Selasa, 25 April 2017

Sepenggal surat untuk Ibu Bapak

Ibu. Bapak.
Jika kalian membaca ini, kalian harus percaya bahwa anak kalian yang satu ini baik - baik saja. Jangan menangis diam - diam di belakang. Hati saya teriris perih mengetahuinya. Dan itu akan membuat saya menjadi apa - apa. Jangan menangis karena terlalu khawatir, saya baik - baik saja. Dan saya tidak apa - apa.
Tidak ada yang lebih penting dari 'kita' sekarang.
Saat saya memutuskan untuk tinggal jauh terpisah dari keluarga (merantau), tentu saya tahu konsekuensi yang akan saya hadapi. Mengurus segalanya sendiri, kesepian, dan masih banyak lagi. Saya siap dengan itu semua. Saya sudah siap dengan perasaan rindu rumah, atau sedih ketika sakit tetap harus mengurus diri sendiri, atau bingung mencari makan meski badan sudah lelah pulang kuliah, atau takut saat ada isu bencana atau rawan di tempat yang saya tinggali sekarang, atau susah mengatur uang saat isi dompet mulai menipis. Saya tentu tahu semua itu pasti akan saya hadapi. Tapi tenanglah, saya tetap baik - baik saja.
Saya akan tetap terlihat kuat di hadapan kalian, dan sudah seharusnya saya kuat dimanapun berada. Tentu, hidup saya disini tidak mulus - mulus saja. Banyak permasalahan dan ujian yang saya hadapi. Tapi kalian harus tahu, saya menjadi kuat karena itu semua. Jangan bersedih karena kalian tidak berada di samping saya untuk melewati setiap permasalahan, karena kalian sudah mengingatkan saya (selalu) untuk tidak merasa sendiri. Allah bersama saya. Allah selalu membantu saya.
Ibu. Bapak.
Tidak ada yang perlu kalian khawatirkan. Meski berlinang airmata, saya sekuat baja sekarang. Saya bisa tertawa dan saya masih merasa bahagia. 'La hawla wa laa quwata illa billah' kalimat yang menenangkan saya ketika saya merasa sedih dan menangis merindukan kalian. Lalu saya akan berkata dalam hati 'saya disini berjuang untuk kalian'. Maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Bukankah merasa sedih itu wajar? Atau merasa kesepian itu manusiawi? Jika suatu hari kalian mengetahui saya menangis karena bersedih, jangan pula kalian ikut bersedih atau justru marah dengan keadaan. Jika suatu hari kalian mengetahui saya menangis karena bersedih, itu hanya karena saya juga manusia. Jika suatu hari kalian mengetahui saya menangis karena bersedih, anggap saja saya sedang berusaha mendekati Allah, meminta pertolonganNya.
Ibu. Bapak.
Yang kalian harus tahu, toh saya masih baik - baik saja. Hingga hari ini, inilah sosok paling kuat yang anak kalian sudah usahakan. Jangan bersedih. Dan jangan pula khawatir. Allah selalu bersama saya.

Senin, 24 April 2017

Hei, Waktu Kita Tak Banyak!



