Senin, 25 Desember 2017

Apa depresi?



Depresi. Beberapa waktu lalu dunia entertainment sempat dihebohkan dengan berita meninggalnya salah satu artis papan atas asal negeri Korea karena bunuh diri. Dari banyaknya berita yang beredar, korban sudah mengidap depresi mendalam yang cukup lama. Dan bunuh diri, merupakan pilihan terakhir yang diambil korban karena ketidaksanggupannya bertahan melawan depresi yang dia rasakan.
Saya tidak cukup tahu banyak tentang apa itu depresi. Dan depresi bagaimana yang diderita korban selama ini. Tapi dari yang saya baca di berita – berita nasional, jelas dari keseharian korban dan begitu banyaknya penampilan korban tidak menunjukkan gelagat seperti orang depresi parah, cenderung bahagia. Bagaimana tidak, hidup dengan harta melimpah, menjadi pujaan dan dielu – elukan banyak penggemar, rasanya seperti life goals untuk banyak orang. Sehingga, kecil kemungkinan hidup yang serba enak seperti itu justru menimbulkan depresi. Setidaknya begitulah yang banyak orang pikirkan.
Depresi selalu dikaitkan dengan sifat putus asa dan tidak percaya diri. Menurut saya, hampir setiap orang pernah melalui fase tersebut. Pernahkah kamu merasa sangat tidak berharga? Pernahkah kamu menyalahkan diri sendiri atas banyaknya waktu sulit yang kamu lewati? Atau pernahkah kamu merasa dunia mungkin jauh lebih baik tanpa kehadiranmu? Ya, mereka yang depresi pernah merasakan itu.
Dari surat terakhir yang beredar, si artis Korea yang bunuh diri beberapa waktu lalu dapat dipahami bahwa dia merasa kesepian. Dan tidak ada orang yang menyadari itu. Apa yang disaksikan di dunia maya tak serta merta mewakili apa yang sedang terjadi di dunia nyata. Jika seseorang terlihat tertawa bahagia dalam setiap unggahan di dunia maya, tidak lantas menyiratkan bahwa dia tidak sedang memiliki masalah di dunia nyata.
Saya amat sering bertemu dengan orang yang merasa dirinya lebih hidup pada dunia maya daripada dunia nyata. Memang tidak salah, tapi bagi saya akan jauh lebih baik jika kita benar – benar menikmati hidup di dunia yang sesungguhnya. Dunia maya jangan dijadikan panggung, dimana kita harus selalu menggunakan topeng untuk menutupi diri kita yang sesungguhnya. Melakukan apa yang menurut orang lain baik, walau mungkin sesungguhnya tidak baik untuk diri kita sendiri. Perlahan kita akan kehilangan jati diri.
Depresi menurut saya bisa berawal dari hal sepele semacam itu. Seperti pada kasus artis Korea diatas, depresi berkepanjangan yang korban derita tertutupi dengan baik selama ini. Tidak ada yang menyadari, karena korban sebagai publik figur dituntut untuk selalu terlihat baik – baik saja. Bahaya. Bukan hanya terjadi pada publik figur. Umumnya setiap orang memang selalu dituntut untuk terlihat baik – baik saja. Bersyukurlah bagi orang – orang yang ekspresif, selalu meluapkan emosi yang dirasakan. Karena tidak sedikit orang yang tidak cakap menyampaikan emosi sehingga memendam sendiri yang berakhir depresi. Tidak sedikit orang yang tertawa di depan banyak orang tetapi menangis sesenggukan ketika mereka sedang sendiri.
Kita, memang tidak selalu menyadari apakah orang yang ada di sekeliling kita benar baik – baik saja atau justru mereka sedang berusaha menutupi apa yang mereka rasakan. Satu hal yang pasti, menjadi depresi bukan pula keinginan mereka. Putus asa bukanlah hal mudah yang mereka rasakan. Tidak berharga bukanlah perasaan sederhana yang dapat diselesaikan dengan hanya tanpa bicara. Bunuh diri mungkin jadi hal tercepat yang terlintas di benak mereka yang depresi. Tidak membebani. Tidak merasakan sakit lagi. Tidak ketakutan setiap hari.
Setidaknya bila kita mulai mengkhawatirkan hal semacam depresi menghampiri orang terdekat kita, jangan hanya diam saja. Berdirilah di sampingnya dan rangkullah, orang depresi terkadang sering mencari tahu arti keberadaannya. Paling tidak kita bisa meyakinkan bahwa dia tidak sendiri. Bukan justru ditinggal sendiri.  Jangan biarkan dia terlambat menyadari bahwa dia bisa benar – benar baik – baik saja. Mereka yang depresi bertarung dengan waktu berusaha melawan atau terseret semakin dalam. Maka, tolonglah sebisamu.

