Sosial media memang bisa jadi sumber penyakit. Terutama penyakit hati.
Saya berhenti aktif di sosial media. Semua akun sosmed saya deactive. Berbulan panjang saya berusaha tidak membuka facebook, instagram, twitter atau sosial media lainnya.
Saya tak perlu menghiraukan apa yang terjadi di sosial media. Karena tak selamanya yang terekam gambar lalu diabadikan di sosmed adalah kenyataan yang tak terbantahkan. Dan demi satu dua foto atau berita yang tak jelas kejadian sebenarnya, kita harus merelakan hati dan pikiran kita bekerja tidak senormal seharusnya, saya tidak mau lagi terjebak dalam kondisi seperti itu.
Hidup realistis, yang terjadi di dunia maya bukan berarti kenyataan yang harus kita hadapi.
Satu orang bercerita di sosmed dengan tujuan pamer. Satu orang lagi bercerita di sosmed dengan tujuan menarik simpati. Satu orang lainnya bercerita di sosmed dengan tujuan membuat orang lain sakit hati. Satu orang lain lagi bercerita di sosmed dengan tujuan memberi informasi. Satu orang lagi bercerita di sosmed dengan tujuan membangun motivasi. Yang lain lagi bercerita di sosmed sebagai ajang promosi. Tapi tak ada yang benar benar tahu kebenarannya.
Saya pamit, dari sosial media. Saya tidak mau mengorbankan hati dan pikiran saya perlahan menggila. Silaturahmi jadi tak ada artinya ketika ketidakwarasan menghampiri.
Saya pamit. Saya tinggalkan hati hati kotor dan pikiran buruk yang berkubang di dalam dunia maya bersama akun akun yang sudah saya deactive-kan.
Mari memulai hidup yang sebenarnya. Yang merekam segala kejadian di kepala, yang tidak membawa keinginan pamer di setiap kejadian yang diabadikan, yang berharap pujian pada segala yang dikerjakan bahkan sesepele bernafas. Yang memprioritaskan hal pribadi menjadi hal yang perlu diketahui publik.
Saya pamit, keluar dari rutinitas tersebut.
Selasa, 26 Maret 2019
Kamis, 14 Maret 2019
Mari Bercerita..
Mari bercerita..
Tentang langit dan bumi
Yang jauh berbeda tapi saling melengkapi
Langit mengerahkan segala upaya untuk menjaga dan mengasihi
Bumi merelakan segala yang dimiliki untuk memberi
Lalu mereka saling menunggu untuk melebur bersama satu hari nanti
Mari bercerita..
Tentang hati dan pikiran
Yang berhubungan tapi sering tak sejalan
Hati selalu khawatir berlebihan
Dan pikiran selalu berhasil menenangkan
Lalu mereka tak pernah pergi dari setiap harapan
Mari bercerita..
Tentang Kau dan Aku
Yang saling mencintai tapi saling meragu
Kau berpikir aku meninggalkanmu
Dan Aku berpikir kau meninggalkanku
Lalu kita tak tahu kapan akan bersatu..
Mari bercerita..
Tentang apa saja
Yang berbeda namun tetap sejiwa
Yang bercinta di tengah suka duka
Yang menggenggam walau terluka
Yang selalu hadir di setiap airmata
Yang akan saling menjaga hingga tua
Lalu kita akan tahu, bahagia itu sederhana
Kau dan aku bersama.
Selasa, 12 Maret 2019
Belajar Menikmati Profesi
Saat yang lain sudah
beralih ke vlog, saya masih setia dengan blog. Hahaha. Pertama, saya nggak
punya kamera bagus seperti yang para vlogger itu punya atau pakai untuk
nge-vlog. Kedua, saya tidak terlalu percaya diri tampil di depan kamera di
tempat umum sambil bicara pula. Ketiga, saya tidak terlalu berambisi untuk
eksis dan jadi pusat perhatian banyak orang. Menulis di blog pun, bukan karena
berharap banyak orang bisa membaca tulisan saya lalu saya bisa menjadi blogger
terkenal. Menulis di blog, murni karena keinginan saya untuk menyalurkan emosi
saya tentang berbagai cerita, pikiran atau isi hati. Agar suatu hari ketika
saya membaca kembali tulisan – tulisan saya di blog, saya masih bisa mengingat
kejadian apa saja yang sudah saya lalui di hari – hari sebelumnya.
