Saat yang lain sudah
beralih ke vlog, saya masih setia dengan blog. Hahaha. Pertama, saya nggak
punya kamera bagus seperti yang para vlogger itu punya atau pakai untuk
nge-vlog. Kedua, saya tidak terlalu percaya diri tampil di depan kamera di
tempat umum sambil bicara pula. Ketiga, saya tidak terlalu berambisi untuk
eksis dan jadi pusat perhatian banyak orang. Menulis di blog pun, bukan karena
berharap banyak orang bisa membaca tulisan saya lalu saya bisa menjadi blogger
terkenal. Menulis di blog, murni karena keinginan saya untuk menyalurkan emosi
saya tentang berbagai cerita, pikiran atau isi hati. Agar suatu hari ketika
saya membaca kembali tulisan – tulisan saya di blog, saya masih bisa mengingat
kejadian apa saja yang sudah saya lalui di hari – hari sebelumnya.
Seperti kali ini, saya ingin blog ini menjadi wahana
pengingat untuk masa yang akan datang bahwa saya pernah tidak sengaja terlibat
dalam kampanye politik dengan kedok Baksos. Hahaha. Tolong digarisbawahi, TIDAK
SENGAJA, agar nanti saya tidak malu pada diri sendiri.
Beberapa hari yang lalu, seorang teman sejawat (TS)
menghubungi saya dan menawarkan saya untuk turut serta dalam kegiatan baksos. Acaranya
memang pada akhir minggu, tapi masih dalam hari kerja saya di Puskesmas dan
diluar kota pula walaupun hanya kota sebelah – Sungailiat. Berhubung sudah tiga
bulan gaji saya bekerja di Puskesmas belum cair juga, dan isi dompet sudah
meraung – raung, saya putuskan untuk menerima tawaran TS tersebut. Demi
menambah penghasilan tambahan untuk sementara waktu, dan saya pikir saya
bekerja sesuai dengan profesi saya. Saya bekerja untuk melayani dan membantu
masyarakat berdasarkan ilmu yang saya miliki dan pelajari. Lalu tidak ada salahnya,
kan?
Namun ternyata pada
hari H begitu hampir tiba di lokasi acara, kami (saya dan dua TS dokter gigi
lainnya) baru tahu kalau baksos tersebut merupakan acara partai dalam rangka
kampanye salah satu caleg DPR RI. Dari dulu, saya anti dengan politik. Walaupun
Bapak saya pernah terseret arus politik, atau teman – teman saya juga
berkecimpung di dunia politik, tetapi saya enggan berurusan dengan hal semacam
itu. Meskipun porsi saya hanya sebatas anggota tim medis yang bertugas dan
membantu mendukung jalannya kegiatan saat acara kampanye, tetapi sebuah tiba –
tiba ketika wajah saya didokumentasikan oleh panitia tim sukses bersama si
Bapak Caleg ini membuat saya rasanya harus menutup muka.
Tapi baiklah, fokus kali ini bukan pada kampanye
politiknya. Tetapi pada acara baksosnya. Saya bekerja sebagai tim medis yang
melayani masyarakat, bukan tim sukses suatu partai politik.
Hari H tanggal 9 Maret 2019, acara dimulai pukul delapan
pagi, jadi pada pukul tujuh saya sudah berangkat dari rumah. Titik kumpul awal
berada pada Klinik Alfatih Pangkalpinang, setelah semua tim berkumpul kita berangkat
menggunakan mobil ke lokasi acara. Kebetulan khusus tim dokter gigi diangkut
menggunakan satu mobil, tentu dengan supir yang sudah disiapkan dari panitia.
Berasa spesial ya diperlakukan seperti itu, sebelum negara api menyerang dan
kita berakhir kelelahan >.<
Tiba di lokasi sudah
banyak orang yang datang, mulai dari panitia hingga peserta baksos. Kami
langsung menuju tempat bekerja kami di bagian pelayanan pemeriksaan gigi untuk
membantu mempersiapkan alat dan bahan. Disana sudah ada empat dokter gigi
lainnya yang ternyata didatangkan dari Jakarta. Saya tidak tahu pertimbangannya
apa mendatangkan dokter gigi dari daerah lain ketika sebenarnya di daerah
sendiri masih banyak dokter gigi yang dapat diajak bekerjasama untuk kegiatan
semacam ini.