Selasa, 28 November 2017

Mereka bilang mereka penulis..

Beberapa waktu lalu sempat ramai diperbincangkan di media sosial tentang sebuah berita yang menyangkut seorang penulis terkenal. Tere Liye. Mungkin banyak dari anda pasti tahu siapa Tere Liye, meskipun mungkin banyak juga dari anda yang tahu siapa beliau tapi tidak tahu dan tidak pernah membaca karya beliau. Ya, beliau adalah seorang penulis novel cukup terkenal di Indonesia. Terlepas dari seberapa baguskah karya beliau, menurut saya setiap karya memiliki penilaian yang relatif. Menurut si A bagus, tapi belum tentu menurut si B bagus juga. Oke, disini saya tidak akan membahas seberapa bagus atau buruk karya beliau (karena memang bukan itu yang ingin saya bahas). Berita yang diperbincangkan beberapa waktu yang lalu adalah bahwa Tere Liye mengeluarkan statement yang melarang menggunakan karya atau tulisan beliau untuk dijadikan status pada akun medsos.
Menarik. Jarang loh ada penulis yang blak - blakan seperti ini. Dan statement semacam ini sudah pasti akan menuai pro kontra di masyarakat, terlebih masyarakat pengkonsumsi media sosial fanatik. Dari bermacam pro kontra tersebut, saya amati lebih banyak kontra dengan pernyataan beliau. Dan banyak pula yang tak segan - segan mengirimkan kritik pedas bahkan cacian ke beliau. Ya, manusia memang bisa berubah 180 derajat apabila hal - hal yang mereka sukai dilarang keras oleh orang lain.
Begini. Masyarakat  sebenarnya memiliki hak untuk bebas berekspresi dimana saja termasuk sosial media. Dan si penulis memang memiliki hak untuk tidak memperbolehkan orang lain menggunakan karyanya untuk kepentingan pribadi. Asal dengan satu syarat, karyanya murni hasil sendiri. Bukan pula hasil plagiat. Banyak yang mengaku dirinya seorang penulis padahal hasil mencomot tulisan orang lain, tanpa menyertakan sumber sehingga seolah - olah itulah tulisan mereka. Apakah seperti itu etikanya? Tentu tidak. Mirisnya, terkadang yang tidak mengetahui etika mengutip justru orang - orang yang bergelut pada dunia tersebut. Oh ralat, mungkin mereka tahu tapi pura - pura tidak tahu.