Seperti kali ini, saya ingin blog ini menjadi wahana
pengingat untuk masa yang akan datang bahwa saya pernah tidak sengaja terlibat
dalam kampanye politik dengan kedok Baksos. Hahaha. Tolong digarisbawahi, TIDAK
SENGAJA, agar nanti saya tidak malu pada diri sendiri.
Beberapa hari yang lalu, seorang teman sejawat (TS)
menghubungi saya dan menawarkan saya untuk turut serta dalam kegiatan baksos. Acaranya
memang pada akhir minggu, tapi masih dalam hari kerja saya di Puskesmas dan
diluar kota pula walaupun hanya kota sebelah – Sungailiat. Berhubung sudah tiga
bulan gaji saya bekerja di Puskesmas belum cair juga, dan isi dompet sudah
meraung – raung, saya putuskan untuk menerima tawaran TS tersebut. Demi
menambah penghasilan tambahan untuk sementara waktu, dan saya pikir saya
bekerja sesuai dengan profesi saya. Saya bekerja untuk melayani dan membantu
masyarakat berdasarkan ilmu yang saya miliki dan pelajari. Lalu tidak ada salahnya,
kan?
Namun ternyata pada
hari H begitu hampir tiba di lokasi acara, kami (saya dan dua TS dokter gigi
lainnya) baru tahu kalau baksos tersebut merupakan acara partai dalam rangka
kampanye salah satu caleg DPR RI. Dari dulu, saya anti dengan politik. Walaupun
Bapak saya pernah terseret arus politik, atau teman – teman saya juga
berkecimpung di dunia politik, tetapi saya enggan berurusan dengan hal semacam
itu. Meskipun porsi saya hanya sebatas anggota tim medis yang bertugas dan
membantu mendukung jalannya kegiatan saat acara kampanye, tetapi sebuah tiba –
tiba ketika wajah saya didokumentasikan oleh panitia tim sukses bersama si
Bapak Caleg ini membuat saya rasanya harus menutup muka.
Tapi baiklah, fokus kali ini bukan pada kampanye
politiknya. Tetapi pada acara baksosnya. Saya bekerja sebagai tim medis yang
melayani masyarakat, bukan tim sukses suatu partai politik.
Hari H tanggal 9 Maret 2019, acara dimulai pukul delapan
pagi, jadi pada pukul tujuh saya sudah berangkat dari rumah. Titik kumpul awal
berada pada Klinik Alfatih Pangkalpinang, setelah semua tim berkumpul kita berangkat
menggunakan mobil ke lokasi acara. Kebetulan khusus tim dokter gigi diangkut
menggunakan satu mobil, tentu dengan supir yang sudah disiapkan dari panitia.
Berasa spesial ya diperlakukan seperti itu, sebelum negara api menyerang dan
kita berakhir kelelahan >.<
Tiba di lokasi sudah
banyak orang yang datang, mulai dari panitia hingga peserta baksos. Kami
langsung menuju tempat bekerja kami di bagian pelayanan pemeriksaan gigi untuk
membantu mempersiapkan alat dan bahan. Disana sudah ada empat dokter gigi
lainnya yang ternyata didatangkan dari Jakarta. Saya tidak tahu pertimbangannya
apa mendatangkan dokter gigi dari daerah lain ketika sebenarnya di daerah
sendiri masih banyak dokter gigi yang dapat diajak bekerjasama untuk kegiatan
semacam ini.
