Rabu, 29 Maret 2017

Masih tersisa 3 jam lagi..



Beberapa tahun kemarin, setiap tahun, pada tanggal ini Kania selalu sibuk. Sibuk merayakan hari spesial untuk seseorang yang dulu spesial juga. Tapi tidak lagi tahun ini, meskipun beberapa bulan kemarin masih Kania bayangkan betapa sibuknya dia pada hari ini. Mempersiapkan segala sesuatu, kue ulang tahun misalnya.
Kania hari ini memang sibuk. Sibuk kerja. Sibuk kesana kemari menemui klien. Sibuk menggarap laporan. Sibuk chat dengan teman – teman. Sibuk menonton film di laptop. Dan sibuk lainnya yang dia sengajakan agar tidak sadar bahwa hari ini, tanggal 29 belum berakhir. Kania takut tidak tahan untuk tidak mengucapkan sekedar kalimat ‘Selamat Ulang Tahun’. Maka jika tidak ada yang bisa dia lakukan untuk melewati waktu dengan cepat, dia akan memilih untuk tidur saja. Biar ucapan dan doa itu terucap manis di dalam hati. Tak perlu orang lain tahu.
Setahun yang lalu, Kania sibuk membuat kue ulang tahun sendiri dengan peralatan memasak seadanya dan hasil kue yang ala kadarnya. Bolos kerja, sejak pagi Kania berkeliling mencari bahan untuk hiasan kue. Tidak ada perayaan yang begitu istimewa, hanya tiup lilin berdua lalu Albert berangkat kerja.
Dua tahun yang lalu, Kania mengucapkan ‘Selamat Ulang Tahun’ tepat jam 12 malam di depan gerbang rumahnya saat Albert mengantarnya pulang setelah jalan – jalan seharian bersama teman – temannya. Siangnya, mereka melakukan ritual tiup lilin bersama meski bukan dengan lilin ulang tahun, tapi lilin rumah. Kado yang diberikan pun biasa saja, cenderung aneh malah. Jas hujan. Saat itu memang musim hujan, dan Albert selalu kehujanan setiap pergi keluar rumah karena jas hujannya dipinjam teman.
Tiga tahun yang lalu, meski tidak bersama Kania tetap merayakan ulang tahun Albert dengan membeli kue ulang tahun dan meniup lilin sendiri. Saat itu, sama seperti saat ini, Kania bahkan tak tahu bersama siapa Albert merayakan ulang tahunnya.
Empat tahun yang lalu, Kania bersama teman – temannya dan teman kuliah Albert datang ke kos Albert membangunkan dan memberikan kue ulang tahun. Sorenya, dirumah salah satu teman, seperti anak ABG mereka bermain tepung dan berakhir dengan menceburkan diri ke kolam renang di rumah temannya dan pulang dalam keadaan pakainan basah semua.
Lima tahun yang lalu, Kania membelikan cupcakes 3D berjumlah empat buah bergambarkan lelaki, buku dan secangkir kopi. Sebelum berangkat kuliah, Kania menyempatkan untuk mampir ke kontrakan Albert demi membangunkan Albert yang masih tertidur pulas dan memberikan kue ulang tahun. Tidak lupa kado spesial dia siapkan, kumpulan puisi Albert untuk Kania yang dia jadikan sebuah buku.
Enam tahun yang lalu, bersama teman – teman SMA Kania memberikan kejutan ulang tahun di rumah salah satu teman Albert. Meski hanya dengan kue sederhana, tetapi mereka sungguh bahagia bermain tepung, telur dan air di halaman rumah. Tak peduli berapa banyak orang di jalanan yang menoleh heran melihat bagaimana berisiknya mereka berkejar – kejaran dan saling berteriak tertawa.
Tujuh tahun yang lalu, Kania membuat kue ulang tahun bersama teman – temannya di rumah. Kue yang dihiasi dengan beberapa mainan bebek kecil diberikan oleh Kania dan teman – teman SMA nya di alun – alun kota masih dengan menggunakan seragam sekolah. Setelah itu, Albert pun diceburkan ke salah satu kolam air mancur berbau tidak sedap di tengah alun – alun.
Delapan tahun yang lalu, Kania masih malu – malu untuk membeli dan memberikan kue ulang tahun ke Albert. Hanya sebuah jaket hodie berwarna cokelat yang diberikan. Itu pun Kania harus keliling ke beberapa toko dengan sahabatnya untuk mencari kado yang paling bagus untuk Albert.
Ya, kurang lebih delapan tahun sudah Kania selalu menyiapkan sesuatu yang istimewa pada tanggal itu. Kini, tanggal itu masih tetap istimewa. Tapi tidak untuk Kania rayakan bersama lagi. Kania sungguh tahu, kehadirannya tidak lagi dibutuhkan di hari itu. Maka tak ada yang bisa dia lakukan sekarang selain berpura – pura menganggap hari ini seperti hari biasa.
Seorang perempuan kurus tinggi mengguncang tubuh Kania, membangunkan Kania yang tertidur di depan laptop sambil duduk.
“Kania, bangun! Ayo pulang, sudah malam. Pak Anto sudah mau kunci pintu,” teriak Ambar.
Kania bangun dari tidur. Sambil mengusap kedua matanya Kania melirik jam dinding berwarna coklat di tengah ruangan. Jarum pendek mengarah ke angka 9, dan jarum panjang mengarah ke angka 12. Kania dengan buru – buru mematikan laptop dan membereskan barang – barang bawaan.
Dia bergumam dalam hati, “Ternyata masih tersisa tiga jam lagi.”
***

