Selasa, 20 Desember 2016

Sekelumit Duka Anak Koas...



Sudah hampir dua tahun saya mengikuti program profesi kedokteran gigi, atau lebih terdengar familiar dengan kata “Koas’. Program profesi ini adalah program setelah lulus sarjana. Banyak yang bertanya “kuliah di kedokteran lama ya? Berapa tahun? 6 tahun? 7 Tahun”. Iya, saya harus bilang cukup lama atau lebih lama daripada jurusan lainnya. Kalau untuk mendapat gelar sarjana saja, saya kira kuliah di jurusan kedokteran atau jurusan lainnya sama saja. Kurang lebih 3,5 – 4 tahun, rata ratanya. Bedanya hanya jurusan kedokteran ngga hanya sampai disitu saja kalau setelahnya ingin menjadi tenaga profesional atau untuk bisa praktek dan merawat pasien. Kita wajib dan harus menjalani dan menyelesaikan program profesi terlebih dahulu untuk bisa dapat surat izin merawat pasien. Dan itu lamanya ngga bisa diprediksi, mulai dari dua tahun bahkan bisa lebih.
Berbicara soal pasien, sebenarnya sudah lama saya ingin menulis berbagai karakter pasien yang pernah saya temui selama saya koas. Waktu yang ngga bisa dibilang sebentar selama koas membuat saya bertemu beragam tipe pasien dari yang paling kooperatif sampai yang paling menyebalkan.
Beberapa waktu terakhir ini saya (harus) sering berhubungan dengan pasien yang menurut saya cukup (amat) menyebalkan. Kenapa menyebalkan? Karena pertama, perawatan giginya yang cukup complicated (memakan waktu dan uang yang ngga sedikit) dimana pasien ingin perawatan yang gratis – berarti saya yang bayarin. Its okay, pasien yang perawatannya saya bayarin memang bukan satu ini aja. Fakta lain yang banyak orang ngga tahu adalah bahwa koas KG itu harus mengeluarkan uang lebih banyak dibanding mahasiswa lain untuk membayar biaya perawatan pasien. Bingung kan? Yang ngerawat yang bayarin. Tapi memang begitulah keadaannya. Untuk menarik pasien sebanyak dan secepat mungkin, demi memenuhi requirement (perawatan yang harus dilakukan mahasiswa  selama koas) yang berarti demi cepet lulus koas, kita harus membuat strategi yaitu dengan menggratiskan perawatan untuk pasien (kenyataannya yang bayar ke pihak rumah sakit ya kita yang koas). Siapa sih yang ngga mau gratisan? Dan siapa juga yang hari gini masih mau ngasih gratisan? Alhasil semenjak koas rasanya mau belanja ini itu jadi puasa banget karena uangnya akan disisihin buat bayarin pasien.
Kembali ke permasalahan. Tadi yang pertama, ini yang kedua. Di awal perawatan pasien ini cukup kooperatif tapi semakin lama semakin seenaknya. Pasien ngaret dari waktu janjian kunjungan, itu sudah biasa banget. Hal yang sangat lumrah di kalangan anak koas KG. Seenaknya yang saya maksud disini adalah pasien ini yang notabene mahasiswa juga mintanya selalu diantar jemput setiap kali perawatan. Disini mungkin saya sudah bertransformasi jadi tukang ojek juga. Cuma, di satu waktu ada yang membuat saya sangat tidak respect karena kurang etisnya pernyataan pasien satu ini. Di sore hari saat hujan deras melanda Jogjakarta, setengah jam lewat dari jam janjian tiba – tiba hp saya bunyi tanda chat masuk yang isinya: Mba, bisa jemput? Disini hujan deras soalnya hehehe. Let’s think normally, saya disini kemana – mana naiknya motor bukan mobil. Kalau hujan deras dan saya disuruh jemput pasien bukannya itu berarti saya juga akan kehujanan? Ya, masih dengan sabar saya balas bahwa di tempat saya juga hujan dan saya ngga punya mobil untuk jemput biar ngga kehujanan. Mentok - mentoknya ya sama - sama nunggu hujan reda. Setelah itu pasien ngga balas chat lagi. Oke.
Yang ketiga. Masih dengan pasien yang sama, pasien saya janjikan periksa gigi jam 4 sore. Sekitar pukul setengah 4 saya hubungi lagi untuk konfirmasi jadwal dan dijawab pasien: bisa mba, tapi agak telat karena ini masih jalan sama temen. Lalu sekitar pukul setengah 5 pasien tersebut menghubungi saya dan bilang: Mba, aku udah nyampe kos mau mandi dulu. Nanti mba jemput bisa kan? Jederrr! Saya harus mengurut dada (lagi).