Satu per satu pasien
datang. Kami terbagi menjadi dua tim; tiga orang dokter gigi melayani
penambalan, tiga orang dokter gigi melayani pencabutan dan satu orang dokter
gigi melakukan screening awal pasien. Saya dan dua TS dari Pangkalpinang
memilih tim tambal gigi. Saat itu kami berpikir akan banyak datang pasien yang
ingin mencabut giginya. Beberapa bulan bekerja di Puskesmas (kebetulan dua
orang TS saya yang lainnya juga bekerja di Puskesmas) sedikit banyak membuat
kami tahu kondisi kesehatan gigi dan mulut masyarakat disini. Tapi ternyataaa,
kami salah! Pasien yang datang hari itu lebih banyak ingin menambal gigi
daripada mencabut giginya. Sehingga kami sebenarnya cukup kewalahan dan
kecapaian melayani pasien yang antri cukup banyak hingga pukul tiga sore.
Itupun, jika pendaftaran pasien tidak kami minta untuk dihentikan mungkin masih
akan banyak antri pasien. Bayangkan, dari pukul delapan pagi hingga tiga sore
kami hanya punya waktu istirahat ketika makan siang dan sholat. Itu pun
bergantian.
Jangan tanyakan bagaimana rasanya tubuh kami. Empat
pasien di puskesmas saja sudah lumayan menguras tenaga, apalagi baksos kali ini
yang total keseluruhan pasien gigi ada sekitar 70an dengan tujuh orang dokter
gigi. Mandi keringat di ruangan non ac yang cukup ramai orang dengan cuaca hari
itu yang cerah bersinar. Terlalu banyak duduk dan menunduk karena kursi pasien
yang terlalu rendah sedangkan kursi duduk kami agak tinggi dan keras serta
kondisi headlamp yang lebih banyak tidak berguna daripada membantu membuat kami
merasa pegal – pegal di lengan, pinggang hingga betis. Dan penambalan,
membutuhkan waktu hampir dua bahkan tiga kali lipat daripada cabut gigi.
Alhasil, keesokan harinya kondisi tubuh saya menurun dan jatuh sakit. Hahahaha,
saya memang payah.
Dari acara baksos pertama yang saya ikuti setelah pindah
bekerja di Bangka, saya dapat menganalisa satu hal. Karakter masyarakat disini
adalah masyarakat dengan ability to pay tinggi namun willingness to pay rendah.
Sebenarnya tidak bisa dikatakan tingkat pemahaman akan pentingnya menjaga
kesehatan gigi mereka rendah, karena buktinya pada acara baksos seperti ini
yang tidak dipungut biaya, mereka berbondong – bondong datang meminta gigi
mereka dirawat. Namun akan berbeda situasi jika mereka datang sendiri ke dokter
gigi atau puskesmas, mereka akan lebih memilih untuk mencabut gigi mereka hanya
karena satu alasan utama: tarif menambal gigi lebih tinggi daripada tarif
mencabut gigi.
Saya sedikit gemas dan kesal ketika merawat seorang
pasien di acara baksos kemarin. Pasien saya adalah gadis muda yang memiliki
wajah cukup mulus dan cantik. Dia datang ingin meminta dua giginya ditambal,
yang saya tahu kondisi giginya belum berlubang dan baru ada bayangan kehitaman.
Bukan, bukan karena dia cantik atau giginya yang tidak berlubang ingin ditambal
yang membuat saya kesal. Tapi karena kondisi rongga mulutnya yang sangat kotor.
Karang gigi dimana – mana dan sudah cukup tebal. Yang saya herankan adalah
pasien tersebut belum pernah ke dokter gigi sama sekali sebelumnya untuk
memeriksakan kondisi tersebut. Ketika saya menjelaskan mengenai kondisi giginya
yang tidak berlubang namun akan ditambal, pasien paham bahwa tindakan tersebut
adalah tindakan pencegahan sebelum giginya rusak lebih parah. Lalu ketika saya
menjelaskan bahwa kondisi terburuk dan tindakan utama yang seharusnya dilakukan
terkait rongga mulutnya adalah melakukan pembersihan karang gigi (yang
sayangnya tidak dilayani dalam baksos tersebut), respon pertama pasien saat itu
adalah pertanyaan “Mahal nggak, Dok?”. Disitulah kekesalan saya muncul.
