Sabtu, 02 Maret 2019

Sebelum Habis Waktu


Hai, aku mampir sebentar untuk membersihkan blogku yang semenjak beberapa bulan lalu kutinggal. Mulai menumpuk debu dengan banyak tulisan yang (mungkin) akan mulai usang.
Aku sibuk, katakanlah singkatnya begitu. Lama tak kuhampiri blogku, lama tak kuperhatikan. Padahal beberapa kali ide mengenai tulisan tak seberapa menguap di kepala hingga akhirnya hilang terbawa angin sebelum sempat kusalin ke benda padat berbentuk persegi panjang bernama laptop. Hingga malam ini, di tengah rintik hujan yang tiada berhenti turun sejak pagi aku menguatkan mata dan pikiran untuk menulis dan bercuap – cuap receh melalui tulisan yang lagi – lagi tak seberapa.
Baiklah, cuap akan dimulai sekarang.
Sekitar dua bulan yang lalu aku memutuskan untuk pulang ke kampung halaman. Bukan seperti mudik lebaran yang biasanya sering kulakukan. Kali ini aku benar – benar ‘pulang’, tidak lagi merantau di kota orang. Pertimbangan untuk pulang ini bukan perkara mudah dan main – main. Membutuhkan waktu dan kesiapan. Ya, harus kukatakan begitu. Hampir sembilan tahun hidup jauh dari orangtua di kota asing dengan segala tantangan yang datang di dalamnya membuatku berpikir berkali – kali untuk pulang ke rumah orangtua awalnya. Bukan karena tidak sayang orangtua, karena tentu semua anak menyayangi orangtuanya. Tetapi karena kota yang pada awalnya tidak membuatku betah sama sekali ini seperti punya magic yang mampu menahanku untuk tetap bertahan di sana.
Banyak kenangan dan kejadian yang begitu membekas dalam ingatan terutama selama masa peralihanku dari remaja menuju dewasa. Meski seseorang mengatakan tidak banyak (atau bahkan tidak ada) pelajaran yang kuambil ketika merantau, tapi aku sadar tanpa proses merantau aku mungkin takkan bisa menjadi seperti sekarang ini. Lalu pertanyaannya, seperti apa aku sekarang?
Susah bagiku menjawabnya. Maka akan kugambarkan sedikit kehidupanku sekarang.
Aku wanita pekerja. Setelah lulus profesi, aku menjadi pekerja klinik swasta yang berusaha mencari uang untuk memenuhi kebutuhan hidup dan sehari – hari kemana saja. Dari klinik ke klinik, dari pagi sampai malam. Dan ya, saat itu posisiku masih berada di tanah rantau, Jogjakarta.
Setelah dua bulan lalu memutuskan untuk pulang, aku bekerja sebagai dokter gigi yang mengabdi untuk pemerintah. Benar, pekerja pemerintah. Di kota asalku. Tapi tolong dicatat, aku bukan PNS. Profesi yang katanya memiliki jutaan peminat – maaf, aku tidak termasuk. Aku hanya dokter gigi PTT (Pegawai Tidak Tetap) yang dikontrak satu tahun. Tempat bekerjaku di Puskesmas, tidak jauh dari rumah. Hanya butuh waktu sekitar 10 – 15 menit dengan sepeda motor.
Bekerja dengan pemerintah dan bekerja dengan swasta tentu saja berbeda. Mulai dari iklim kerja hingga penghitungan gaji. Dan hingga detik ini, aku masih tetap berpegangan pada pendapat bahwa bekerja dengan pemerintah is not my passion. Banyak yang bertentangan dengan apa yang kupercayai dan kuyakini dalam hati. Bukan menjelek – jelekkan, tetapi aku hanya merasa tidak sejalan saja.
Lalu kenapa masih bekerja di pemerintah? Realistis, karena butuh mencari uang. Dan sejauh ini yang memberikanku tawaran pekerjaan ya dari pemerintah, menjadi dokter gigi di Puskesmas. Mungkin orang bilang munafik, lebih baik tidak makan daripada menerima uang dengan bekerja tidak dari hati. Tapi aku punya alasan tersendiri, yang sangat aku yakin tidak semua orang mampu menerimanya. Itu biasa. Semua orang memiliki isi kepala yang berbeda.