Saya tidak bermaksud menyudutkan atau menyalahkan Tere Liye, tidak. Dalam hal ini saya tidak memfokuskan pembahasan pada satu sosok penulis, tapi banyak penulis. Penulis muda dengan segudang talenta tipu - tipu, istilahnya yang disebutkan pasangan saya saat kami ngobrol ringan. Hey kawan, berkarya boleh saja, tapi pastikan tujuannya. Apa benar - benar ingin berekspresi dan menyampaikan pemikiran, atau hanya demi eksistensi dan pencitraan semata? Dua duanya memang sah - sah saja. Semua orang bebas menuliskan apa saja apapun tujuannya. Jika karya anda murni orisinal karya pribadi dan anda benar - benar memahami apa yang anda tulis, tentu saja banyak yang akan menghargai. Namun, jika karya anda hanya hasil dari 'tipu-tipu', seharusnya jangan marah jika suatu saat tulisan anda, bahkan mungkin anda sendiri tidak lagi dihargai. Yang harus dipahami, tidak semua pembaca bisa dibodoh bodohi.
Intinya, jadilah orang yang orisinil dan smart. Narsis boleh, eksis boleh, tapi jangan lupa aturan yang berlaku. Demi eksis upload foto, update status harus dengan kalimat bijak biar terlihat keren dan intelek, padahal jiplak, padahal tidak mengerti. Jiplak boleh, tapi dicantumkan sumbernya jangan asal menjiplak. Pahami juga dulu tulisan anda, jangan sampai terlihat bodoh sehingga mudah ditertawakan orang lain. Saya memang tidak sekolah di jurusan yang memahami perihal tulis menulis, saya juga tidak bekerja di profesi yang berkaitan erat dengan dunia tulis menulis, tapi saya tahu cara dan etika mengutip karya orang lain. Saya bukan penulis, tulisan saya jauh dari bagus, apalagi dibandingkan dengan tulisan - tulisan para penulis ternama tanah air (apalah saya), tapi saya juga tentu tidak bisa terima jika tulisan saya dijiplak atau dicomot orang lain demi kepentingan pribadi tanpa mencantumkan sumber. Saya juga tidak bisa terima jika orang lain menulis tanpa memahami terlebih dahulu hanya agar terlihat pintar dan bijaksana.
Sebelum berkata - kata bijak di media sosial alangkah baiknya jika menggunakan sikap yang bijak pula. Tidak malukah berkata bijak dan intelek demi membangun image atau citra baik padahal sikap tidak mencerminkan sikap yang cerdas? Menulis sesuatu yang bijak memang mudah, apalagi sekedar mengutip, yang susah adalah menyelaraskan antara tulisan dan sikap. Semua kembali ke masing - masing. Ingin menjadi penulis 'cerdas' atau penulis penuh 'tipu - tipu?' Semoga banyak yang menamai diri mereka penulis membaca, tersinggung lalu membenahi diri mereka. Bukan membaca, tersinggung lalu marah dan mencari pembenaran atas tulisan mereka.

