Allahumma jurnii fi mushibati wakhuflii khoiron minha. (Ya Allah
berikanlah pahala dalam musibahku ini dan berikanlah ganti kepadaku yang lebih
baik darinya)...
Suatu siang ibu saya mengirimkan
sms yang berisi sepenggal doa diatas. Ketika saya tanya kenapa, beliau hanya
menjawab “Dibaca saja”. Saya termasuk orang yang memiliki sisi emosional yang
cukup sensitif untuk hal – hal seperti di atas. Bagaimana saya memahami makna
dibalik kejadian singkat tersebut sebagai bentuk kasih sayang seorang ibu untuk
anaknya, membuat airmata saya tanpa disadari menetes.
Saya sadar, setiap orang memiliki
cara mencintai yang berbeda. Dan saya sadar pula, meskipun memiliki cara yang
berbeda setiap orang memiliki tujuan yang sama; membuat orang yang dicintai
berbahagia.
Ibu. Saya tidak menjelaskan
secara rinci masalah yang sedang saya hadapi, tentu salah satu alasannya karena
saya tidak ingin membuat beliau khawatir dan cemas. Dan beliau tanpa perlu
‘menuntut’ cerita panjang lebar mengirimkan sebuah doa yang beliau harapkan
bisa membuat saya tenang. Ibu saya, setelah memarahi saya karena sikap saya
yang begitu keras kepala langsung menangis di dalam kamar. Ibu saya, menelfon
hingga belasan kali jika malam hari saya tak ada kabar. Ibu saya, setiap malam
mengingatkan untuk tidak lupa mengunci pintu kamar sebelum tidur. Dan bentuk
ketulusan cintanya yang lain.
Bapak. Saya selalu bingung
mengungkapkan bagaimana bentuk cinta seorang Bapak. Mungkin sama seperti Bapak
lain pada umumnya yang ada di dunia. Beliau adalah sosok yang jarang bertanya
dan bercerita, entah apa alasannya. Pertanyaan wajib ketika Bapak menelfon saya
hanya ada dua: Teteh sehat? dan Sudah sholat? Selebihnya terkadang waktu
ditelfon hanya dihabiskan untuk saling diam. Namun yang saya ketahui di balik
diam Bapak, beliau adalah sosok yang setiap hari selalu bangun tengah malam
hanya untuk mendoakan saya. Bapak saya, adalah sosok yang langsung buru – buru menutup telfon
ketika tahu saya mengangkat telfon dalam keadaan tidur atau sedang berada di
jalan. Bapak saya, adalah sosok yang hanya memperlihatkan mata berkaca – kaca ketika melihat foto
wisuda saya. Dan entah berapa banyak lagi beban yang beliau pikul karena
mencintai saya.
Adek. Teman tumbuh besar bersama,
meski di awal hubungan kami tidak sebaik sekarang. Saya tahu seberapa banyak
kami saling tidak menyukai sewaktu masih kecil. Dan kini saya tahu seberapa
banyak kami saling mencintai. Dia yang tidak pernah mengeluh ketika saya
hubungi hanya jika saya sedang ada masalah. Dia yang hanya diam mendengarkan
isak tangis saya lalu saya tutup telfon ketika tangis saya mereda. Dia yang
hanya berkata “You always be mentioned in my prayer” ketika saya meminta ‘doain
teteh’. Dia yang selalu berusaha menahan airmata setiap kali mengantarkan saya
kembali ke tanah rantau. Lalu saya tidak menyadari dia tumbuh sedewasa itu dalam
mencintai.
Dari mereka saya belajar
bagaimana tulusnya mencintai. Saya sering salah memahami bahwa mencintai
ternyata bukan hanya sekedar mengatakan ‘saya cinta kamu’ atau ‘I love you’. Bahwa
mencintai bukan sekedar berusaha untuk selalu bersama setiap waktu. Beberapa
waktu yang lalu, obrolan ringan dengan salah seorang teman di warung soto
membuat saya sadar bahwa selama ini saya seringkali mencintai dengan cara yang
salah.
“Gigih, apakah kamu benar – benar
mencintai atau hanya berambisi memiliki?” Untuk beberapa saat saya diam hingga
saya menjawab “Saya mencintai,”. Lalu teman saya itu melanjutkan kalimatnya
“Kalau kamu mencintai seseorang, maka kamu akan mendoakan dia untuk selalu
bahagia.”
Ya, bahwa selama ini saya hanya
sibuk mempertahankan orang yang saya cintai untuk selalu berada di samping
saya. Bahwa selama ini saya hanya memastikan orang yang saya cintai untuk tidak
meninggalkan saya. Bahwa selama ini saya lupa bagaimana cara mencintai dengan
ketulusan. Bahwa selama ini saya salah memilih cara mencintai. Bahwa selama ini
saya menutup mata untuk menyadari mencintai tak selalu harus memiliki.
Ibu, bapak, adek, tentu mereka
tahu bahwa saya tak selamanya akan berada di samping mereka. Mereka paling tahu
bahwa suatu saat saya akan pergi (meski hati dan jiwa saya tidak pernah meninggalkan
mereka), namun mereka tidak pernah berhenti mencintai. Mereka tidak pernah
berhenti mendoakan. Mereka tidak pernah membenci. Dan mereka selalu menghargai.
Saya lupa bahwa dari semuanya,
hanya Allah SWT lah yang maha memiliki. Maka akan menjadi sangat tidak tahu
diri jika saya selalu berambisi untuk memiliki, tapi tidak meminta kepadaNya.
Saya, harus banyak belajar bagaimana caranya selalu menyisipkan ketulusan dalam
mencintai. Dan iya, saya harus banyak mendalami bahwa cara mencintai terbaik
adalah selalu mendoakan yang terbaik pula untuk orang yang kita cintai.

0 komentar:
Posting Komentar