Yang terakhir yang menjadi puncak kekesalan adalah ketika sore hari menjelang magrib saya dichat berkali – kali dikarenakan mahkota jaket sementara pasien lepas. Pasien beralasan ingin pulang kampung dan takut dimarahi ayahnya dengan kondisi gigi yang sudah dipreparasi mahkota jaket. (FYI, gigi pasien dengan keadaan yang sudah dipreparasi tidak akan terasa linu karena kondisi pulpa yang non vital) Kebetulan yang sangat sekali, besok harinya jadwal saya penuh dengan diskusi dan ujian klinis sehingga waktu yang kosong hanya setelah magrib. Sehingga saya ambil keputusan untuk mendatangkan pasien tersebut setelah magrib dan untuk biaya pemasangan (sementasi) MJ sementaranya saya bebankan ke pasien karena bahan yang akan digunakan sudah dibeli secara terpisah (tidak masuk dalam inputan mahkota jaket dari rumah sakit lagi). Tahukah kalian respon seperti apa yang saya terima? Semacam kalimat “Mahkota jaketnya kan lepas karena mba kemarin ngasih semennya cuma sedikit? Apa itu jadi tanggungjawab saya kalau lepas? Kenapa saya yang harus bayar? Niat saya diawal kan cuma bantuin mba, kenapa saya malah disuruh bayar?”
Apakah kalimat seperti itu yang sebaiknya saya terima dari pasien yang sudah saya rawat dan saya layani sepenuh hati? Bukan mencari pembelaan dengan mengatakan bahwa saya paling benar. Mungkin saya juga melakukan kesalahan yang tanpa saya sadari membuat orang lain tidak nyaman. Karena tipe pasien seperti ini membuat kita yang ikhlas dari awal berniat untuk sama – sama saling membantu (ya, dia membantu saya untuk memenuhi requirement koas dan saya membantu dia merawat giginya yang memang perlu dirawat) menjadi tidak nyaman untuk sekedar menyelesaikan perawatan karena sudah ada ganjalan di hati.
Saya, sangat antusias untuk mengapresiasi pasien yang bisa menghargai orang lain. Kesehatan kita (termasuk kesehatan gigi) adalah tanggungjawab diri kita masing – masing. Bahkan anak SD pun tahu agar tidak sakit yang perlu mereka lakukan adalah menjaga kesehatan. Bukankah mencegah jauh lebih mudah daripada memperbaiki? Bukankah mencegah jauh lebih murah daripada memperbaiki? Lantas jika sudah rusak, apakah tanggungjawab menjaganya berpindah ke orang lain (dalam hal ini tentu saja dokter)? Yang saya tidak habis pikir, dengan keadaan gigi pasien (hampir seluruh gigi berlubang) tersebut setelah saya edukasi mengenai pentingnya menjaga kesehatan gigi pun belum muncul kesadaran pada pasien tersebut. Baiklah, saya masih bisa memaklumi jika keadaran mencegah masih sangat rendah di masyarakat. Namun saya anggap dengan statusnya sebagai mahasiswa perguruan tinggi tentu saja bisa berpikir lebih cerdas untuk bisa mengetahui apa yang seharusnya dilakukan sekarang setelah saya jelaskan panjang lebar mengenai keadaan gigi geliginya. Lantas jika kasus seperti diatas terjadi, misalnya mahkota jaket sementara pasien copot setelah dipasang beberapa hari, apakah sepenuhnya menjadi tanggungjawab dokter gigi? Apakah pasien tidak memiliki tanggungjawab untuk berhati – hati dan menjaga giginya yang sudah dirawat?
Untuk urusan membantu, tentu saja saya juga berniat membantu pasien melihat keadaan gigi geliginya yang banyak rusak. Bukan semata – mata memanfaatkan pasien untuk urusan koas saya saja. Jadi dengan alasan pasien yang hanya ingin membantu saya lantas tidak mau kebagian urusan ribet mulai dari biaya hingga transportasi, hmmm kasarnya saya harus bilang pasien lain yang jauh lebih kooperatif dari ini banyak. Masalah biaya bisa saya usahakan, masalah transportasi seletih apapun masih saya usahakan, masalah waktu sesibuk apapun juga masih saya sempatkan, asalkan pasien bisa menghargai satu sama lain. Saya membutuhkan mereka dan mereka juga membutuhkan saya. Apakah sesusah itu menanamkan rasa menghargai orang lain?
Satu hal yang sebenarnya ingin saya tanamkan untuk pasien – pasien tipe ini: Jika ingin segalanya mudah dan murah kuncinya hanya di kalian. Jagalah gigi kalian agar kalian tidak perlu bertemu dengan koas seperti kita, jagalah gigi kalian agar tidak perlu dirawat dengan koas seperti kita. Jika terlanjur sudah bertemu dengan koas seperti kita, hargailah usaha kami untuk menyenangkan hati orangtua kami. Yang membuat kami bisa sabar dan bertahan menghadapi semuanya hanya senyum orangtua di ujung jalan. Maka, jika tidak bisa menghargai kami, hargailah paling tidak orangtua kami dirumah sana.

1 komentar:

Husnah Yakob mengatakan...

dari kecil kami( orang tuamu ) mengajarkan untuk sabar dan ikhlas karena itu adalah amal perbuatan, dan sekarang sabar dan ikhlasmu lagi diuji...jika engkau lulus dalam ujian ini, tentunya akan naik tingkat..naik tingkat kesabaran, naik tingkat keikhlasan, naik tingkat kemampuan dan entah apalagi yang akan dinaikkan oleh Allah SWT, semangatlah terus menjalani, cahaya diujung jalan tengah menanti, senyuman orang terkasihmu hampir mengembang dan engkau akan menjadi pribadi yang tangguh dan ditauladani..amin ya robbal alamin..

Posting Komentar

 

This Template Was Found On Elfrida Chania's Blog