Rabu, 08 November 2017

Dilarang Sakit.. Dilarang Menyerah..



Kalimat yang sering saya dengar akhir – akhir ini di lingkungan ‘lengkung AMC’ –daerah kekuasaan mahasiswa profesi tingkat akhir di AMC karena kita udah hampir ngga pernah masuk bangsal lagi– adalah “DILARANG SAKIT!” dan “DILARANG MENYERAH!”.
Berangkat pagi disaat pegawai pun belum datang (kadang jam tujuh pagi udah nangkring di lengkung) pulang sore kadang malam, dari yang wajah masih segar sampai wajah sudah kucel, lari kesana kesini mengejar dosen, revisi laporan bolak balik ke fotocopyan, menu makan tiap hari di kantin sama, plus bonus pulang kehujanan karena Jogja belakangan ini sering hujan deras dan awet, kita tetap dilarang keras untuk jatuh sakit disaat – saat seperti ini. Pemandangan ketiduran di lengkung, laptop jejeran kayak costumer service, rebutan DOPS buat minta nilai, misuh – misuh saat ditolak ujian atau diskusi lagi dengan dosen, dan heboh ketika lihat dosen yang lagi dicari tiba – tiba jalan santai di bangsal udah jadi makanan sehari – hari. Terkadang kita saling curhat sampai pengen nangis, mau lulus kok gini amat ya, tapi selaluu aja ada yang nyemangatin dengan teriak keras “Jangan nyerah sih, dikit lagi”. Atau kalau ada yang mulai bilang “Aku udah capek ni kok ngga kelar – kelar ya?” selalu aja ada yang bilang “Ngga boleh capek, ngga boleh sakit. Mau lulus kapan klo dikit – dikit capek, dikit – dikit sakit?” Saling gantian menyemangati, karena kita semua tahu kondisi kita sama. Terlebih kita semua tahu tujuan kita saat ini sama, LULUS SECEPATNYA.
Saya, sudah dua minggu lebih ini batuk ngga sembuh – sembuh. Kalau pulang kehujanan, batuknya semakin menjadi – jadi, ditambah bersin – bersin pula. Tapi kalau sudah berada di lingkungan lengkung dengan ‘teman – teman seperjuangan’ yang orangnya setiap hari itu – itu aja, jadi lupa kalau saya sakit dan seharusnya banyak istirahat. Minum obat tetap jalan, tapi revisian dan ujian diatas segala – galanya. Pulang ke kost langsung tepar, dan baru terasa lelah selelah lelahnya. Ingin tidur yang panjang, tapi setiap mau tidur kepikiran laporan lagi laporan lagi ujung – ujungnya ngga bisa tidur dan yaa begitulah setiap hari. Aturan nomor satu tetap; DILARANG SAKIT.
Kemarin saya mendengar sebuah lagu baru dari salah satu grup band favorit saya, Noah, judulnya Jalani Mimpi. Entah karena memang saya orangnya hiperbola, baperan, atau memang saya sedang dalam fase sensitif, liriknya yang sebenarnya biasa aja bisa bikin saya menangis ngga berhenti.  
Teruslah kau mencari.. Waktu akan selalu mengobati.. Temukan semua yang terhenti dalam hidupmu.. Tak perlu kau sesali.. Hidup kan membuatmu memahami.. Coba untuk tetap berdiri jalani mimpi..
Biasa aja kan? But I felt complicated. Di tengah – tengah masa berjuang seperti ini, saya ingat kembali tujuan saya disini untuk memberikan kebanggan ke orang – orang yang menyayangi saya terutama kedua orangtua saya. Sesulit apapun perjuangan saya, tentu tidak sebanding dengan perjuangan yang sudah mereka lakukan agar saya bisa tetap berdiri. At that point, down banget dan kadang ngerasa kecewa sama diri sendiri. Kenapa untuk menjalankan kewajiban yang seperti ini aja saya ngerasa berat dan sering mengeluh? Kenapa usaha saya ngga sebesar apa yang sudah orang – orang terdekat saya harapkan kepada saya? Tapi saya sadar, mau kecewa mau nangis pun kalau semua ngga dilanjutkan dan diselesaikan dengan baik ya ngga akan ada gunanya. Jadi aturan nomor dua; DILARANG MENYERAH itu memang manjur banget untuk menjaga semangat di saat seperti ini.
Sedikit lagi. Bertahan sedikit lagi. Untuk mereka; kedua orangtua, adik dan pasangan saya yang selalu berada di belakang saya mendorong saya untuk terus berjalan meraih mimpi. Sedikit lagi. Dan akan saya bayar semua yang sudah mereka berikan untuk saya selama ini. Saya tidak akan sakit dan tidak akan menyerah.

Kamis, 21 September 2017

Proses..