Setelah pulang ke kampung halaman, satu waktu aku pernah menatap wajah kedua orangtuaku dalam ketika mereka tertidur. Guratan – guratan di wajahnya tampak begitu jelas, kulit yang mulai mengendur, rambut putih yang semakin banyak mendominasi dan kantung mata yang begitu besar menandakan mereka kini sudah tua. Beberapa tahun yang lalu ketika aku memutuskan pergi dari rumah untuk merantau, mereka terlihat masih kuat dan gagah. Kini, banyak yang berubah. Ibu bahkan sering menjatuhkan piring yang berisi makanan penuh karena tangannya tidak sekuat dulu lagi. Bapak yang duduk menyupir dua jam nonstop lalu langsung sakit pinggang tidak segagah dulu lagi.
Kurasa, sudah waktuku. Membiarkan mereka menarik nafas lebih ringan tanpa memikirkan beban untuk terus bekerja mencari uang untuk anak – anak mereka. Memang belum bisa sepenuhnya aku membuat mereka beristirahat dari rutinitas bekerja yang sudah mereka lakukan puluhan tahun. Tapi ketahuilah, besar keinginanku melihat mereka menikmati hari tua dengan saling bercengkerama sembari menikmati secangkir teh hangat dikelilingi pemandangan daun – daun dan pepohonan rindang di halaman rumah. Besar keinginanku untuk tidak lagi melihat mereka bermandikan keringat menembus panasnya matahari atau kebasahan dihantam titik hujan dari satu tempat ke tempat lainnya demi sehelai uang.
Biar aku saja.
Biar aku saja, yang berkendara di atas motor pindah – pindah tempat bekerja meski dengan jarak tempuh 30km setiap hari tidak peduli hujan atau panas. Biar aku saja, yang rela pulang hingga malam hari demi melaksanakan perintah atasan mengikuti kegiatan lapangan. Biar aku saja, yang tetap berangkat kerja meski kadang nyawa tak lagi berada di tempatnya. Karena kini aku tahu, dulu mereka tak memerlukan satu pun alasan yang mampu membuat mereka berhenti bekerja. Sekalipun apa yang mereka kerjakan tak jarang bertentangan dengan apa yang mereka sukai. Semua mereka lakukan demi anak – anak yang mereka cintai.
Dan ya, mengenai cinta orangtua, ada kejadian yang membuatku sedikit terenyuh. Teman bekerjaku di Puskesmas adalah seorang dokter gigi senior di kota. Usianya hampir enam puluh tahun dan sudah akan pensiun. Beliau memiliki dua orang anak, yang pertama perempuan seusia denganku. Dan yang kedua laki – laki usia dua puluh empat tahun. Sekitar tiga bulan yang lalu, beliau mendapat musibah. Anak laki – lakinya mengalami kecelakaan mobil tunggal dan meninggal di tempat. Sejak musibah itu, Beliau berubah menjadi sosok yang murung dan sensitif.
Saat hari pertama masuk kerja, seharian aku hanya mendengarkan kisah Beliau tentang kejadian yang menimpa anaknya. Dan seharian itu pula aku melihat Beliau berlinang airmata. Kalimat yang tak henti Beliau ulang adalah, “Saya menyesal tidak bisa memegang dan mencium wajah anak saya untuk yang terakhir kali,”. Pada hari itu, Beliau pingsan dan tidak sanggup berbuat apa – apa. Terlebih ketika jenazah almarhum anaknya tiba dari Rumah Sakit dalam keadaan sudah dikafani dan tidak disarankan untuk dibuka lagi.
Sejak kejadian itu pula, kondisi kesehatan suaminya semakin memburuk. Anak pertama Beliau sedang menyelesaikan kuliah pasca sarjana di Jogjakarta, sehingga setelah itu Beliau hanya tinggal berdua dengan suaminya di rumah.
