Selasa, 12 Maret 2019

Belajar Menikmati Profesi

Saat yang lain sudah beralih ke vlog, saya masih setia dengan blog. Hahaha. Pertama, saya nggak punya kamera bagus seperti yang para vlogger itu punya atau pakai untuk nge-vlog. Kedua, saya tidak terlalu percaya diri tampil di depan kamera di tempat umum sambil bicara pula. Ketiga, saya tidak terlalu berambisi untuk eksis dan jadi pusat perhatian banyak orang. Menulis di blog pun, bukan karena berharap banyak orang bisa membaca tulisan saya lalu saya bisa menjadi blogger terkenal. Menulis di blog, murni karena keinginan saya untuk menyalurkan emosi saya tentang berbagai cerita, pikiran atau isi hati. Agar suatu hari ketika saya membaca kembali tulisan – tulisan saya di blog, saya masih bisa mengingat kejadian apa saja yang sudah saya lalui di hari – hari sebelumnya.
            Seperti kali ini, saya ingin blog ini menjadi wahana pengingat untuk masa yang akan datang bahwa saya pernah tidak sengaja terlibat dalam kampanye politik dengan kedok Baksos. Hahaha. Tolong digarisbawahi, TIDAK SENGAJA, agar nanti saya tidak malu pada diri sendiri.
            Beberapa hari yang lalu, seorang teman sejawat (TS) menghubungi saya dan menawarkan saya untuk turut serta dalam kegiatan baksos. Acaranya memang pada akhir minggu, tapi masih dalam hari kerja saya di Puskesmas dan diluar kota pula walaupun hanya kota sebelah – Sungailiat. Berhubung sudah tiga bulan gaji saya bekerja di Puskesmas belum cair juga, dan isi dompet sudah meraung – raung, saya putuskan untuk menerima tawaran TS tersebut. Demi menambah penghasilan tambahan untuk sementara waktu, dan saya pikir saya bekerja sesuai dengan profesi saya. Saya bekerja untuk melayani dan membantu masyarakat berdasarkan ilmu yang saya miliki dan pelajari. Lalu tidak ada salahnya, kan?
Namun ternyata pada hari H begitu hampir tiba di lokasi acara, kami (saya dan dua TS dokter gigi lainnya) baru tahu kalau baksos tersebut merupakan acara partai dalam rangka kampanye salah satu caleg DPR RI. Dari dulu, saya anti dengan politik. Walaupun Bapak saya pernah terseret arus politik, atau teman – teman saya juga berkecimpung di dunia politik, tetapi saya enggan berurusan dengan hal semacam itu. Meskipun porsi saya hanya sebatas anggota tim medis yang bertugas dan membantu mendukung jalannya kegiatan saat acara kampanye, tetapi sebuah tiba – tiba ketika wajah saya didokumentasikan oleh panitia tim sukses bersama si Bapak Caleg ini membuat saya rasanya harus menutup muka.
            Tapi baiklah, fokus kali ini bukan pada kampanye politiknya. Tetapi pada acara baksosnya. Saya bekerja sebagai tim medis yang melayani masyarakat, bukan tim sukses suatu partai politik.
            Hari H tanggal 9 Maret 2019, acara dimulai pukul delapan pagi, jadi pada pukul tujuh saya sudah berangkat dari rumah. Titik kumpul awal berada pada Klinik Alfatih Pangkalpinang, setelah semua tim berkumpul kita berangkat menggunakan mobil ke lokasi acara. Kebetulan khusus tim dokter gigi diangkut menggunakan satu mobil, tentu dengan supir yang sudah disiapkan dari panitia. Berasa spesial ya diperlakukan seperti itu, sebelum negara api menyerang dan kita berakhir kelelahan >.<