Saya ingat salah satu omongan sahabat saya beberapa waktu lalu “Setiap orang akan menempuh jalan hidup yang berkelok – kelok, ngga ada yang lurus. Hanya saja setiap orang mempunyai kelokan yang berbeda.”
Iya, untuk saat ini kalimat itu persis menggambarkan kehidupan ‘koas’ kita yang berjalan sudah hampir 3 tahun. Tiga tahun! Sekolah pasca sarjana aja kebanyakan hanya butuh waktu dua tahun. Tahun – tahun genting dimana kita yang dianggap ‘angkatan tua’ sudah kehabisan stock pasien, ngga dapet jatah kursi, tiap ketemu dosen ditanyain “kamu kurang pasien apa?”, kalau orangtua nanya kapan selesai mulai keringat dingin, dan sensasi – sensasi lain yang hanya anak koas KG yang tahu.
Dulu awal koas, dalam satu bulan saya dan teman – teman bisa mengerjakan banyak sekali requirement pasien. Setiap hari produktif. Sehari ngga kerja pasien rasanya pusing keliling keliling cari pasien ganti, karena sayang jatah kursi yang kita punya. Mau diskusi kasus pun dijadwalin dan dirundingin banget sama kelompok biar ngga bingung pembagian waktunya. Jam koas pun teratur banget, termasuk waktu makan.
Sekarang, duh masyaallah semuanya kayak benang kusut. Berangkat koas semaunya aja, pulang pun gitu. Di rumah sakit pun kadang bingung dan bengong ngga tau mau ngerjain apa. Garap resus dan follow up, duh malesnya luar biasa. Nyari pasien keliling kampung ngga nemu juga. Kalau ini sih ya karena kita cuma nyari pasien sisa requirement atau ujian yang kita belum punya aja, makanya rada susah. Belum lagi banyak drama yang terjadi antara pasien dan koas yang mungkin kalau diangkat ke film, bikin mewek banyak penonton. Hahaha.
Ini ada salah satu dari sekelumit cerita anak koas KG (cerita temen saya). Jadi temen saya hanya kurang satu ujian lagi untuk bisa ikut ujian Kompre, dan ujian yang dibutuhkan tersebut adalah ujian scalling (OHI buruk). Tahu dong yaa, yang namanya pasien Scalling itu tumpah ruah banget. Dulu scalling pasien tiap hari sampe udah bosen, ketemu pasien baru scalling meneh scalling meneh. Tapi inii, teman saya nyari pasien scalling yang bisa diindikasi untuk ujian sampai berbulan – bulan. Berapa kali teman saya harus ganti pasien karena pasien yang dibawa tidak memenuhi syarat untuk dijadikan pasien ujian. Alasannya ya selalu keadaan rongga mulutnya kurang kotor, kalkulus (karang gigi)nya kurang banyak. Singkat cerita akhirnya teman saya menemukanlah pasien yang bisa diindikasikan buat ujian (setelah berbulan – bulan lamanya) yaitu pengasuh anak teman saya yang lain (sesama koas juga). Ujian berjalan lancar, laluuuu bukan ujian namanya kalau semuanya lancar – lancar aja. Selalu ada ‘ujian’ di dalam ujian. Pasien teman saya ini pulang kampung ke Tasikmalaya dan resign dari kerjaannya sebagai pengasuh anak teman saya, sebelum pasien ini kontrol ujian. Padahal yang namanya ujian harus dengan kontrol biar ujiannya dianggap sah. Kalang kabutlah teman saya, panik sampai nangis karena mikirnya udah ngulang cari pasien lagi dari awal. Akhirnya setelah telfon pasien dan bujuk – bujuk agar pasien mau balik ke Jogja sebentar, pasien oke balik ke Jogja dengan biaya transportasi dan akomodasi ditanggung teman saya. Tau berapa biaya yang dihabiskan teman saya untuk bisa datengin pasien kontrol Scalling? Satu juta. Demi kontrol ujian yang biaya administrasi di rumah sakitnya cuma delapan ribu rupiah. Demi biar bisa lulus koas cepet (walaupun sebenernya kita udah telat). Satu juta, kalau saya udah nangis darah mau nyari uang kemanaaa dalam waktu singkat demi pasien. Alhamdulillahnya dia akhirnya bisa selesai ujian, dengan perjuangan penuh airmata, uang, dan darah.
