Sudah hampir dua tahun saya mengikuti program profesi
kedokteran gigi, atau lebih terdengar familiar dengan kata “Koas’. Program
profesi ini adalah program setelah lulus sarjana. Banyak yang bertanya “kuliah
di kedokteran lama ya? Berapa tahun? 6 tahun? 7 Tahun”. Iya, saya harus bilang
cukup lama atau lebih lama daripada jurusan lainnya. Kalau untuk mendapat gelar
sarjana saja, saya kira kuliah di jurusan kedokteran atau jurusan lainnya sama
saja. Kurang lebih 3,5 – 4 tahun, rata ratanya. Bedanya hanya jurusan
kedokteran ngga hanya sampai disitu saja kalau setelahnya ingin menjadi tenaga
profesional atau untuk bisa praktek dan merawat pasien. Kita wajib dan harus
menjalani dan menyelesaikan program profesi terlebih dahulu untuk bisa dapat surat
izin merawat pasien. Dan itu lamanya ngga bisa diprediksi, mulai dari dua tahun bahkan bisa lebih.
Berbicara soal pasien, sebenarnya sudah lama saya ingin
menulis berbagai karakter pasien yang pernah saya temui selama saya koas. Waktu
yang ngga bisa dibilang sebentar selama koas membuat saya bertemu beragam tipe
pasien dari yang paling kooperatif sampai yang paling menyebalkan.
Beberapa waktu terakhir ini saya (harus) sering berhubungan
dengan pasien yang menurut saya cukup (amat) menyebalkan. Kenapa menyebalkan?
Karena pertama, perawatan giginya yang cukup complicated (memakan waktu dan
uang yang ngga sedikit) dimana pasien ingin perawatan yang gratis – berarti saya
yang bayarin. Its okay, pasien yang perawatannya saya bayarin memang bukan satu
ini aja. Fakta lain yang banyak orang ngga tahu adalah bahwa koas KG itu harus
mengeluarkan uang lebih banyak dibanding mahasiswa lain untuk membayar biaya
perawatan pasien. Bingung kan? Yang ngerawat yang bayarin. Tapi memang
begitulah keadaannya. Untuk menarik pasien sebanyak dan secepat mungkin, demi
memenuhi requirement (perawatan yang harus dilakukan mahasiswa selama koas) yang berarti demi cepet lulus
koas, kita harus membuat strategi yaitu dengan menggratiskan perawatan untuk
pasien (kenyataannya yang bayar ke pihak rumah sakit ya kita yang koas). Siapa
sih yang ngga mau gratisan? Dan siapa juga yang hari gini masih mau ngasih
gratisan? Alhasil semenjak koas rasanya mau belanja ini itu jadi puasa banget
karena uangnya akan disisihin buat bayarin pasien.
Kembali ke permasalahan. Tadi yang pertama, ini yang kedua. Di
awal perawatan pasien ini cukup kooperatif tapi semakin lama semakin seenaknya.
Pasien ngaret dari waktu janjian kunjungan, itu sudah biasa banget. Hal yang
sangat lumrah di kalangan anak koas KG. Seenaknya yang saya maksud disini
adalah pasien ini yang notabene mahasiswa juga mintanya selalu diantar jemput
setiap kali perawatan. Disini mungkin saya sudah bertransformasi jadi tukang ojek
juga. Cuma, di satu waktu ada yang membuat saya sangat tidak respect karena
kurang etisnya pernyataan pasien satu ini. Di sore hari saat hujan deras melanda
Jogjakarta, setengah jam lewat dari jam janjian tiba – tiba hp saya bunyi tanda
chat masuk yang isinya: Mba, bisa jemput? Disini hujan deras soalnya hehehe. Let’s
think normally, saya disini kemana – mana naiknya motor bukan mobil. Kalau
hujan deras dan saya disuruh jemput pasien bukannya itu berarti saya juga akan
kehujanan? Ya, masih dengan sabar saya balas bahwa di tempat saya juga hujan
dan saya ngga punya mobil untuk jemput biar ngga kehujanan. Mentok - mentoknya
ya sama - sama nunggu hujan reda. Setelah itu pasien ngga balas chat lagi. Oke.
Yang ketiga. Masih dengan pasien yang sama, pasien saya
janjikan periksa gigi jam 4 sore. Sekitar pukul setengah 4 saya hubungi lagi
untuk konfirmasi jadwal dan dijawab pasien: bisa mba, tapi agak telat karena
ini masih jalan sama temen. Lalu sekitar pukul setengah 5 pasien tersebut
menghubungi saya dan bilang: Mba, aku udah nyampe kos mau mandi dulu. Nanti mba
jemput bisa kan? Jederrr! Saya harus mengurut dada (lagi).
Yang terakhir yang menjadi puncak kekesalan adalah ketika sore
hari menjelang magrib saya dichat berkali – kali dikarenakan mahkota jaket
sementara pasien lepas. Pasien beralasan ingin pulang kampung dan takut
dimarahi ayahnya dengan kondisi gigi yang sudah dipreparasi mahkota jaket.