Tiba di lokasi sudah banyak orang yang datang, mulai dari panitia hingga peserta baksos. Kami langsung menuju tempat bekerja kami di bagian pelayanan pemeriksaan gigi untuk membantu mempersiapkan alat dan bahan. Disana sudah ada empat dokter gigi lainnya yang ternyata didatangkan dari Jakarta. Saya tidak tahu pertimbangannya apa mendatangkan dokter gigi dari daerah lain ketika sebenarnya di daerah sendiri masih banyak dokter gigi yang dapat diajak bekerjasama untuk kegiatan semacam ini.
Satu per satu pasien datang. Kami terbagi menjadi dua tim; tiga orang dokter gigi melayani penambalan, tiga orang dokter gigi melayani pencabutan dan satu orang dokter gigi melakukan screening awal pasien. Saya dan dua TS dari Pangkalpinang memilih tim tambal gigi. Saat itu kami berpikir akan banyak datang pasien yang ingin mencabut giginya. Beberapa bulan bekerja di Puskesmas (kebetulan dua orang TS saya yang lainnya juga bekerja di Puskesmas) sedikit banyak membuat kami tahu kondisi kesehatan gigi dan mulut masyarakat disini. Tapi ternyataaa, kami salah! Pasien yang datang hari itu lebih banyak ingin menambal gigi daripada mencabut giginya. Sehingga kami sebenarnya cukup kewalahan dan kecapaian melayani pasien yang antri cukup banyak hingga pukul tiga sore. Itupun, jika pendaftaran pasien tidak kami minta untuk dihentikan mungkin masih akan banyak antri pasien. Bayangkan, dari pukul delapan pagi hingga tiga sore kami hanya punya waktu istirahat ketika makan siang dan sholat. Itu pun bergantian.
            Jangan tanyakan bagaimana rasanya tubuh kami. Empat pasien di puskesmas saja sudah lumayan menguras tenaga, apalagi baksos kali ini yang total keseluruhan pasien gigi ada sekitar 70an dengan tujuh orang dokter gigi. Mandi keringat di ruangan non ac yang cukup ramai orang dengan cuaca hari itu yang cerah bersinar. Terlalu banyak duduk dan menunduk karena kursi pasien yang terlalu rendah sedangkan kursi duduk kami agak tinggi dan keras serta kondisi headlamp yang lebih banyak tidak berguna daripada membantu membuat kami merasa pegal – pegal di lengan, pinggang hingga betis. Dan penambalan, membutuhkan waktu hampir dua bahkan tiga kali lipat daripada cabut gigi. Alhasil, keesokan harinya kondisi tubuh saya menurun dan jatuh sakit. Hahahaha, saya memang payah.
            Dari acara baksos pertama yang saya ikuti setelah pindah bekerja di Bangka, saya dapat menganalisa satu hal. Karakter masyarakat disini adalah masyarakat dengan ability to pay tinggi namun willingness to pay rendah. Sebenarnya tidak bisa dikatakan tingkat pemahaman akan pentingnya menjaga kesehatan gigi mereka rendah, karena buktinya pada acara baksos seperti ini yang tidak dipungut biaya, mereka berbondong – bondong datang meminta gigi mereka dirawat. Namun akan berbeda situasi jika mereka datang sendiri ke dokter gigi atau puskesmas, mereka akan lebih memilih untuk mencabut gigi mereka hanya karena satu alasan utama: tarif menambal gigi lebih tinggi daripada tarif mencabut gigi.
            Saya sedikit gemas dan kesal ketika merawat seorang pasien di acara baksos kemarin. Pasien saya adalah gadis muda yang memiliki wajah cukup mulus dan cantik. Dia datang ingin meminta dua giginya ditambal, yang saya tahu kondisi giginya belum berlubang dan baru ada bayangan kehitaman. Bukan, bukan karena dia cantik atau giginya yang tidak berlubang ingin ditambal yang membuat saya kesal. Tapi karena kondisi rongga mulutnya yang sangat kotor. Karang gigi dimana – mana dan sudah cukup tebal. Yang saya herankan adalah pasien tersebut belum pernah ke dokter