Kalau saya? Beda cerita lagi. Saya kurang satu ujian lagi juga untuk bisa ikut ujian Kompre, dan ujian yang dibutuhkan adalah ujian cabut. ‘Waaah gampang dong ujian cabut?’ ‘Enak tuh ujian cabut doang’ ‘Ah masa ujian cabut doang ga bisa?’ Kesannya sih gitu. Kenyataannya juga sama seperti teman saya tadi, saya berbulan – bulan juga mencari pasien yang bisa saya jadikan pasien ujian. Mungkin saya yang terlalu selektif dan hati – hati mencari pasien, karena sebenernya agak keder juga dapet dosen penguji yang saya anggap ‘killer’. Sebenarnya saya sudah maju ujian dengan beliau sekali, ngga berhasil karena time limitnya habis dan pasien akhirnya diambil alih dikerjakan oleh dosen penguji. Ini sih memang kesalahan saya. Tapi pas apes juga mungkin, mood dosen saya waktu itu sedang kurang baik, karena dosen ini memarahi saya di depan pasien (Well, dimarahin dosen tentang kasus pasien itu sudah seperti makanan kita sehari – hari). Tapi untuk pasien ya mungkin kaget juga sih ya karena pasien saya sampai gemetaran takut dan saya jadi ngga enak banget sama pasiennya. Setelah drama ujian pertama selesai, saya harus mengulang ujian, artinya cari pasien lagi. Berhubung waktu terpotong puasa (saat sedang puasa pasien tidak disarankan untuk melakukan pencabutan, setelah buka puasa pasien lebih banyak memilih tarawih aja daripada ke dokter gigi) dan libur lebaran, saya baru bisa cari pasien lagi setelah lebaran. Keliling sana sini, minta teman sana sini akhirnya dapetlah saya kontak si pasien. Setelah pasien saya datangkan dan saya rontgen, saya tinggal janjian jadwal ujian lagi dengan dosen penguji (tetap dosen yang sama dengan yang sebelumnya). Jadwal sudah oke, pas hari H pasien saya ngga ada kabar sama sekali. Dihubungi ngga bisa, dan akhirnya saya batal ujian. Beberapa hari setelahnya pasien saya berkabar dan mengatakan bahwa handphonenya rusak, ya tapi kalau sudah janji setidaknya pasien bisa datang kan? Positive thinking aja, mungkin ngga bisa datang karena lagi service handphone (?). Saya tanya lagi ke pasien bisa kapan untuk mengatur jadwal kembali, dengan berbagai alasan mulai dari sibuk panitia ospek, pulang kampung idul adha, sedang haid (ya memang kalau sedang haid juga tidak terlalu dianjurkan melakukan pencabutan), sampai pasien kembali tidak bisa dihubungi hampir dua minggu sehingga molorlah jadwal ujian saya sampai sudah hampir dua bulan berlalu. Masalahnya untuk kembali nyari pasien dari awal lagi itu nggak mudah, udah punya pasien pun kadang pasiennya ngga kooperatif seperti ini ya menghambat sekali.
Ya begitulah drama dibalik kehidupan koas kita. Ngga semuanya lancar seperti yang dilihat orang dari luar. Ngga semuanya gampang segampang orang – orang yang sering bertanya “KG kan cuma ngurusin gigi doang? Kok koasnya lama?” Hahaha, sering banget ditanya begini. People always judge the book by its cover. They don’t know you until they in exactly the same position with you. And you don’t have to make sure about how far they know you. Jadi yaudah, jalani aja prosesnya dengan ikhlas. Terkadang kita terlalu sibuk memperhatikan bagaimana jalan hidup orang lain terlihat begitu mudah, sehingga lupa bersyukur dan menyadari bahwa setiap apapun yang kita lewati itu selalu ada maksud dan tujuannya dari Yang di Atas. Seperti kata teman saya tadi, setiap orang mempunyai kelokan dan kerikil yang berbeda. And we are blessed in different ways. Barakallah.