(FYI, gigi pasien dengan keadaan yang sudah dipreparasi tidak akan terasa linu
karena kondisi pulpa yang non vital) Kebetulan yang sangat sekali, besok
harinya jadwal saya penuh dengan diskusi dan ujian klinis sehingga waktu yang kosong
hanya setelah magrib. Sehingga saya ambil keputusan untuk mendatangkan pasien
tersebut setelah magrib dan untuk biaya pemasangan (sementasi) MJ sementaranya
saya bebankan ke pasien karena bahan yang akan digunakan sudah dibeli secara
terpisah (tidak masuk dalam inputan mahkota jaket dari rumah sakit lagi).
Tahukah kalian respon seperti apa yang saya terima? Semacam kalimat “Mahkota
jaketnya kan lepas karena mba kemarin ngasih semennya cuma sedikit? Apa itu
jadi tanggungjawab saya kalau lepas? Kenapa saya yang harus bayar? Niat saya
diawal kan cuma bantuin mba, kenapa saya malah disuruh bayar?”
Apakah kalimat seperti itu yang sebaiknya saya terima dari
pasien yang sudah saya rawat dan saya layani sepenuh hati? Bukan mencari
pembelaan dengan mengatakan bahwa saya paling benar. Mungkin saya juga
melakukan kesalahan yang tanpa saya sadari membuat orang lain tidak nyaman. Karena
tipe pasien seperti ini membuat kita yang ikhlas dari awal berniat untuk sama –
sama saling membantu (ya, dia membantu saya untuk memenuhi requirement koas dan
saya membantu dia merawat giginya yang memang perlu dirawat) menjadi tidak
nyaman untuk sekedar menyelesaikan perawatan karena sudah ada ganjalan di hati.
Saya, sangat antusias untuk mengapresiasi pasien yang bisa
menghargai orang lain. Kesehatan kita (termasuk kesehatan gigi) adalah
tanggungjawab diri kita masing – masing. Bahkan anak SD pun tahu agar tidak
sakit yang perlu mereka lakukan adalah menjaga kesehatan. Bukankah mencegah
jauh lebih mudah daripada memperbaiki? Bukankah mencegah jauh lebih murah
daripada memperbaiki? Lantas jika sudah rusak, apakah tanggungjawab menjaganya
berpindah ke orang lain (dalam hal ini tentu saja dokter)? Yang saya tidak
habis pikir, dengan keadaan gigi pasien (hampir seluruh gigi berlubang)
tersebut setelah saya edukasi mengenai pentingnya menjaga kesehatan gigi pun
belum muncul kesadaran pada pasien tersebut. Baiklah, saya masih bisa memaklumi
jika keadaran mencegah masih sangat rendah di masyarakat. Namun saya anggap
dengan statusnya sebagai mahasiswa perguruan tinggi tentu saja bisa berpikir
lebih cerdas untuk bisa mengetahui apa yang seharusnya dilakukan sekarang
setelah saya jelaskan panjang lebar mengenai keadaan gigi geliginya. Lantas
jika kasus seperti diatas terjadi, misalnya mahkota jaket sementara pasien
copot setelah dipasang beberapa hari, apakah sepenuhnya menjadi tanggungjawab
dokter gigi? Apakah pasien tidak memiliki tanggungjawab untuk berhati – hati dan
menjaga giginya yang sudah dirawat?
Untuk urusan membantu, tentu saja saya juga berniat membantu
pasien melihat keadaan gigi geliginya yang banyak rusak. Bukan semata – mata memanfaatkan
pasien untuk urusan koas saya saja. Jadi dengan alasan pasien yang hanya ingin membantu
saya lantas tidak mau kebagian urusan ribet mulai dari biaya hingga transportasi,
hmmm kasarnya saya harus bilang pasien lain yang jauh lebih kooperatif dari ini
banyak. Masalah biaya bisa saya usahakan, masalah transportasi seletih apapun masih
saya usahakan, masalah waktu sesibuk apapun juga masih saya sempatkan, asalkan
pasien bisa menghargai satu sama lain. Saya membutuhkan mereka dan mereka juga
membutuhkan saya. Apakah sesusah itu menanamkan rasa menghargai orang lain?
Satu hal yang sebenarnya ingin saya tanamkan untuk pasien –
pasien tipe ini: Jika ingin segalanya mudah dan murah kuncinya hanya di kalian.
Jagalah gigi kalian agar kalian tidak perlu bertemu dengan koas seperti kita,
jagalah gigi kalian agar tidak perlu dirawat dengan koas seperti kita. Jika
terlanjur sudah bertemu dengan koas seperti kita, hargailah usaha kami untuk
menyenangkan hati orangtua kami. Yang membuat kami bisa sabar dan bertahan
menghadapi semuanya hanya senyum orangtua di ujung jalan. Maka, jika tidak bisa
menghargai kami, hargailah paling tidak orangtua kami dirumah sana.

1 komentar:
dari kecil kami( orang tuamu ) mengajarkan untuk sabar dan ikhlas karena itu adalah amal perbuatan, dan sekarang sabar dan ikhlasmu lagi diuji...jika engkau lulus dalam ujian ini, tentunya akan naik tingkat..naik tingkat kesabaran, naik tingkat keikhlasan, naik tingkat kemampuan dan entah apalagi yang akan dinaikkan oleh Allah SWT, semangatlah terus menjalani, cahaya diujung jalan tengah menanti, senyuman orang terkasihmu hampir mengembang dan engkau akan menjadi pribadi yang tangguh dan ditauladani..amin ya robbal alamin..
Posting Komentar