Satu per satu pasien
datang. Kami terbagi menjadi dua tim; tiga orang dokter gigi melayani
penambalan, tiga orang dokter gigi melayani pencabutan dan satu orang dokter
gigi melakukan screening awal pasien. Saya dan dua TS dari Pangkalpinang
memilih tim tambal gigi. Saat itu kami berpikir akan banyak datang pasien yang
ingin mencabut giginya. Beberapa bulan bekerja di Puskesmas (kebetulan dua
orang TS saya yang lainnya juga bekerja di Puskesmas) sedikit banyak membuat
kami tahu kondisi kesehatan gigi dan mulut masyarakat disini. Tapi ternyataaa,
kami salah! Pasien yang datang hari itu lebih banyak ingin menambal gigi
daripada mencabut giginya. Sehingga kami sebenarnya cukup kewalahan dan
kecapaian melayani pasien yang antri cukup banyak hingga pukul tiga sore.
Itupun, jika pendaftaran pasien tidak kami minta untuk dihentikan mungkin masih
akan banyak antri pasien. Bayangkan, dari pukul delapan pagi hingga tiga sore
kami hanya punya waktu istirahat ketika makan siang dan sholat. Itu pun
bergantian.
Jangan tanyakan bagaimana rasanya tubuh kami. Empat
pasien di puskesmas saja sudah lumayan menguras tenaga, apalagi baksos kali ini
yang total keseluruhan pasien gigi ada sekitar 70an dengan tujuh orang dokter
gigi. Mandi keringat di ruangan non ac yang cukup ramai orang dengan cuaca hari
itu yang cerah bersinar. Terlalu banyak duduk dan menunduk karena kursi pasien
yang terlalu rendah sedangkan kursi duduk kami agak tinggi dan keras serta
kondisi headlamp yang lebih banyak tidak berguna daripada membantu membuat kami
merasa pegal – pegal di lengan, pinggang hingga betis. Dan penambalan,
membutuhkan waktu hampir dua bahkan tiga kali lipat daripada cabut gigi.
Alhasil, keesokan harinya kondisi tubuh saya menurun dan jatuh sakit. Hahahaha,
saya memang payah.
Dari acara baksos pertama yang saya ikuti setelah pindah
bekerja di Bangka, saya dapat menganalisa satu hal. Karakter masyarakat disini
adalah masyarakat dengan ability to pay tinggi namun willingness to pay rendah.
Sebenarnya tidak bisa dikatakan tingkat pemahaman akan pentingnya menjaga
kesehatan gigi mereka rendah, karena buktinya pada acara baksos seperti ini
yang tidak dipungut biaya, mereka berbondong – bondong datang meminta gigi
mereka dirawat. Namun akan berbeda situasi jika mereka datang sendiri ke dokter
gigi atau puskesmas, mereka akan lebih memilih untuk mencabut gigi mereka hanya
karena satu alasan utama: tarif menambal gigi lebih tinggi daripada tarif
mencabut gigi.
Saya sedikit gemas dan kesal ketika merawat seorang
pasien di acara baksos kemarin. Pasien saya adalah gadis muda yang memiliki
wajah cukup mulus dan cantik. Dia datang ingin meminta dua giginya ditambal,
yang saya tahu kondisi giginya belum berlubang dan baru ada bayangan kehitaman.
Bukan, bukan karena dia cantik atau giginya yang tidak berlubang ingin ditambal
yang membuat saya kesal. Tapi karena kondisi rongga mulutnya yang sangat kotor.