Nb: Sampai tulisan ini dipost, saya belum jadi ujian cabut lagi. Kali ini karena jadwal dosennya yang tugas keluar kota. Hiks. Tapi tetap ya semangat karena perjuangan masih belum berakhir.

Senin, 15 Mei 2017

Be wise, please..


                Belakangan ini marak sekali berita baik di online maupun koran nasional menyoroti salah satu tokoh politik yang bermasalah dengan tuduhan penistaan agama. Ya, semua orang sudah tahu; Ahok. Gubernur Jakarta yang dikenal tegas dan blak – blakan (mungkin banyak yang beranggapan cenderung kasar). Beliau berasal dari daerah yang sama dengan saya, Bangka Belitung. Saya Bangka dan beliau Belitung. Bangka Belitung adalah sebuah provinsi dengan pulau yang berbeda. Pulau Bangka dan Belitung dipisahkan oleh selat Belitung, dari yang saya pelajari saat masih duduk di bangku SD. Sering sekali saya bertemu orang baru yang bertanya daerah asal saya, begitu saya jawab Bangka Belitung lantas mereka akan refleks mengatakan “Tetangga Pak Ahok ya?”. Seharusnya saya menjawab tidak, karena memang kita tinggal di pulau yang berbeda. Hanya pulaunya saja yang bertetangga, seperti pulau Bangka bertetangga juga dengan pulau Sumatra. Ya begitulah. Tetapi untuk mempersingkat obrolan biasanya saya hanya menjawab dengan sebuah senyuman.
                Saya tidak kenal Bapak Ahok, karena kami memang tidak bertetangga. Saya hanya tahu beliau dari televisi dan berita saja, bahkan saya juga belum pernah bertemu beliau jadi saya tidak tahu sosok seperti apa beliau. Karena itu saya bukan pendukung Bapak Ahok, bukan pula pembenci Bapak Ahok. Tulisan ini saya buat karena sebenarnya saya cukup gerah dengan banyaknya berita yang menuliskan tentang masalah beliau yang menurut saya terlalu dibesar – besarkan.
                Pertama, beliau dituduh menistakan agama Islam. Ya, saya tidak akan berkomentar banyak tentang hal ini. Karena saya tahu, ternyata mengenai agama merupakan hal yang sangat sensitif untuk dibahas. Terlebih saya bukan orang yang paham betul mengenai agama, rasanya memperdebatkan atau mengulas agama secara mendalam, hmmm ilmu saya masih sangat cetek. Salah bicara justru hanya akan menambah dosa.
                Terlepas dari benar atau tidaknya tuduhan tersebut, kenyataannya Bapak Ahok sekarang berakhir dengan mencicipi dinginnya tidur di balik jeruji besi penjara. Disinilah kegerahan saya mulai timbul. Melihat media yang tidak henti – hentinya membahas kejadian tersebut. Beberapa hari berturut – turut headline news dipenuhi dengan cerita Pak Ahok yang masuk penjara dan para pembenci Pak Ahok yang berpesta pora merayakannya. Tidak sedikit berita yang terkesan menyudutkan, atau sebenarnya tidak menyudutkan tetapi untuk beberapa orang berita tersebut justru menyakitkan. Disini, saya bukan memihak pendukung Pak Ahok yang mungkin kesal setengah mati dengan berita tersebut. Saya tahu, tentu ada kepentingan politik di balik itu semua.
                Media, atau mungkin banyak orang lupa, yang mengkonsumsi berita tersebut bukan hanya pendukung dan pembenci Pak Ahok saja. Pendukung Pak Ahok, tentu akan kesal, sama halnya seperti pembenci Pak Ahok, tentu sangat senang dengan pemberitaan seperti itu. Namun, ada segelintir orang yang kita tidak pernah tahu seberapa besar pengaruh berita semacam itu dalam hidupnya; ya, keluarga. Terutama istri dan anak – anaknya.
                Laki – laki di dunia ini tak terhitung banyaknya, dan semua tidak ada yang sempurna. Termasuk Pak Ahok. Saat ini saya tidak melihat beliau sebagai sosok yang dituduh sebagai seorang penista agama atau pejabat tinggi provinsi, namun saya melihat beliau sebagai sosok kepala keluarga. Ya, kepala keluarga; seorang suami dan seorang ayah. Selama beliau tidak berusaha menciderai anak dan istrinya, seburuk apapun laki – laki, jika dia seorang kepala keluarga tetaplah menjadi sosok yang dihormati dan dicintai.