Haloooo. Sudah menuju penghujung April nih.
Ada yang spesial di bulan ini? Hmmmm, saya rasa tidak ada. Semua berjalan seperti rutinitas hari – hari biasa. Oh iya! Ada satu! Usia saya sekarang jadi 25 tahun. Dua puluh lima. Seperempat abad. Tidak bisa dibilang masih muda, tapi saya juga tidak terima kalau dibilang sudah tua. Hehehe.
Well, saya memaknai usia baru seperti apa ya. Yang pasti dan utama ya saya bersyukur masih bisa hidup hingga usia ini, dan dalam keadaan sehat walafiat. Saya juga masih dikelilingi orang – orang yang menyayangi saya. Oke, saya ceritakan sedikit. Ulang tahun saya kemarin dirayakan bersama Arin dan Arul (kecepetan satu hari memang), karena kebetulan saya sedang berada di Jakarta. Itu pun sebenarnya tidak disangka – sangka sih, karena niat awalnya hanya bertemu mereka untuk melepas rindu dan ngobrol biasa. Tapi ternyata begitu saya datang, sudah ada kue ulang tahun kecil lengkap dengan lilin dan kado di meja. Hanya perayaan sederhana, tapi alhamdulillah saya luar biasa bahagia.
Lainnya? Mungkin sedikit sedih karena jatah waktu saya untuk hidup berarti semakin berkurang hehe. Saya belum banyak berbuat baik, belum bisa membahagiakan orangtua, belum banyak berbagi dengan orang sekitar, jadi ketika saya sadar waktu saya semakin sempit saya cukup sedih.
Berbicara tentang waktu, mungkin kemarin – kemarin saya terlalu banyak membuang waktu secara percuma. Saya terlalu banyak menghabiskan waktu dengan menyendiri berpikir tentang hal yang tidak pernah ada habisnya. Tidak ada yang saya lakukan selain berpikir sepanjang waktu, tapi tetap saja tidak ada yang berubah. (Ya iya, saya cuma berpikir tanpa pernah berbuat sesuatu) Dan waktu terus berjalan.
Suatu hari, setelah mengobrol panjang lebar tentang Koas dan rencana – rencana setelah lulus dengan Idha, dia mengatakan, “Gih, kita sudah ngga punya banyak waktu lagi. Jadi jangan buang waktu secara percuma.” Iya, waktu itu berjalan cepat banget. Dan saya sekarang benar – benar menyadari waktu saya tidak banyak. Usia saya terus bertambah, usia orang tua saya juga terus bertambah, tapi saya hanya begitu – begitu saja. Belum ada kemajuan, belum ada yang bisa dihasilkan. Rasanya seperti jalan di tempat. Dan itu cukup membebani ternyata.
Saat ini, siapa yang bisa menjamin bahwa hidup kita masih panjang? Siapa yang bisa menjamin bahwa jodoh kita besok bukanlah kematian? Siapa yang bisa menjamin kita memiliki hari tua? Tidak ada. Seberapa banyak sisa waktu yang kita punya, tidak ada yang bisa memprediksi. Maka yang bisa kita lakukan hanya memanfaatkan waktu saat ini dengan sebaik – baiknya.
Waktu kita tidak banyak. Saya tidak pernah tahu rencana saya untuk besok atau lusa dapat terlaksana atau tidak. Saya tidak pernah tahu apakah saya masih memiliki waktu dan berkesempatan untuk membahagiakan ibu dan bapak atau tidak. Saya tidak pernah tahu cita – cita saya untuk bisa memiliki klinik gigi sendiri tercapai atau tidak. Karena saya tidak tahu apakah sisa waktu yang saya miliki masih panjang atau tidak. Dan karena itu juga saya beranggapan jika besok tidak lagi ada, maka hal terbaik yang bisa dilakukan hari ini adalah berbahagia.

Jumat, 07 April 2017

O my bestfriends!



Beberapa waktu lalu saya pernah memposting sebuah kutipan ayat Alquran dari surat Ibrahim di sosial media Instagram yang artinya: Jika kamu bersyukur, maka akan Kutambahkan nikmatmu. Kenyataannya kita seringkali lupa untuk bersyukur atas apa yang kita miliki sekarang. Kita terlalu sibuk merenungi apa yang belum kita dapatkan hari ini daripada menikmati apa yang sudah kita dapatkan hari ini.
Kali ini, saya akan bercerita tentang bagaimana bersyukurnya saya memiliki sahabat – sahabat yang hebat. Saya bukan tipe orang yang aktif bersosial, yang memiliki banyak teman dimana – mana. Mungkin dalam hal ini saya termasuk orang yang cukup tertutup. Tapi saya juga bukan tipe orang yang social phobia, yang benar – benar tidak membuka diri untuk lingkungan baru. Tidak separah itu.
Teman dekat saya mungkin bisa dihitung oleh jari, dari SMP SMA hingga kuliah. Selama SMP dan SMA teman dekat saya hanya beberapa yang masih dekat dengan saya hingga saat ini. Arin, Riska, Vivin, Tungau, mungkin hanya mereka yang hingga saat ini selalu jadi teman terdekat yang tahu kabar terbaru tentang saya meskipun kita sangat jarang bertemu karena jarak membuat kita berjauhan semua. Selama kuliah, teman dekat saya hanya empat orang; Sisil, Damalia, Fika dan Idha. Hampir bertemu setiap hari, mereka tahu apa saja yang terjadi pada saya. Bersyukurnya saya karena mereka semua adalah teman – teman yang selalu jujur dan mengingatkan saya dalam kebaikan.
Saya pernah sedikit kesal ketika ada yang menjelekkan saya misalnya dengan mengatakan bagian tubuh saya jelek atau penampilan saya alay. Lalu saya tanya ke Vivin dan Arin, “Memang cantik siapa antara aku dan dia?” dan Vivin menjawab “Teh, hidung dia lebih kelihatan sih dari kamu. Dan kamu memang kadang alay” Arin menjawab “Aku ga bilang kamu lebih cantik yaa. Itu relatif. Kalau kamu lagi suka sama seseorang, pasti dia akan terlihat cantik. Tapi kalau kamu lagi ngga suka sama seseorang, mau secantik apapun pasti terlihat jelek.” Alhamdulillah mereka nggak ngomporin saya dengan bilang “Ya kamu lah yang cantik.” Mereka membuat saya berpikir dan introspeksi dengan kejujuran mereka yang mungkin orang lain berpikir ‘Temenan kok gitu? Ngga ngebelain’. Mereka ini mungkin hampir jarang bicara yang manis – manis ke saya.
Misalnya lagi saat mereka tahu banyak hal yang seolah menyudutkan saya entah lewat status atau apapun dan saya ingin sekali membalasnya, mereka dengan tegas menentang saya. Arin sempat bilang “Kamu jangan nangis ya, aku tonjok kamu kalau nangis karena hal kayak gitu.” dan Vivin bilang “Jangan ikut – ikutan bales hal kayak gitu ya apalagi lewat status, jangan kayak anak kecil. Sadar umur.” Mungkin terlihat kasar, tapi mereka sungguh tulus memikirkan kebaikan saya.