Karang gigi dimana – mana dan sudah cukup tebal. Yang saya herankan adalah
pasien tersebut belum pernah ke dokter gigi sama sekali sebelumnya untuk
memeriksakan kondisi tersebut. Ketika saya menjelaskan mengenai kondisi giginya
yang tidak berlubang namun akan ditambal, pasien paham bahwa tindakan tersebut
adalah tindakan pencegahan sebelum giginya rusak lebih parah. Lalu ketika saya
menjelaskan bahwa kondisi terburuk dan tindakan utama yang seharusnya dilakukan
terkait rongga mulutnya adalah melakukan pembersihan karang gigi (yang
sayangnya tidak dilayani dalam baksos tersebut), respon pertama pasien saat itu
adalah pertanyaan “Mahal nggak, Dok?”. Disitulah kekesalan saya muncul.
Kenapa biaya atau harga selalu jadi hambatan utama? Bukan
karena sok kaya, atau karena saya berada pada posisi sebagai dokter. Tapi
bukankah ada istilah ‘Sehat itu mahal’? Jika mampu menyisihkan uang untuk
membeli alat make-up atau melakukan perawatan wajah, seharusnya juga mampu
menyisihkan uang untuk melakukan pengobatan atau memeriksakan kesehatan
giginya. Setidaknya melakukan pemeriksaan rutin ke dokter gigi hanya butuh enam
bulan sekali jika dibandingkan perawatan wajah semacam facial atau perawatan
rambut seperti creambath yang biasanya dilakukan rutin sebulan sekali. Mengapa
kesehatan gigi dan mulut diabaikan atau dianggap bukan hal penting? Padahal
semua tahu, menjaga gigi dan mulut juga termasuk dalam menjaga kesehatan.
Menjadi PR besar bagi saya dan TS lainnya untuk
memperbaiki pola pikiran masyarakat mengenai pentingnya menjaga kesehatan gigi
dan mulut. Tubuh dari kepala sampai kaki adalah satu keseluruhan sistem. Maka
tak ada satu bagian atau organ tubuh yang jauh lebih penting daripada bagian
atau organ tubuh lainnya. Semua sama pentingnya untuk dijaga keutuhan dan
kesehatannya, tak terkecuali gigi dan mulut. Karena semua memiliki fungsi dan
cara kerja masing – masing.
Selalu ada kelegaan dalam hati saya setiap kali saya
selesai memberikan penyuluhan tentang kesehatan gigi. Apalagi jika pasien atau
masyarakat mengangguk – anggukkan kepala setiap saya selesai bicara. Rasanya
ada hal kecil berguna yang dapat saya bagikan untuk banyak orang terutama
masyarakat. Setidaknya jika mereka belum paham, kini mereka tahu. Bukankah
sebelum memahami kita harus mengetahui terlebih dahulu? Kondisi masyarakat di
tempat tinggal saya dengan mayoritas latar belakang pendidikan dan ekonomi
rendah tentu berbeda dengan masyarakat yang berada di kota besar. Hal itu menjadi
tantangan untuk diri saya sendiri dalam mengedukasi dan meningkatkan pemahaman
mereka tentang kesehatan bagian tubuh lainnya khususnya gigi dan mulut. Harapan
saya dahulu bisa menjadi orang yang berguna untuk masyarakat kecil kembali
mengudara. Paling tidak jika saya belum mampu memberikan apa – apa, saya mulai
berusaha melakukan yang terbaik sebisa saya.
Jangan, jangan sembunyikan kemampuan dan pengetahuanmu
untuk mereka yang belum atau tidak tahu. Semakin banyak yang kita bagi, semakin
banyak pula yang kita dapatkan terutama tentang ilmu. Dan sesuai sumpah profesi
yang pernah saya ikrarkan, saya akan terus membaktikan hidup saya untuk
kepentingan kemanusiaan. Insyaallah.
Note:
Note:
![]() |
| Hanya ini satu satunya foto yang saya punya dari acara kemarin. Kursi yang saya gunakan untuk memeriksa dan merawat pasien. Serba apa adanya, tapi ternyata cukup menyiksa raga. 😌😌 |


0 komentar:
Posting Komentar