                Para penulis berita, atau yang menikmati berita semacam itu dengan penuh sukacita, bukankah mereka juga memiliki sosok ayah atau suami atau anak yang mereka cintai? Dan bukankah sosok ayah, suami atau anak yang mereka cintai itu juga pernah melakukan kesalahan? Fatal atau tidaknya kesalahan tersebut, saya rasa sebagai seorang anak atau istri dan juga orangtua pasti akan sangat terluka ketika melihat orang yang kita cintai dan hormati diperlakukan dengan buruk. Posisi itu, memang tidak semua orang bisa mengetahui bagaimana rasanya. Namun saya tahu. Saya tahu dengan jelas bagaimana rasanya melihat orang lain membahas kesalahan yang dilakukan anggota keluargamu berulang – ulang, saya tahu dengan jelas bagaimana sedihnya melihat ibu atau saudaramu menangis membaca berita – berita semacam itu di koran atau internet, saya juga tahu dengan jelas bagaimana rasanya saling menguatkan anggota keluargamu satu sama lain setelah membaca berita tersebut.
                Pendukung Pak Ahok pasti marah dan sedih, tapi mereka tidak akan lebih sedih dari anak, istri dan orangtua sosok yang didukungnya. Pendukung Pak Ahok pasti merasa tersakiti, tapi mereka tidak akan lebih tersakiti dari anak, istri dan orangtua sosok yang didukungnya. Saya rasa hati dan nurani media sudah lama mati untuk menyadari keberadaan sosok keluarga dibalik setiap sosok yang dibicarakannya. Bukan hanya Pak Ahok, tetapi siapa saja yang kesalahannya digambarkan secara gamblang dan nyata oleh media.
                Bisa jadi media tidak salah, toh memang tugas mereka memberikan informasi ke masyarakat yang dikemas semenarik mungkin untuk bisa dikomentari secara bebas oleh siapa saja. Tapi sebagai pemberi dan penerima informasi, bukankah kita juga harus menyisipkan sisi kemanusiaan untuk menyikapi setiap pemberitaan? Saya sering sekali membaca artikel atau tulisan yang setelahnya menimbulkan beragam komentar pedas atau buruk terhadap sosok yang dibicarakan dalam artikel. Salah satu contohnya ya Pak Ahok tadi. Sekali lagi saya tekankan, saya bukan pembela Pak Ahok. Masyarakat dengan gampang sekali mengucapkan kata kasar atau menghakimi seseorang hanya lewat segelintir berita yang tidak mutlak kebenarannya. Tidak sedikit juga yang akhirnya ikut membully keluarga sosok yang dibicarakannya. Hey, you’re so damn immature! Dalam hal ini saya kembalikan lagi, seharusnya mereka bisa lebih menahan opininya hanya untuk menghargai perasaan keluarga sosok yang akan dikomentarinya. Semua orang memang bebas berbicara atau mengungkapkan pendapat apapun, tetapi bukankah yang paling mengenal kita adalah orang yang selalu berada di sisi kita, yang menghabiskan waktu bersama kita, yang menemani saat suka dan duka?
                Saya sangat berharap masyarakat saat ini bisa jauh lebih bijak menyikapi berbagai pemberitaan, baik pembuat berita maupun yang mengkonsumsi berita. Jangan berkomentar sembarangan jika memang tidak tahu duduk persoalannya. Jangan menghakimi seseorang hanya melalui salah satu sikap yang ditunjukkannya. Terlebih lagi, jangan memukul rata sikap buruk seseorang ke keluarga atau sukunya. Everyone makes mistakes. Dan kita bukan Tuhan yang bebas menghakimi seseorang. Hukum yang berlaku di negara, biarkan saja berjalan seperti seharusnya. Tidak perlu ditentang, karena sejatinya kita tahu hukum paling adil adalah yang datangnya dari Allah SWT. Kita hanya perlu SALING menasihati jika melakukan kesalahan, dan MENDOAKAN agar kita dan orang tersebut tidak melakukan kesalahan yang sama di hari akan datang. Jadi sebelum berujar, gunakanlah pikiran dan hati. Karena kita semua ini hanya manusia biasa, tidak ada yang sempurna.
 

This Template Was Found On Elfrida Chania's Blog