Riska, yang paling kalem dari semua teman dekat saya. Setiap ada masalah dia selalu mengingatkan saya untuk selalu berprasangka baik terhadap semuanya. “Teteh banyakin dzikir aja, Insyaallah selalu ada jalan keluar yang baik untuk kita.” Sifat keibuan dia dari dulu memang selalu menenangkan, dia bahkan tidak pernah berbicara dengan emosi yang meluap – luap.


Tungau, teman dekat cowok saya satu ini juga sama blak – blakannya. Dia sering bilang “Apa sih bagusnya kamu ini? Pendek, pesek, hitam, haduh.” Dia memang terkadang menyebalkan karena terlalu jujur, tapi juga terkadang bisa dewasa pada saat tertentu. Saya bisa menelpon dia hanya untuk menangis berjam – jam saja dan dia hanya diam. Setelah tangis saya cukup reda barulah di bicara. Dia selalu bilang “Jangan mati. Maafkan, karena kita semua manusia. Manusia selalu membuat kesalahan. Maafkan diri kamu sendiri dan maafkan orang lain.” Iya, memang kita semua manusia yang selalu berbuat salah. Jika Allah saja mampu memaafkan kita, mengapa kita tidak mampu memaafkan juga?


Teman – teman kuliah saya? Mereka memang jarang berkomentar banyak, tapi setiap kali mereka berbicara saya seringkali diam. Banyak yang saya renungkan dari perkataan mereka. Sisil, dia adalah orang yang mengamati terlebih dahulu baru berbicara. Fika, dia adalah wanita cuek yang blak – blakan, kalau kamu baru kenal mungkin cara bicaranya akan terdengar sedikit jutek. Damel, dia adalah penghibur yang polos dan ceria. Idha, dia terkadang keibuan terkadang juga bisa gila.
Contohnya, setelah putus kemarin ketika sedang makan berempat dengan Sisil, Fika dan Damel, mereka akan bertanya bagaimana keadaan saya saat itu. Damel yang membuka topik dengan bertanya, “Kamu masih sedih po Gih? Kamu masih kepikiran si itu?” maka saya akan bercerita panjang lebar dan mereka menanggapi dengan berbeda – beda. Fika akan bilang “Udahlah Gih, ngapain sih mikirin yang ngga penting? Fokus koas kamu aja, itu yang paling penting sekarang”. Sisil akan bilang “Gini ya Gih, kalau kamu memang cinta sama dia kamu cukup doain dia bahagia aja sekarang dengan siapapun orangnya. Ikhlasin. Mungkin ini memang yang paling baik untuk kalian.” Damel lalu menanggapi “Iya Gih bener tuh kata Fika sama Sisil. Nanti kita sekali – sekali main juga biar ngga pusing.”


Kalau Idha lain lagi. Kami seringkali memiliki masalah yang sama di waktu yang bersamaan juga. Sehingga yang kami lakukan seringkali saling menghibur satu sama lain, dan dijuluki ‘pasangan galau’. Terakhir kemarin, saya meminta Idha untuk menemani saya bertemu mantan saya dan pasangan barunya. Bukan apa – apa, saya butuh seseorang yang setidaknya berada di samping saya ketika saya rasa saya tidak kuat. Dan Idha selalu bilang, “Senyum gih senyum, jangan tunjukin kesedihan kamu. Kamu kuat,” Meski harus duduk sendiri di pojok ruangan dia ternyata benar – benar menemani sampai akhir. Beberapa kali saya pastikan ke Idha untuk jangan sampai dia menghampiri kami hanya untuk ikut campur dan dia selalu bilang juga “Itu urusan kalian, nggak ada hubungannya denganku. Jadi aku ngga bakal ikut campur. Aku disini buat nemenin biar kamu tahu kamu nggak sendiri. Jangan sedih,”


Sahabat saya, mereka tahu apa yang harus mereka lakukan sesuai dengan porsi mereka. Sahabat saya, mereka tidak pernah mengajarkan saya untuk membenci atau mencari keburukan orang lain. Sahabat saya, mereka selalu mengingatkan saya untuk melakukan hal – hal baik dan tetap bertahan dalam keadaan apapun. Sahabat saya, mereka jujur meski kadang kejujuran mereka terasa menyebalkan.
Alhamdulillah, saya memiliki sahabat yang luar biasa meski tak banyak. How lucky I am to have you all. Wherever we live one day, we are never far apart because you all always have a special space in my heart. I wish we will be bestfriends till Jannah.
 

This Template Was Found On Elfrida Chania's Blog