Selalu ada fase dimana kamu harus
berhadapan dengan pilihan yang akan menentukan bagaimana kehidupanmu nanti
untuk rentang waktu yang panjang. Seperti saat ini. Saya pikir saya sudah cukup
melewati itu kemarin, tapi ternyata belum selesai.
Setelah lulus, yang dilakukan
hampir semua orang adalah mencari kerja. Tidak terkecuali saya. Beberapa bulan
yang lalu, saya cukup kebingungan menentukan mau cari kerja dimana setelah
lulus? Masih mau stay di Jogja, pulang ke kampung halaman atau justru mencari
pengalaman baru pindah ke kota lainnya. Dari sebelum lulus, saya sudah mencari
– cari info mengenai lowongan pekerjaan di banyak tempat. Tanya saudara, tanya
teman yang sudah lulus juga, tanya kerabat teman, tanya di internet dan masih
banyak lagi. Kenyataannya sampai waktunya tiba saya masih bingung juga.
Dua hari pasca ujian akhir
UKMP2DG, saya dihubungi salah seorang teman untuk bisa menggantikan dia praktek
di salah satu klinik gigi di Jogja. Kebetulan saat itu dia akan cuti
melahirkan, jadi butuh dokter gigi pengganti di klinik. Tawaran teman saya
langsung saya terima, tanpa memikirkan seberapa besar gaji yang akan saya
dapatkan dan seberapa jauh lokasinya dari tempat tinggal saya. Saat itu saya
berpikir, daripada menganggur menunggu pengumuman dan sumpah tidak ada salahnya
saya terima tawaran ini untuk mengisi waktu dan mencari kenalan baru. Syukur –
syukur bisa menambah penghasilan untuk uang jajan. Maka seminggu setelah ujian
akhir saya langsung bekerja. Padahal dulu saya berkeinginan ketika lulus saya
mau liburan dulu, istirahat sebentar sebelum mulai kerja keras cari uang. Tapi
beban dan tanggungjawab ke orangtua mematahkan keinginan untuk bersantai –
santai buang waktu. Saya merasa saya justru dikejar – kejar waktu. Bagaimana
menunjukkan ke orangtua bahwa inilah hasil kerja keras kalian selama ini, saya
sampai pada titik ini dan kini kalian tidak perlu khawatir dan bekerja lebih
keras lagi. Sudah saatnya giliran saya yang bekerja keras untuk kalian, untuk
masa – masa tua kalian.
Saya bekerja dengan penghasilan
yang tidak bisa dibilang besar, pas pasan. Pas untuk isi bensin dan saat itu
pas untuk mengurus administrasi pendaftaran Serkom, STR dan tetek bengek
lainnya. Iya, saya masih membebankan orangtua untuk keperluan biaya hidup
sehari – hari. Padahal saya bekerja.
Sejak itu saya berencana menyusun
strategi baru. Mencari pekerjaan lain yang lebih menjanjikan. Paling tidak
pekerjaan yang membuat saya tidak perlu membebankan orangtua lagi dan syukur –
syukur bisa menabung juga. Dengan banyak pertimbangan dan pemikiran pada saat
itu, maka saya putuskan mencari lowongan pekerjaan lain dan menetap di Jogja
untuk waktu yang belum bisa ditentukan seberapa lamanya. Setelah apply lamaran
kesana kesini akhirnya saya menerima panggilan. Singkat cerita saya diterima di
sebuah klinik gigi yang sudah cukup mempunyai nama di Jogja.
Namun seperti yang terjadi pada
fresh graduate lainnya, tentu saya juga tidak bisa berharap atau mempunyai
ekspektasi tinggi ketika bekerja di sebuah tempat. Bahwa kehidupan menjanjikan
kemudahan dan keberlimpahan. Apalagi pengalaman kerja saya masih dibilang baru.
Penghasilan saya di tempat kerja baru cukup untuk sendiri, memang lebih baik
dari sebelumnya. Tapi beberapa masalah muncul, mungkin masalah yang tidak
terpikirkan sebelumnya ketika saya memutuskan untuk tetap bekerja di Jogja.
Sehingga beberapa tawaran pekerjaan di luar sana terlihat begitu mengundang.
Bukan, bukan semata – mata karena
faktor ekonomi meskipun pada akhirnya pertimbangan ekonomi jadi salah satu yang
tak bisa dihindari. Ada beberapa hal lain yang membuat saya akhirnya mau tidak
mau harus mempertimbangkan tawaran lainnya untuk pindah. Meskipun harus diakui
bahwa banyak dari tawaran tersebut tidak sejalan dengan keinginan dan harapan
saya. Terkadang, yang kehidupan tawarkan tidak selalu sesuai dengan apa yang
kita harapkan bukan? Ya, kurang lebih seperti itulah.
Saya tidak bisa menjelaskan
secara detail apa saja masalah yang akhirnya membuat saya berpikir ulang untuk
keputusan berat seperti saat ini. Pada akhirnya saya kembali ke titik ini.
Berada di persimpangan untuk memutuskan dengan sangat hati – hati sekali,
merencanakan dengan sangat matang sekali, menyiapkan cadangan jika lagi – lagi
kehidupan tidak berjalan sesuai yang diharapkan atau direncanakan. Hidup
memberikan kita pilihan; jalani atau tinggalkan. Namun tidak memberikan kita
pilihan; yang kita sukai dan tidak kita sukai.
Hingga pada satu waktu saya
bertanya pada diri sendiri “Apa yang saya cari dalam hidup ini?”. Lalu saya
jawab “Bahagia.” Jawaban klasik. Tapi bahagia dalam bentuk seperti apa saya
tidak pernah tahu. Saya pernah berpikir bahwa bahagia hanya tentang diri saya
sendiri. Jujur terhadap diri sendiri tentang apa yang saya inginkan, tidak
perlu mempertimbangkan orang lain apalagi berusaha menjadi orang lain. Saya
tidak perlu memikirkan berapa sisa uang di dompet hari ini, bukan karena hidup
saya yang serba berkecukupan, tapi karena saya percaya hidup bukan hanya melulu
tentang materi. Saya tidak perlu memikirkan bagaimana orang lain berpikir atau
berpendapat tentang saya, karena saya yang paling tahu apa yang saya pikirkan
dan rasakan sendiri. Saya tidak perlu memenuhi ekspektasi orang lain terhadap
saya, karena saya punya ekspektasi sendiri mengenai hidup yang akan saya
jalani. Meskipun semuanya harus dibayar dengan cap ‘egois’.
Nyatanya, kehidupan tak melulu
seperti itu. Kamu harus memikirkan berapa sisa uang di dompet agar bisa makan
dan tidak mati. Kamu harus memikirkan kehidupan orang lain juga yang mungkin
berpengaruh atas kehadiran atau ketidakhadiranmu. Hidup mengharuskan kamu
mempertimbangkan itu semua walau sebenarnya kamu berusaha untuk tidak peduli. Maka
saya kembali berada pada titik ini, fase ini. Memikirkan dan mempertimbangkan
banyak hal untuk mengambil keputusan dalam hidup saya yang mungkin saja berlaku
untuk jangka panjang, seumur hidup mungkin. Realistis kata orang, tapi bagi
saya mengenyampingkan hati kecil. Dan saya tidak tahu mana yang benar yang
harus saya lakukan.
Kalau kamu? Pernahkah berada pada
fase seperti ini? Apa yang kamu lakukan? Hidup realistis atau tetap mengikuti
keinginan hati kecil?

0 komentar:
Posting Komentar