gigi sama sekali sebelumnya untuk memeriksakan kondisi tersebut. Ketika saya menjelaskan mengenai kondisi giginya yang tidak berlubang namun akan ditambal, pasien paham bahwa tindakan tersebut adalah tindakan pencegahan sebelum giginya rusak lebih parah. Lalu ketika saya menjelaskan bahwa kondisi terburuk dan tindakan utama yang seharusnya dilakukan terkait rongga mulutnya adalah melakukan pembersihan karang gigi (yang sayangnya tidak dilayani dalam baksos tersebut), respon pertama pasien saat itu adalah pertanyaan “Mahal nggak, Dok?”. Disitulah kekesalan saya muncul.
            Kenapa biaya atau harga selalu jadi hambatan utama? Bukan karena sok kaya, atau karena saya berada pada posisi sebagai dokter. Tapi bukankah ada istilah ‘Sehat itu mahal’? Jika mampu menyisihkan uang untuk membeli alat make-up atau melakukan perawatan wajah, seharusnya juga mampu menyisihkan uang untuk melakukan pengobatan atau memeriksakan kesehatan giginya. Setidaknya melakukan pemeriksaan rutin ke dokter gigi hanya butuh enam bulan sekali jika dibandingkan perawatan wajah semacam facial atau perawatan rambut seperti creambath yang biasanya dilakukan rutin sebulan sekali. Mengapa kesehatan gigi dan mulut diabaikan atau dianggap bukan hal penting? Padahal semua tahu, menjaga gigi dan mulut juga termasuk dalam menjaga kesehatan.
            Menjadi PR besar bagi saya dan TS lainnya untuk memperbaiki pola pikiran masyarakat mengenai pentingnya menjaga kesehatan gigi dan mulut. Tubuh dari kepala sampai kaki adalah satu keseluruhan sistem. Maka tak ada satu bagian atau organ tubuh yang jauh lebih penting daripada bagian atau organ tubuh lainnya. Semua sama pentingnya untuk dijaga keutuhan dan kesehatannya, tak terkecuali gigi dan mulut. Karena semua memiliki fungsi dan cara kerja masing – masing.
            Selalu ada kelegaan dalam hati saya setiap kali saya selesai memberikan penyuluhan tentang kesehatan gigi. Apalagi jika pasien atau masyarakat mengangguk – anggukkan kepala setiap saya selesai bicara. Rasanya ada hal kecil berguna yang dapat saya bagikan untuk banyak orang terutama masyarakat. Setidaknya jika mereka belum paham, kini mereka tahu. Bukankah sebelum memahami kita harus mengetahui terlebih dahulu? Kondisi masyarakat di tempat tinggal saya dengan mayoritas latar belakang pendidikan dan ekonomi rendah tentu berbeda dengan masyarakat yang berada di kota besar. Hal itu menjadi tantangan untuk diri saya sendiri dalam mengedukasi dan meningkatkan pemahaman mereka tentang kesehatan bagian tubuh lainnya khususnya gigi dan mulut. Harapan saya dahulu bisa menjadi orang yang berguna untuk masyarakat kecil kembali mengudara. Paling tidak jika saya belum mampu memberikan apa – apa, saya mulai berusaha melakukan yang terbaik sebisa saya.
            Jangan, jangan sembunyikan kemampuan dan pengetahuanmu untuk mereka yang belum atau tidak tahu. Semakin banyak yang kita bagi, semakin banyak pula yang kita dapatkan terutama tentang ilmu. Dan sesuai sumpah profesi yang pernah saya ikrarkan, saya akan terus membaktikan hidup saya untuk kepentingan kemanusiaan. Insyaallah.

Note:
Hanya ini satu satunya foto yang saya punya dari acara kemarin. Kursi yang saya gunakan untuk memeriksa dan merawat pasien. Serba apa adanya, tapi ternyata cukup menyiksa raga. 😌😌

0 komentar:

Posting Komentar

 

This Template Was Found On Elfrida Chania's Blog