Kenapa biaya atau harga selalu jadi hambatan utama? Bukan
karena sok kaya, atau karena saya berada pada posisi sebagai dokter. Tapi
bukankah ada istilah ‘Sehat itu mahal’? Jika mampu menyisihkan uang untuk
membeli alat make-up atau melakukan perawatan wajah, seharusnya juga mampu
menyisihkan uang untuk melakukan pengobatan atau memeriksakan kesehatan
giginya. Setidaknya melakukan pemeriksaan rutin ke dokter gigi hanya butuh enam
bulan sekali jika dibandingkan perawatan wajah semacam facial atau perawatan
rambut seperti creambath yang biasanya dilakukan rutin sebulan sekali. Mengapa
kesehatan gigi dan mulut diabaikan atau dianggap bukan hal penting? Padahal
semua tahu, menjaga gigi dan mulut juga termasuk dalam menjaga kesehatan.
Menjadi PR besar bagi saya dan TS lainnya untuk
memperbaiki pola pikiran masyarakat mengenai pentingnya menjaga kesehatan gigi
dan mulut. Tubuh dari kepala sampai kaki adalah satu keseluruhan sistem. Maka
tak ada satu bagian atau organ tubuh yang jauh lebih penting daripada bagian
atau organ tubuh lainnya. Semua sama pentingnya untuk dijaga keutuhan dan
kesehatannya, tak terkecuali gigi dan mulut. Karena semua memiliki fungsi dan
cara kerja masing – masing.
Selalu ada kelegaan dalam hati saya setiap kali saya
selesai memberikan penyuluhan tentang kesehatan gigi. Apalagi jika pasien atau
masyarakat mengangguk – anggukkan kepala setiap saya selesai bicara. Rasanya
ada hal kecil berguna yang dapat saya bagikan untuk banyak orang terutama
masyarakat. Setidaknya jika mereka belum paham, kini mereka tahu. Bukankah
sebelum memahami kita harus mengetahui terlebih dahulu? Kondisi masyarakat di
tempat tinggal saya dengan mayoritas latar belakang pendidikan dan ekonomi
rendah tentu berbeda dengan masyarakat yang berada di kota besar. Hal itu menjadi
tantangan untuk diri saya sendiri dalam mengedukasi dan meningkatkan pemahaman
mereka tentang kesehatan bagian tubuh lainnya khususnya gigi dan mulut. Harapan
saya dahulu bisa menjadi orang yang berguna untuk masyarakat kecil kembali
mengudara. Paling tidak jika saya belum mampu memberikan apa – apa, saya mulai
berusaha melakukan yang terbaik sebisa saya.
Jangan, jangan sembunyikan kemampuan dan pengetahuanmu
untuk mereka yang belum atau tidak tahu. Semakin banyak yang kita bagi, semakin
banyak pula yang kita dapatkan terutama tentang ilmu. Dan sesuai sumpah profesi
yang pernah saya ikrarkan, saya akan terus membaktikan hidup saya untuk
kepentingan kemanusiaan. Insyaallah.
Note:
Note:
![]() |
| Hanya ini satu satunya foto yang saya punya dari acara kemarin. Kursi yang saya gunakan untuk memeriksa dan merawat pasien. Serba apa adanya, tapi ternyata cukup menyiksa raga. 😌😌 |
Sabtu, 02 Maret 2019
Sebelum Habis Waktu
Hai, aku mampir
sebentar untuk membersihkan blogku yang semenjak beberapa bulan lalu kutinggal.
Mulai menumpuk debu dengan banyak tulisan yang (mungkin) akan mulai usang.
Aku sibuk, katakanlah
singkatnya begitu. Lama tak kuhampiri blogku, lama tak kuperhatikan. Padahal
beberapa kali ide mengenai tulisan tak seberapa menguap di kepala hingga
akhirnya hilang terbawa angin sebelum sempat kusalin ke benda padat berbentuk
persegi panjang bernama laptop. Hingga malam ini, di tengah rintik hujan yang
tiada berhenti turun sejak pagi aku menguatkan mata dan pikiran untuk menulis
dan bercuap – cuap receh melalui tulisan yang lagi – lagi tak seberapa.
