Hai, aku mampir
sebentar untuk membersihkan blogku yang semenjak beberapa bulan lalu kutinggal.
Mulai menumpuk debu dengan banyak tulisan yang (mungkin) akan mulai usang.
Aku sibuk, katakanlah
singkatnya begitu. Lama tak kuhampiri blogku, lama tak kuperhatikan. Padahal
beberapa kali ide mengenai tulisan tak seberapa menguap di kepala hingga
akhirnya hilang terbawa angin sebelum sempat kusalin ke benda padat berbentuk
persegi panjang bernama laptop. Hingga malam ini, di tengah rintik hujan yang
tiada berhenti turun sejak pagi aku menguatkan mata dan pikiran untuk menulis
dan bercuap – cuap receh melalui tulisan yang lagi – lagi tak seberapa.
Baiklah, cuap akan
dimulai sekarang.
Sekitar dua bulan yang
lalu aku memutuskan untuk pulang ke kampung halaman. Bukan seperti mudik
lebaran yang biasanya sering kulakukan. Kali ini aku benar – benar ‘pulang’,
tidak lagi merantau di kota orang. Pertimbangan untuk pulang ini bukan perkara
mudah dan main – main. Membutuhkan waktu dan kesiapan. Ya, harus kukatakan
begitu. Hampir sembilan tahun hidup jauh dari orangtua di kota asing dengan
segala tantangan yang datang di dalamnya membuatku berpikir berkali – kali
untuk pulang ke rumah orangtua awalnya. Bukan karena tidak sayang orangtua,
karena tentu semua anak menyayangi orangtuanya. Tetapi karena kota yang pada
awalnya tidak membuatku betah sama sekali ini seperti punya magic yang mampu
menahanku untuk tetap bertahan di sana.
Banyak kenangan dan
kejadian yang begitu membekas dalam ingatan terutama selama masa peralihanku
dari remaja menuju dewasa. Meski seseorang mengatakan tidak banyak (atau bahkan
tidak ada) pelajaran yang kuambil ketika merantau, tapi aku sadar tanpa proses
merantau aku mungkin takkan bisa menjadi seperti sekarang ini. Lalu
pertanyaannya, seperti apa aku sekarang?
Susah bagiku
menjawabnya. Maka akan kugambarkan sedikit kehidupanku sekarang.
Aku wanita pekerja. Setelah
lulus profesi, aku menjadi pekerja klinik swasta yang berusaha mencari uang
untuk memenuhi kebutuhan hidup dan sehari – hari kemana saja. Dari klinik ke
klinik, dari pagi sampai malam. Dan ya, saat itu posisiku masih berada di tanah
rantau, Jogjakarta.
Setelah dua bulan lalu
memutuskan untuk pulang, aku bekerja sebagai dokter gigi yang mengabdi untuk
pemerintah. Benar, pekerja pemerintah. Di kota asalku. Tapi tolong dicatat, aku
bukan PNS. Profesi yang katanya memiliki jutaan peminat – maaf, aku tidak
termasuk. Aku hanya dokter gigi PTT (Pegawai Tidak Tetap) yang dikontrak satu
tahun. Tempat bekerjaku di Puskesmas, tidak jauh dari rumah. Hanya butuh waktu
sekitar 10 – 15 menit dengan sepeda motor.
Bekerja dengan
pemerintah dan bekerja dengan swasta tentu saja berbeda. Mulai dari iklim kerja
hingga penghitungan gaji. Dan hingga detik ini, aku masih tetap berpegangan
pada pendapat bahwa bekerja dengan pemerintah is not my passion. Banyak yang
bertentangan dengan apa yang kupercayai dan kuyakini dalam hati. Bukan menjelek
– jelekkan, tetapi aku hanya merasa tidak sejalan saja.
Lalu kenapa masih
bekerja di pemerintah? Realistis, karena butuh mencari uang. Dan sejauh ini
yang memberikanku tawaran pekerjaan ya dari pemerintah, menjadi dokter gigi di
Puskesmas. Mungkin orang bilang munafik, lebih baik tidak makan daripada
menerima uang dengan bekerja tidak dari hati. Tapi aku punya alasan tersendiri,
yang sangat aku yakin tidak semua orang mampu menerimanya. Itu biasa. Semua
orang memiliki isi kepala yang berbeda.