Setiap hari Kamis siang, Beliau sibuk memetik bunga yang tumbuh di sekitar halaman Puskesmas. Ketika kutanyakan untuk apa, Beliau menjawab, “Untuk ziarah ke kuburan anak saya besok pagi.”. Rutinitas baru pasangan suami istri yang sudah renta itu setiap Jumat pagi.
Dari obrolan, bahkan cerita teman – teman kerja yang juga mengenal Beliau, aku tahu bahwa Beliau adalah sosok yang begitu mencintai dan memanjakan keluarganya. Puluhan tahun bekerja menjadi dokter gigi dari pagi hingga malam hari, orang tidak akan pernah menyangka bahwa Beliau tak punya harta apa – apa. Terlebih saat ini, yang tersisa hanya rumah yang ditempati dan motor bebek yang digunakan sehari – hari oleh suaminya yang sakit untuk mengantar Beliau bekerja. Satu – satunya mobil yang dia punya sudah hancur bersamaan dengan kecelakaan yang menimpa anaknya.
Aku tahu dan entahlah, mungkin ini perasaan sedih dari seorang anak yang muncul ketika aku sadar bahwa apapun yang Beliau dapatkan dari bekerja selalu dipersembahkan untuk anak – anaknya. Apapun yang Beliau lakukan hanya untuk anak – anaknya, setiap saat. Tak terhitung airmata yang Beliau tumpahkan ketika mengingat anaknya di tempat kerja. Tak terhitung ucapan “Saya rindu anak saya, Gih” yang terlontar dari bibirnya ketika beliau duduk melamun. Tak jarang pula Beliau berkata, “Kalau saya tidak kuat, mungkin saya sekarang sudah gila.”
Apakah menjadi orangtua memang harus sekuat itu? Aku memang belum menjadi orangtua. Tak tahu bagaimana rasanya mengkhawatirkan anak. Tak tahu rasanya berjuang mempertaruhkan hidup dan mati demi anak. Tak tahu rasanya rela tidak tidur dan makan demi anak. Lalu aku bertanya – tanya, seberapa sering Ibu dan Bapak menyembunyikan atau mengungkapkan kesedihannya saat bekerja ketika memikirkanku yang berada jauh dari mereka? Atau seberapa pilu hati Ibu dan Bapak ketika mereka merindukanku sementara aku tertawa – tawa menikmati hasil jerih payah mereka? Dan mereka tetap bekerja tak kenal lelah. Dan mereka tetap mendoakan keselamatan dan kebahagiaanku setiap malam. Dan mereka tetap menerimaku dalam keadaan seburuk apapun dengan tangan terbuka.
Sementara aku, jangankan berbagi apa yang kupunya, berbagi cerita saja kadang enggan. Meskipun aku tahu, mereka tak mengharapkan imbalan apa – apa dariku atas apa yang telah mereka lakukan untukku bahkan sejak sebelum aku dilahirkan. Meskipun aku tahu, mereka hanya ingin aku paham keberadaan mereka sebagai orang yang mencintai dan mengasihiku. Yang aku tidak tahu, masih seberapa lama waktuku. Maka pulang, dan mengubah posisiku sebagai orang yang akan melakukan apa saja demi kemudahan hidup mereka adalah kewajiban yang harus kulakukan sebelum habis waktuku. Karena jika hanya membuat mereka bahagia sesungguhnya dapat dilakukan dengan begitu sederhana, hanya dengan memeluk lalu mengatakan “Aku cinta kalian” dengan sepenuh hati. Tak ada hal lain yang mereka harapkan selain kebahagiaan anak – anaknya. Dan itu berlaku untuk seluruh orangtua yang ada di dunia, tanpa terkecuali.
Maka merugilah aku dan anak – anak yang lain yang tidak tahu cara memanfaatkan waktu untuk membahagiakan mereka yang sepanjang hidupnya dihabiskan untuk memikirkan cara membahagiakan kami. Bahkan hingga anak – anak mereka tiada, tak ada hal lain yang dapat menyita pikiran mereka dari sosok anak – anaknya. Semoga, aku dan banyak anak – anak lain tak kehabisan waktu.

0 komentar:

Posting Komentar

 

This Template Was Found On Elfrida Chania's Blog