Baiklah, cuap akan
dimulai sekarang.
Sekitar dua bulan yang
lalu aku memutuskan untuk pulang ke kampung halaman. Bukan seperti mudik
lebaran yang biasanya sering kulakukan. Kali ini aku benar – benar ‘pulang’,
tidak lagi merantau di kota orang. Pertimbangan untuk pulang ini bukan perkara
mudah dan main – main. Membutuhkan waktu dan kesiapan. Ya, harus kukatakan
begitu. Hampir sembilan tahun hidup jauh dari orangtua di kota asing dengan
segala tantangan yang datang di dalamnya membuatku berpikir berkali – kali
untuk pulang ke rumah orangtua awalnya. Bukan karena tidak sayang orangtua,
karena tentu semua anak menyayangi orangtuanya. Tetapi karena kota yang pada
awalnya tidak membuatku betah sama sekali ini seperti punya magic yang mampu
menahanku untuk tetap bertahan di sana.
Banyak kenangan dan
kejadian yang begitu membekas dalam ingatan terutama selama masa peralihanku
dari remaja menuju dewasa. Meski seseorang mengatakan tidak banyak (atau bahkan
tidak ada) pelajaran yang kuambil ketika merantau, tapi aku sadar tanpa proses
merantau aku mungkin takkan bisa menjadi seperti sekarang ini. Lalu
pertanyaannya, seperti apa aku sekarang?
Susah bagiku
menjawabnya. Maka akan kugambarkan sedikit kehidupanku sekarang.
Aku wanita pekerja. Setelah
lulus profesi, aku menjadi pekerja klinik swasta yang berusaha mencari uang
untuk memenuhi kebutuhan hidup dan sehari – hari kemana saja. Dari klinik ke
klinik, dari pagi sampai malam. Dan ya, saat itu posisiku masih berada di tanah
rantau, Jogjakarta.
Setelah dua bulan lalu
memutuskan untuk pulang, aku bekerja sebagai dokter gigi yang mengabdi untuk
pemerintah. Benar, pekerja pemerintah. Di kota asalku. Tapi tolong dicatat, aku
bukan PNS. Profesi yang katanya memiliki jutaan peminat – maaf, aku tidak
termasuk. Aku hanya dokter gigi PTT (Pegawai Tidak Tetap) yang dikontrak satu
tahun. Tempat bekerjaku di Puskesmas, tidak jauh dari rumah. Hanya butuh waktu
sekitar 10 – 15 menit dengan sepeda motor.
Bekerja dengan
pemerintah dan bekerja dengan swasta tentu saja berbeda. Mulai dari iklim kerja
hingga penghitungan gaji. Dan hingga detik ini, aku masih tetap berpegangan
pada pendapat bahwa bekerja dengan pemerintah is not my passion. Banyak yang
bertentangan dengan apa yang kupercayai dan kuyakini dalam hati. Bukan menjelek
– jelekkan, tetapi aku hanya merasa tidak sejalan saja.
Lalu kenapa masih
bekerja di pemerintah? Realistis, karena butuh mencari uang. Dan sejauh ini
yang memberikanku tawaran pekerjaan ya dari pemerintah, menjadi dokter gigi di
Puskesmas. Mungkin orang bilang munafik, lebih baik tidak makan daripada
menerima uang dengan bekerja tidak dari hati. Tapi aku punya alasan tersendiri,
yang sangat aku yakin tidak semua orang mampu menerimanya. Itu biasa. Semua
orang memiliki isi kepala yang berbeda.