Setelah pulang ke
kampung halaman, satu waktu aku pernah menatap wajah kedua orangtuaku dalam
ketika mereka tertidur. Guratan – guratan di wajahnya tampak begitu jelas,
kulit yang mulai mengendur, rambut putih yang semakin banyak mendominasi dan kantung
mata yang begitu besar menandakan mereka kini sudah tua. Beberapa tahun yang
lalu ketika aku memutuskan pergi dari rumah untuk merantau, mereka terlihat
masih kuat dan gagah. Kini, banyak yang berubah. Ibu bahkan sering menjatuhkan
piring yang berisi makanan penuh karena tangannya tidak sekuat dulu lagi. Bapak
yang duduk menyupir dua jam nonstop lalu langsung sakit pinggang tidak segagah
dulu lagi.
Kurasa, sudah waktuku.
Membiarkan mereka menarik nafas lebih ringan tanpa memikirkan beban untuk terus
bekerja mencari uang untuk anak – anak mereka. Memang belum bisa sepenuhnya aku
membuat mereka beristirahat dari rutinitas bekerja yang sudah mereka lakukan
puluhan tahun. Tapi ketahuilah, besar keinginanku melihat mereka menikmati hari
tua dengan saling bercengkerama sembari menikmati secangkir teh hangat
dikelilingi pemandangan daun – daun dan pepohonan rindang di halaman rumah.
Besar keinginanku untuk tidak lagi melihat mereka bermandikan keringat menembus
panasnya matahari atau kebasahan dihantam titik hujan dari satu tempat ke
tempat lainnya demi sehelai uang.
Biar aku saja.
Biar aku saja, yang
berkendara di atas motor pindah – pindah tempat bekerja meski dengan jarak
tempuh 30km setiap hari tidak peduli hujan atau panas. Biar aku saja, yang rela
pulang hingga malam hari demi melaksanakan perintah atasan mengikuti kegiatan
lapangan. Biar aku saja, yang tetap berangkat kerja meski kadang nyawa tak lagi
berada di tempatnya. Karena kini aku tahu, dulu mereka tak memerlukan satu pun
alasan yang mampu membuat mereka berhenti bekerja. Sekalipun apa yang mereka
kerjakan tak jarang bertentangan dengan apa yang mereka sukai. Semua mereka
lakukan demi anak – anak yang mereka cintai.
Dan ya, mengenai cinta
orangtua, ada kejadian yang membuatku sedikit terenyuh. Teman bekerjaku di
Puskesmas adalah seorang dokter gigi senior di kota. Usianya hampir enam puluh
tahun dan sudah akan pensiun. Beliau memiliki dua orang anak, yang pertama
perempuan seusia denganku. Dan yang kedua laki – laki usia dua puluh empat
tahun. Sekitar tiga bulan yang lalu, beliau mendapat musibah. Anak laki –
lakinya mengalami kecelakaan mobil tunggal dan meninggal di tempat. Sejak
musibah itu, Beliau berubah menjadi sosok yang murung dan sensitif.
Saat hari pertama masuk
kerja, seharian aku hanya mendengarkan kisah Beliau tentang kejadian yang
menimpa anaknya. Dan seharian itu pula aku melihat Beliau berlinang airmata.
Kalimat yang tak henti Beliau ulang adalah, “Saya menyesal tidak bisa memegang
dan mencium wajah anak saya untuk yang terakhir kali,”. Pada hari itu, Beliau
pingsan dan tidak sanggup berbuat apa – apa. Terlebih ketika jenazah almarhum
anaknya tiba dari Rumah Sakit dalam keadaan sudah dikafani dan tidak disarankan
untuk dibuka lagi.
Sejak kejadian itu
pula, kondisi kesehatan suaminya semakin memburuk. Anak pertama Beliau sedang
menyelesaikan kuliah pasca sarjana di Jogjakarta, sehingga setelah itu Beliau
hanya tinggal berdua dengan suaminya di rumah.
Setiap hari Kamis
siang, Beliau sibuk memetik bunga yang tumbuh di sekitar halaman Puskesmas.
