Kamis, 26 Juli 2018

Tentang Hari Ini


Holaaa. Yang sering mampir ke blog saya atau yang ngikutin blog saya sejak lama, mungkin nggak akan asing lagi dengan cerita saya tentang dua tokoh Kania dan Albert. Sudah lama sih nggak melanjutkan cerita tentang mereka. Tadinya kepikiran untuk ngelanjutin cerita mereka via wattpad, tapi sekarang belum memungkinkan. Jadi sementara post disini lagi aja. Yang bosen sama ceritanya yaudah gapapa, terimakasih sudah mau baca. Selamat pagi, siang, sore dan malam!


Segala sesuatu berjalan sebagaimana mestinya kemarin. Luka yang tak kunjung kering seperti tanah sehabis hujan masih berada di tempat yang sama, hati. Dan luka itu hanya bisa membuat si pemilik raga untuk menahan dan menanggung sekuat ia mampu. Kau tahu siapa si pemilik raga? Kania. Dan siapa si pembuat luka? Albert.
Tak ada yang salah dengan menunggu bukan? Seperti yang Kania selalu lakukan selama ini. Tapi terkadang apa yang ditunggu bukanlah sesuatu yang pada akhirnya akan datang. Ada banyak hal yang membuat menunggu menjadi sesuatu yang dianggap sia – sia. Tapi percayalah, tidak ada yang sia – sia. Itulah yang diyakini Kania, setiap saat. Bukan karena dia begitu percaya diri bahwa suatu hari nanti Albert, seseorang yang selalu ditunggunya, akan datang. Tapi karena dia percaya semesta tetap memihaknya sekalipun yang ditunggu tak kunjung datang.
Hari ini, (sebenarnya) adalah hari yang begitu dinanti sejak beberapa tahun lamanya. Masih tentang Albert. Hari penentuan untuk kehidupan Albert kedepannya. Masih berhubungan dengan janji ketika mereka masih bersama. “Aku hanya ingin kau seorang yang menemaniku,” ujar Albert ketika itu. Tapi janji hanyalah kata – kata. Dan rencana hanyalah angan – angan. Kata dan angan adalah sesuatu yang mudah menguap disapu angin, begitu saja. Malaikat akan meniupnya dalam satu kali hembusan. Dan tak ada yang tersisa. Itulah yang terjadi pada hari ini.
Setelah tahun – tahun kemarin janji itu selalu diucapkan, selalu dijaga, hari ini dia sang pengucap janji tidak akan ingat apa – apa. Hanya Kania, seperti biasa si pengingat handal yang masih juga terngiang – ngiang. Bagaimanapun ingatan yang coba dia lupakan itu terus saja mengganggu harinya. Dia hanya berhasil melenyapkan ingatan itu selama dua jam saat harus berhadapan dengan klien kerjanya. Setelah berusaha memperlama waktu pembicaraan, dua jam ternyata masih terasa seperti lima menit saja.
Klien pulang, dan Kania segera bersembunyi di musala kantor. Sebelumnya dia sudah mengatakan terlebih dahulu kepada karyawan kantor yang lain bahwa dia ingin istirahat dan tidak ingin diganggu. Maka di musala inilah Kania mencoba lagi melakukan hal yang sama seperti saat itu dia ingin hari Ulang Tahun Albert cepat berlalu. Dia memilih untuk tidur.
Bukan tidur yang didapat, Kania justru merasa sakit kepala hebat. Kalian tahu bukan bahwa semakin keras memaksakan sesuatu untuk pergi dari dalam kepala, maka semakin keras pula dia akan muncul di kepalamu. Mungkin terjadi benturan – benturan antara usaha melupakan dan segala sesuatu yang tidak beranjak dari tempatnya. Dan itu pada akhirnya dinamakan kegagalan.
Kania memilih pulang, dan tetap berusaha untuk bisa tidur. Otaknya harus beristirahat dari kegagalan melupakan pada usaha pertama. Namun masih ada kesempatan di usaha kedua. Dan dia tidak akan menyia – nyiakan kesempatan itu. Setelah bergulat di atas kasur seperti potongan risol di penggorengan, dia tertidur selama dua jam. Namun seperti bayangan di bawah terik matahari, pikiran itu tetap saja mengikutinya hingga ke alam mimpi. Tak mau pergi. Tentang hari ini. Hari yang dulu mereka nanti – nanti.
Bangun dari tidur, Kania masih merasa membutuhkan apa saja kegiatan yang sekiranya bisa membuatnya lupa tentang hari ini. Dia menyalakan telepon genggamnya untuk menghubungi salah satu temannya untuk bertemu, tapi seperti melihat oasis di tengah gurun pasir, sebuah pesan terpampang di depan layar teleponnya. Dari Albert.
Tak ada yang tahu bahwa meski sudah berlalu lama, setiap melihat pesan apapun atau mendengar nama Albert disebutkan, Kania masih kerap kali gemetar. Dadanya masih kerap terasa sesak, dia harus mengatur nafasnya agar tetap seimbang dengan aliran darahnya. Lima menit lamanya dia hanya menatap layar, berharap semua hanya dalam imajinasinya. Atau paling tidak Albert menghubungi untuk mengatakan bahwa dia salah kirim. Itu lebih baik untuk saat ini. Tapi tak ada yang berubah.
Maka dibiarkannya pesan itu begitu saja. Meski jauh di lubuk hatinya dia sudah menjawab segala pertanyaan yang bahkan tak pernah diucapkan. Dia sudah mendoakan untuk hari ini bahkan tanpa diminta. Karena itulah pikiran – pikiran itu tak mau pergi.

Menjelang malam, Kania memutuskan untuk pergi menemui temannya. Di sebuah cafe dia menghabiskan sisa hari dengan laptop usang, meski mereka saling berdiaman. Sibuk dengan urusan masing – masing. Apa saja dilakukannya asal tidak duduk melamun. Itu semua masih lebih baik daripada dia tetap berusaha tidur hingga hari ini lewat begitu saja seperti yang dilakukan sebelumnya pada ulang tahun Albert.
Setelah berhasil lewat tengah malam, Kania baru merasa sedikit lega. Dia berhasil melewati hari ini akhirnya. Dan barulah dia ucapkan dalam hati "Selamat Albert. Akhirnya kau berhasil melewatinya. Dari jauh aku ikut berbahagia." Setidaknya dia pernah berusaha mengantar Albert hingga tiba pada titik ini, meski akhirnya dia tidak bisa ikut menikmati. Bahkan sudah ada yang lain yang mendampingi.

0 komentar:

Posting Komentar

 

This Template Was Found On Elfrida Chania's Blog