Setelah pulang ke
kampung halaman, satu waktu aku pernah menatap wajah kedua orangtuaku dalam
ketika mereka tertidur. Guratan – guratan di wajahnya tampak begitu jelas,
kulit yang mulai mengendur, rambut putih yang semakin banyak mendominasi dan kantung
mata yang begitu besar menandakan mereka kini sudah tua. Beberapa tahun yang
lalu ketika aku memutuskan pergi dari rumah untuk merantau, mereka terlihat
masih kuat dan gagah. Kini, banyak yang berubah. Ibu bahkan sering menjatuhkan
piring yang berisi makanan penuh karena tangannya tidak sekuat dulu lagi. Bapak
yang duduk menyupir dua jam nonstop lalu langsung sakit pinggang tidak segagah
dulu lagi.
Kurasa, sudah waktuku.
Membiarkan mereka menarik nafas lebih ringan tanpa memikirkan beban untuk terus
bekerja mencari uang untuk anak – anak mereka. Memang belum bisa sepenuhnya aku
membuat mereka beristirahat dari rutinitas bekerja yang sudah mereka lakukan
puluhan tahun. Tapi ketahuilah, besar keinginanku melihat mereka menikmati hari
tua dengan saling bercengkerama sembari menikmati secangkir teh hangat
dikelilingi pemandangan daun – daun dan pepohonan rindang di halaman rumah.
Besar keinginanku untuk tidak lagi melihat mereka bermandikan keringat menembus
panasnya matahari atau kebasahan dihantam titik hujan dari satu tempat ke
tempat lainnya demi sehelai uang.
Biar aku saja.
Biar aku saja, yang
berkendara di atas motor pindah – pindah tempat bekerja meski dengan jarak
tempuh 30km setiap hari tidak peduli hujan atau panas. Biar aku saja, yang rela
pulang hingga malam hari demi melaksanakan perintah atasan mengikuti kegiatan
lapangan. Biar aku saja, yang tetap berangkat kerja meski kadang nyawa tak lagi
berada di tempatnya. Karena kini aku tahu, dulu mereka tak memerlukan satu pun
alasan yang mampu membuat mereka berhenti bekerja. Sekalipun apa yang mereka
kerjakan tak jarang bertentangan dengan apa yang mereka sukai. Semua mereka
lakukan demi anak – anak yang mereka cintai.
Dan ya, mengenai cinta
orangtua, ada kejadian yang membuatku sedikit terenyuh. Teman bekerjaku di
Puskesmas adalah seorang dokter gigi senior di kota. Usianya hampir enam puluh
tahun dan sudah akan pensiun. Beliau memiliki dua orang anak, yang pertama
perempuan seusia denganku. Dan yang kedua laki – laki usia dua puluh empat
tahun. Sekitar tiga bulan yang lalu, beliau mendapat musibah. Anak laki –
lakinya mengalami kecelakaan mobil tunggal dan meninggal di tempat. Sejak
musibah itu, Beliau berubah menjadi sosok yang murung dan sensitif.
Saat hari pertama masuk
kerja, seharian aku hanya mendengarkan kisah Beliau tentang kejadian yang
menimpa anaknya. Dan seharian itu pula aku melihat Beliau berlinang airmata.
Kalimat yang tak henti Beliau ulang adalah, “Saya menyesal tidak bisa memegang
dan mencium wajah anak saya untuk yang terakhir kali,”. Pada hari itu, Beliau
pingsan dan tidak sanggup berbuat apa – apa. Terlebih ketika jenazah almarhum
anaknya tiba dari Rumah Sakit dalam keadaan sudah dikafani dan tidak disarankan
untuk dibuka lagi.
Sejak kejadian itu
pula, kondisi kesehatan suaminya semakin memburuk. Anak pertama Beliau sedang
menyelesaikan kuliah pasca sarjana di Jogjakarta, sehingga setelah itu Beliau
hanya tinggal berdua dengan suaminya di rumah.
Setiap hari Kamis
siang, Beliau sibuk memetik bunga yang tumbuh di sekitar halaman Puskesmas.
Ketika kutanyakan untuk apa, Beliau menjawab, “Untuk ziarah ke kuburan anak
saya besok pagi.”. Rutinitas baru pasangan suami istri yang sudah renta itu
setiap Jumat pagi.