Ketika kutanyakan untuk apa, Beliau menjawab, “Untuk ziarah ke kuburan anak
saya besok pagi.”. Rutinitas baru pasangan suami istri yang sudah renta itu
setiap Jumat pagi.
Dari obrolan, bahkan
cerita teman – teman kerja yang juga mengenal Beliau, aku tahu bahwa Beliau
adalah sosok yang begitu mencintai dan memanjakan keluarganya. Puluhan tahun
bekerja menjadi dokter gigi dari pagi hingga malam hari, orang tidak akan
pernah menyangka bahwa Beliau tak punya harta apa – apa. Terlebih saat ini,
yang tersisa hanya rumah yang ditempati dan motor bebek yang digunakan sehari –
hari oleh suaminya yang sakit untuk mengantar Beliau bekerja. Satu – satunya mobil
yang dia punya sudah hancur bersamaan dengan kecelakaan yang menimpa anaknya.
Aku tahu dan entahlah,
mungkin ini perasaan sedih dari seorang anak yang muncul ketika aku sadar bahwa
apapun yang Beliau dapatkan dari bekerja selalu dipersembahkan untuk anak –
anaknya. Apapun yang Beliau lakukan hanya untuk anak – anaknya, setiap saat. Tak
terhitung airmata yang Beliau tumpahkan ketika mengingat anaknya di tempat
kerja. Tak terhitung ucapan “Saya rindu anak saya, Gih” yang terlontar dari
bibirnya ketika beliau duduk melamun. Tak jarang pula Beliau berkata, “Kalau
saya tidak kuat, mungkin saya sekarang sudah gila.”
Apakah menjadi orangtua
memang harus sekuat itu? Aku memang belum menjadi orangtua. Tak tahu bagaimana rasanya mengkhawatirkan anak. Tak tahu rasanya berjuang mempertaruhkan hidup dan mati demi anak. Tak tahu rasanya rela tidak tidur dan makan demi anak. Lalu aku bertanya – tanya, seberapa sering Ibu dan
Bapak menyembunyikan atau mengungkapkan kesedihannya saat bekerja ketika memikirkanku
yang berada jauh dari mereka? Atau seberapa pilu hati Ibu dan Bapak ketika
mereka merindukanku sementara aku tertawa – tawa menikmati hasil jerih payah
mereka? Dan mereka tetap bekerja tak kenal lelah. Dan mereka tetap mendoakan keselamatan
dan kebahagiaanku setiap malam. Dan mereka tetap menerimaku dalam keadaan
seburuk apapun dengan tangan terbuka.
Sementara aku, jangankan
berbagi apa yang kupunya, berbagi cerita saja kadang enggan. Meskipun aku tahu,
mereka tak mengharapkan imbalan apa – apa dariku atas apa yang telah mereka
lakukan untukku bahkan sejak sebelum aku dilahirkan. Meskipun aku tahu, mereka
hanya ingin aku paham keberadaan mereka sebagai orang yang mencintai dan
mengasihiku. Yang aku tidak tahu, masih seberapa lama waktuku. Maka pulang, dan
mengubah posisiku sebagai orang yang akan melakukan apa saja demi kemudahan
hidup mereka adalah kewajiban yang harus kulakukan sebelum habis waktuku.
Karena jika hanya membuat mereka bahagia sesungguhnya dapat dilakukan dengan begitu
sederhana, hanya dengan memeluk lalu mengatakan “Aku cinta kalian” dengan
sepenuh hati. Tak ada hal lain yang mereka harapkan selain kebahagiaan anak –
anaknya. Dan itu berlaku untuk seluruh orangtua yang ada di dunia, tanpa
terkecuali.
Maka merugilah aku dan
anak – anak yang lain yang tidak tahu cara memanfaatkan waktu untuk
membahagiakan mereka yang sepanjang hidupnya dihabiskan untuk memikirkan cara
membahagiakan kami. Bahkan hingga anak – anak mereka tiada, tak ada hal lain
yang dapat menyita pikiran mereka dari sosok anak – anaknya. Semoga, aku dan
banyak anak – anak lain tak kehabisan waktu.

0 komentar:
Posting Komentar