Holaaa. Yang sering
mampir ke blog saya atau yang ngikutin blog saya sejak lama, mungkin nggak akan
asing lagi dengan cerita saya tentang dua tokoh Kania dan Albert. Sudah lama
sih nggak melanjutkan cerita tentang mereka. Tadinya kepikiran untuk
ngelanjutin cerita mereka via wattpad, tapi sekarang belum memungkinkan. Jadi
sementara post disini lagi aja. Yang bosen sama ceritanya yaudah gapapa, terimakasih
sudah mau baca. Selamat pagi, siang, sore dan malam!
Segala sesuatu berjalan
sebagaimana mestinya kemarin. Luka yang tak kunjung kering seperti tanah
sehabis hujan masih berada di tempat yang sama, hati. Dan luka itu hanya bisa
membuat si pemilik raga untuk menahan dan menanggung sekuat ia mampu. Kau tahu
siapa si pemilik raga? Kania. Dan siapa si pembuat luka? Albert.
Tak ada yang salah
dengan menunggu bukan? Seperti yang Kania selalu lakukan selama ini. Tapi
terkadang apa yang ditunggu bukanlah sesuatu yang pada akhirnya akan datang.
Ada banyak hal yang membuat menunggu menjadi sesuatu yang dianggap sia – sia.
Tapi percayalah, tidak ada yang sia – sia. Itulah yang diyakini Kania, setiap
saat. Bukan karena dia begitu percaya diri bahwa suatu hari nanti Albert,
seseorang yang selalu ditunggunya, akan datang. Tapi karena dia percaya semesta tetap memihaknya sekalipun yang ditunggu tak kunjung datang.
Hari ini, (sebenarnya)
adalah hari yang begitu dinanti sejak beberapa tahun lamanya. Masih tentang
Albert. Hari penentuan untuk kehidupan Albert kedepannya. Masih berhubungan dengan janji ketika mereka masih bersama. “Aku hanya
ingin kau seorang yang menemaniku,” ujar Albert ketika itu. Tapi janji hanyalah
kata – kata. Dan rencana hanyalah angan – angan. Kata dan angan adalah sesuatu
yang mudah menguap disapu angin, begitu saja. Malaikat akan meniupnya dalam
satu kali hembusan. Dan tak ada yang tersisa. Itulah yang terjadi pada hari
ini.
Setelah tahun – tahun
kemarin janji itu selalu diucapkan, selalu dijaga, hari ini dia sang pengucap
janji tidak akan ingat apa – apa. Hanya Kania, seperti biasa si pengingat
handal yang masih juga terngiang – ngiang. Bagaimanapun ingatan yang coba dia
lupakan itu terus saja mengganggu harinya. Dia hanya berhasil melenyapkan ingatan
itu selama dua jam saat harus berhadapan dengan klien kerjanya. Setelah
berusaha memperlama waktu pembicaraan, dua jam ternyata masih terasa seperti
lima menit saja.
Klien pulang, dan Kania
segera bersembunyi di musala kantor. Sebelumnya dia sudah mengatakan terlebih
dahulu kepada karyawan kantor yang lain bahwa dia ingin istirahat dan tidak
ingin diganggu. Maka di musala inilah Kania mencoba lagi melakukan hal yang
sama seperti saat itu dia ingin hari Ulang Tahun Albert cepat berlalu. Dia
memilih untuk tidur.
Bukan tidur yang
didapat, Kania justru merasa sakit kepala hebat. Kalian tahu bukan bahwa
semakin keras memaksakan sesuatu untuk pergi dari dalam kepala, maka semakin
keras pula dia akan muncul di kepalamu. Mungkin terjadi benturan – benturan antara
usaha melupakan dan segala sesuatu yang tidak beranjak dari tempatnya. Dan itu
pada akhirnya dinamakan kegagalan.
Kania memilih pulang,
dan tetap berusaha untuk bisa tidur. Otaknya harus beristirahat dari kegagalan
melupakan pada usaha pertama. Namun masih ada kesempatan di usaha kedua. Dan
dia tidak akan menyia – nyiakan kesempatan itu. Setelah bergulat di atas kasur
seperti potongan risol di penggorengan, dia tertidur selama dua jam. Namun
seperti bayangan di bawah terik matahari, pikiran itu tetap saja mengikutinya
hingga ke alam mimpi. Tak mau pergi. Tentang hari ini. Hari yang dulu mereka
nanti – nanti.
Bangun dari tidur,
Kania masih merasa membutuhkan apa saja kegiatan yang sekiranya bisa membuatnya
lupa tentang hari ini. Dia menyalakan telepon genggamnya untuk menghubungi
salah satu temannya untuk bertemu, tapi seperti melihat oasis di tengah gurun
pasir, sebuah pesan terpampang di depan layar teleponnya. Dari Albert.
Tak ada yang tahu bahwa
meski sudah berlalu lama, setiap melihat pesan apapun atau mendengar nama
Albert disebutkan, Kania masih kerap kali gemetar. Dadanya masih kerap terasa
sesak, dia harus mengatur nafasnya agar tetap seimbang dengan aliran darahnya.
Lima menit lamanya dia hanya menatap layar, berharap semua hanya dalam
imajinasinya. Atau paling tidak Albert menghubungi untuk mengatakan bahwa dia
salah kirim. Itu lebih baik untuk saat ini. Tapi tak ada yang berubah.
Maka dibiarkannya pesan
itu begitu saja. Meski jauh di lubuk hatinya dia sudah menjawab segala pertanyaan
yang bahkan tak pernah diucapkan. Dia sudah mendoakan untuk hari ini bahkan tanpa diminta. Karena itulah pikiran – pikiran itu tak mau pergi.
Menjelang malam, Kania
memutuskan untuk pergi menemui temannya. Di sebuah cafe dia menghabiskan sisa hari dengan laptop usang, meski mereka saling berdiaman. Sibuk dengan urusan
masing – masing. Apa saja dilakukannya asal tidak duduk melamun. Itu semua
masih lebih baik daripada dia tetap berusaha tidur hingga hari ini lewat begitu
saja seperti yang dilakukan sebelumnya pada ulang tahun Albert.
Setelah berhasil lewat tengah malam, Kania baru merasa sedikit lega. Dia berhasil melewati hari ini akhirnya. Dan barulah dia ucapkan dalam hati "Selamat Albert. Akhirnya kau berhasil melewatinya. Dari jauh aku ikut berbahagia." Setidaknya dia pernah berusaha mengantar Albert hingga tiba pada titik ini, meski akhirnya dia tidak bisa ikut menikmati. Bahkan sudah ada yang lain yang mendampingi.
Setelah berhasil lewat tengah malam, Kania baru merasa sedikit lega. Dia berhasil melewati hari ini akhirnya. Dan barulah dia ucapkan dalam hati "Selamat Albert. Akhirnya kau berhasil melewatinya. Dari jauh aku ikut berbahagia." Setidaknya dia pernah berusaha mengantar Albert hingga tiba pada titik ini, meski akhirnya dia tidak bisa ikut menikmati. Bahkan sudah ada yang lain yang mendampingi.

0 komentar:
Posting Komentar