Dari obrolan, bahkan
cerita teman – teman kerja yang juga mengenal Beliau, aku tahu bahwa Beliau
adalah sosok yang begitu mencintai dan memanjakan keluarganya. Puluhan tahun
bekerja menjadi dokter gigi dari pagi hingga malam hari, orang tidak akan
pernah menyangka bahwa Beliau tak punya harta apa – apa. Terlebih saat ini,
yang tersisa hanya rumah yang ditempati dan motor bebek yang digunakan sehari –
hari oleh suaminya yang sakit untuk mengantar Beliau bekerja. Satu – satunya mobil
yang dia punya sudah hancur bersamaan dengan kecelakaan yang menimpa anaknya.
Aku tahu dan entahlah,
mungkin ini perasaan sedih dari seorang anak yang muncul ketika aku sadar bahwa
apapun yang Beliau dapatkan dari bekerja selalu dipersembahkan untuk anak –
anaknya. Apapun yang Beliau lakukan hanya untuk anak – anaknya, setiap saat. Tak
terhitung airmata yang Beliau tumpahkan ketika mengingat anaknya di tempat
kerja. Tak terhitung ucapan “Saya rindu anak saya, Gih” yang terlontar dari
bibirnya ketika beliau duduk melamun. Tak jarang pula Beliau berkata, “Kalau
saya tidak kuat, mungkin saya sekarang sudah gila.”
Apakah menjadi orangtua
memang harus sekuat itu? Aku memang belum menjadi orangtua. Tak tahu bagaimana rasanya mengkhawatirkan anak. Tak tahu rasanya berjuang mempertaruhkan hidup dan mati demi anak. Tak tahu rasanya rela tidak tidur dan makan demi anak. Lalu aku bertanya – tanya, seberapa sering Ibu dan
Bapak menyembunyikan atau mengungkapkan kesedihannya saat bekerja ketika memikirkanku
yang berada jauh dari mereka? Atau seberapa pilu hati Ibu dan Bapak ketika
mereka merindukanku sementara aku tertawa – tawa menikmati hasil jerih payah
mereka? Dan mereka tetap bekerja tak kenal lelah. Dan mereka tetap mendoakan keselamatan
dan kebahagiaanku setiap malam. Dan mereka tetap menerimaku dalam keadaan
seburuk apapun dengan tangan terbuka.
Sementara aku, jangankan
berbagi apa yang kupunya, berbagi cerita saja kadang enggan. Meskipun aku tahu,
mereka tak mengharapkan imbalan apa – apa dariku atas apa yang telah mereka
lakukan untukku bahkan sejak sebelum aku dilahirkan. Meskipun aku tahu, mereka
hanya ingin aku paham keberadaan mereka sebagai orang yang mencintai dan
mengasihiku. Yang aku tidak tahu, masih seberapa lama waktuku. Maka pulang, dan
mengubah posisiku sebagai orang yang akan melakukan apa saja demi kemudahan
hidup mereka adalah kewajiban yang harus kulakukan sebelum habis waktuku.
Karena jika hanya membuat mereka bahagia sesungguhnya dapat dilakukan dengan begitu
sederhana, hanya dengan memeluk lalu mengatakan “Aku cinta kalian” dengan
sepenuh hati. Tak ada hal lain yang mereka harapkan selain kebahagiaan anak –
anaknya. Dan itu berlaku untuk seluruh orangtua yang ada di dunia, tanpa
terkecuali.
Maka merugilah aku dan
anak – anak yang lain yang tidak tahu cara memanfaatkan waktu untuk
membahagiakan mereka yang sepanjang hidupnya dihabiskan untuk memikirkan cara
membahagiakan kami. Bahkan hingga anak – anak mereka tiada, tak ada hal lain
yang dapat menyita pikiran mereka dari sosok anak – anaknya. Semoga, aku dan
banyak anak – anak lain tak kehabisan waktu.
Langganan:
Komentar (Atom)

