Minggu, 30 Maret 2014

Ucapan Tak Terlihat..


Dari balik tembok tak terlihat yang kini membatasi kita
Dari raga yang tak sempat bertemu
Dari rindu yang tak pernah tersampaikan
Dari hati yang tak pernah melupakan
Dari bibir yang bergetar menutup rapat


Dari kesemuanya yang kini tak lagi mudah
Tak ada yang lain yang ingin kusampaikan, selain
'Selamat Ulang Tahun, Abang..
Semoga bahagia'

Entah, semua berakhir dengan "HAMPIR"


Entah, saya bingung ingin menulis apa. Entah, saya bingung sedang merasakan apa. Entah, saya bingung mendiskripsikan 'dunia' saya sekarang seperti apa. Entah, saya sungguh tidak mengerti. 
Bahkan terkadang saya merasa bahwa saya bukanlah saya.

Kemarin saya terjatuh, lalu sesaat terdiam mengumpulkan kesadaran bahwa saya baru saja terjatuh. Setelah tersadar, sekuat tenaga saya berusaha untuk bangkit lagi. Menahan sakit yang dalam, menahan malu untuk hal konyol yang telah saya lakukan, menahan tangis yang hampir tumpah di sudut mata, saya berusaha bangkit tanpa pegangan yang jelas. Perlahan mencoba berdiri dengan penuh semangat, hampir bisa bangkit saya terjatuh lagi. Kali ini saya terdiam cukup lama. Sakit berkali kali lipat.

Memang, 'hampir' saja tidak cukup. "HAMPIR" bangkit. "HAMPIR" lulus. "HAMPIR" bisa. "HAMPIR" sampai. Semuanya tidak ada yang berhasil, karena diberikan embel embel 'HAMPIR".

Begitu juga yang terjadi dengan saya. Baru saja mengalami "HAMPIR" tersebut. Dan dilukiskan dengan indah tapi menyayat hati oleh lagu mellow satu ini.

Almost Is Never Enough
(Ariana Grande with Nathan Sykes)


I'd like to say we gave it a try
I'd like to blame it all on life
Maybe we just weren't right, but that's a lie, that's a lie

And we can deny it as much as we want
But in time our feelings will show

'Cause sooner or later
We'll wonder why we gave up
The truth is everyone knows

Almost, almost is never enough
So close to being in love
If I would have known that you wanted me
The way I wanted you
Then maybe we wouldn't be two worlds apart
But right here in each other's arms

And we almost, we almost knew what love was
But almost is never enough


If I could change the world overnight
There'd be no such thing as goodbye
You'd be standing right where you were
And we'd get the chance we deserve

Try to deny it as much as you want
But in time our feelings will show

'Cause sooner or later
We'll wonder why we gave up
The truth is everyone knows

Almost, almost is never enough
We were so close to being in love
If I would have known that you wanted me, the way I wanted you
Then maybe we wouldn't be two worlds apart
But right here in each other's arms

Oh, oh baby, you know, you know, baby
Almost, baby, is never enough, baby
You know

Oh Tuhan, bolehkah saya bertanya kenapa harus ada kata "hampir" di dunia ini? Kenapa saat ini saya merasa amat perih mendengar kata "hampir" tersebut? Kirimkan saya berjuta kali lipat kekuatan dan ketenangan ketika nanti jika saya "hampir" berhasil, saya harus jatuh kembali.

Sabtu, 01 Maret 2014

Ini cerita tentang buku saya..

Saya telah menulis berlembar lembar cerita di sebuah buku. Buku yang awalnya saya tidak tahu setebal apa. Buku yang awalnya saya tidak tahu akan diisi dengan apa. Namun saat itu saya telah memilih buku tersebut untuk diisi cerita.
Mengalir, seperti air. Mungkin itulah yang awalnya ingin saya tulis. Saya ingin menulis cerita yang mengalir seperti air, tidak dipaksakan untuk indah. Karena menurut saya indah akan datang dengan sendirinya, hanya perlu menyertakan hati yang tulus.
Kenyataannya memang benar adanya, tanpa punya gambaran untuk menulis akhirnya saya bisa menulis. Sudah cukup panjang, sudah cukup tebal, sudah cukup banyak cerita yang terisi di buku tersebut. Cerita tentang tangisan, tawa, canda, ketakutan, kekecewaan, kepuasan. Ya seperti yang saya bilang tadi, mengalir saja.
Saya sudah menemukan jiwa saya di buku itu. Saya sudah semakin mendalami diri saya dari cerita cerita yang sudah tertulis. Saya sudah menemukan banyak arti yang selama ini belum dimengerti dari buku itu. Saya sudah mencicipi banyak keadaan selama menulis di buku itu. Entahlah, saya rasa jiwa saya hidup dalam buku itu.
Tapi, beberapa saat lalu saya kehilangan buku itu. Buku yang mungkin dilihat orang tak seberapa dibanding buku lain. Sedih, teramat sedih. Saya menghidupkan jiwa melalui buku tersebut. Saya sudah mulai menulis cerita tentang mimpi dan harapan. Saya bahkan sudah menulis cerita tentang usaha menggapai mimpi tersebut. Sudah setengah jalan, dan hilang.
Tak tersisa selembar kertas pun dari buku tersebut. Entah hilang, entah disembunyikan. Kadang saya merasa mengetahui keberadaannya, tapi tak satupun tanda yang bisa membawa saya ke tempat dimana saya bisa mendapatkan buku itu kembali.
Saya bertanya ke sekitar. Saya katakan saya ingin menulis lagi. Melanjutkan tulisan yang sudah terpotong itu. Tak satupun memberi jawaban. Hanya mengulurkan buku baru dan seolah memaksa aku menulis kembali dari awal dengan cerita yang berbeda di buku yang berbeda pula.
Bukan, bukan saya menolak. Sungguh saya ingin kembali menulis, menulis cerita yang mengalir seperti air lagi, menemukan jiwa kembali. Hanya saja saya belum siap. Saya tidak ingin memaksa. Memaksa menulis lagi cerita di buku baru.
Jiwa saya masih tertinggal di cerita lama, di buku lama. Saat saya memaksakan untuk menulis cerita yang berbeda di buku baru, tentu saja yang tertulis nanti hanya akan dibayangi cerita lama. Terlalu sulit membayangkan kembali cerita yang berbeda sama sekali dan menuangkannya dalam buku baru tersebut.
Banyak yang meyakini saya dengan menyuguhkan buku yang lebih bagus, yang lebih indah dilihat dari sampulnya. Tapi maaf, bukan bentuk fisik buku yang saya cari. Saya mencari kenyamanan jiwa saya, yang jujur harus saya akui masih tertinggal di buku lama.
Saya nyaman menulis di buku lama meskipun tak sebagus buku baru. Saya nyaman menulis di buku lama yang tak seberapa. Kenapa saya harus mencoba buku lain yang belum pasti memberikan saya kenyamanan seperti buku lama? Saya bukan orang yang menganut sistem 'coba-coba'.
Saya tidak meminta buku yang bagus untuk ditulis. Karena saya sadar saya juga bukan penulis yang baik. Banyak coretan yang hanya akan mengurangi keindahan di buku bagus tersebut.
Saya menginginkan buku saya kembali. Meneruskan cerita yang sudah terlanjur sangat panjang saya tulis kemarin. Mengakhiri cerita hingga lembar terakhir buku tersebut dengan tulisan dan cerita saya sendiri, bukan tulisan dan cerita orang lain.
Sungguh, saya belum siap jika diminta menulis cerita baru di buku baru.
 

This Template Was Found On Elfrida Chania's Blog