudah cukup panjang, sudah cukup tebal, sudah cukup banyak cerita yang terisi di buku tersebut. Cerita tentang tangisan, tawa, canda, ketakutan, kekecewaan, kepuasan. Ya seperti yang saya bilang tadi, mengalir saja.
Saya sudah menemukan jiwa saya di buku itu. Saya sudah semakin mendalami diri saya dari cerita cerita yang sudah tertulis. Saya sudah menemukan banyak arti yang selama ini belum dimengerti dari buku itu. Saya sudah mencicipi banyak keadaan selama menulis di buku itu. Entahlah, saya rasa jiwa saya hidup dalam buku itu.
Tapi, beberapa saat lalu saya kehilangan buku itu. Buku yang mungkin dilihat orang tak seberapa dibanding buku lain. Sedih, teramat sedih. Saya menghidupkan jiwa melalui buku tersebut. Saya sudah mulai menulis cerita tentang mimpi dan harapan. Saya bahkan sudah menulis cerita tentang usaha menggapai mimpi tersebut. Sudah setengah jalan, dan hilang.
Tak tersisa selembar kertas pun dari buku tersebut. Entah hilang, entah disembunyikan. Kadang saya merasa mengetahui keberadaannya, tapi tak satupun tanda yang bisa membawa saya ke tempat dimana saya bisa mendapatkan buku itu kembali.
Saya bertanya ke sekitar. Saya katakan saya ingin menulis lagi. Melanjutkan tulisan yang sudah terpotong itu. Tak satupun memberi jawaban. Hanya mengulurkan buku baru dan seolah memaksa aku menulis kembali dari awal dengan cerita yang berbeda di buku yang berbeda pula.
Bukan, bukan saya menolak. Sungguh saya ingin kembali menulis, menulis cerita yang mengalir seperti air lagi, menemukan jiwa kembali. Hanya saja saya belum siap. Saya tidak ingin memaksa. Memaksa menulis lagi cerita di buku baru.
Jiwa saya masih tertinggal di cerita lama, di buku lama. Saat saya memaksakan untuk menulis cerita yang berbeda di buku baru, tentu saja yang tertulis nanti hanya akan dibayangi cerita lama. Terlalu sulit membayangkan kembali cerita yang berbeda sama sekali dan menuangkannya dalam buku baru tersebut.
Banyak yang meyakini saya dengan menyuguhkan buku yang lebih bagus, yang lebih indah dilihat dari sampulnya. Tapi maaf, bukan bentuk fisik buku yang saya cari. Saya mencari kenyamanan jiwa saya, yang jujur harus saya akui masih tertinggal di buku lama.
Saya nyaman menulis di buku lama meskipun tak sebagus buku baru. Saya nyaman menulis di buku lama yang tak seberapa. Kenapa saya harus mencoba buku lain yang belum pasti memberikan saya kenyamanan seperti buku lama? Saya bukan orang yang menganut sistem 'coba-coba'.
Saya tidak meminta buku yang bagus untuk ditulis. Karena saya sadar saya juga bukan penulis yang baik. Banyak coretan yang hanya akan mengurangi keindahan di buku bagus tersebut.
Saya menginginkan buku saya kembali. Meneruskan cerita yang sudah terlanjur sangat panjang saya tulis kemarin. Mengakhiri cerita hingga lembar terakhir buku tersebut dengan tulisan dan cerita saya sendiri, bukan tulisan dan cerita orang lain.
Sungguh, saya belum siap jika diminta menulis cerita baru di buku baru.
Sabtu, 01 Maret 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

0 komentar:
Posting Komentar