Minggu, 26 Maret 2017

Berakhir Bahagia?



Tahu istilah anak muda jaman sekarang ‘baper’? Keadaan dimana emosi kita terbawa suasana yang sedang dialami saat itu, atau mungkin bisa disamakan juga dengan ‘terlalu diambil hati’ dan semacamnya. Bukan, saya bukan sedang ingin membahas definisi baper. Saya tidak terlalu berbakat mendefinisikan atau mendeskripsikan arti sesuatu. Saya hanya sekedar ingin sharing, bahwa keadaan baper ini juga sering terjadi pada saya di malam hari (nggak penting sih).
Sepertinya hampir beberapa minggu belakangan ini saya memiliki gangguan tidur. Saya sering terbangun tengah malam dalam keadaan menangis. Pipi dan hidung saya basah, pernah suatu kali dada saya sesak seperti habis terisak dan mata saya bengkak. Padahal saya tidak bermimpi buruk, saya juga tidak sedang memikirkan sesuatu yang menyedihkan sebelum tidur. Satu atau dua kali mungkin masih bisa dimaklumi, ketika terlalu sering saya rasa kondisi tersebut cukup mengganggu. Terlebih sebelumnya saya sudah kesulitan tidur, jadi setelah bisa tertidur namun harus sering terbangun benar – benar mengganggu waktu istirahat saya.
Lalu apa yang saya lakukan di malam hari saat terbangun dari tidur? Apa saja. Kadang saya menonton film di laptop sampai pagi, kadang saya mengerjakan tugas kuliah/koas, kadang saya hanya main games di hp, kadang saya membaca buku, apa saja saya lakukan untuk mengisi waktu hingga bisa tertidur lagi. Suatu malam, saya terbangun dari tidur dan entah mengapa saya langsung membuka sosial media instagram. Saya nggak tahu apa memang saat ini teman – teman atau follower saya sedang musim nikah atau bukan, tetapi setiap buka instagram selalu lihat foto prewedding, pernikahan atau honeymoon. Dan situasi ini lama kelamaan membuat saya ‘baper’.
Malam itu saya baper sekali. Melihat banyaknya foto pernikahan di instagram memunculkan niat menikah yang menggebu – gebu. Saya ingin ada yang menenangkan ketika terbangun di malam hari dalam keadaan menangis. Saya ingin memiliki teman bercerita ketika saya kesulitan untuk tidur. Saya ingin memiliki seseorang yang selalu mengingatkan dan memperhatikan waktu istirahat saya. Dan banyak keinginan lainnya yang hanya dirasakan jika saya sudah menikah.
Malam itu saya baper sekali. Mengingat usia saya yang tidak lagi bisa dianggap remaja (menuju 25 tahun) dan usia orangtua saya yang sudah menua (50 tahun-an), membuat saya ingin segera menikah. Menikah, menikah dan menikah. Kata tersebut cukup membayang – bayang di kepala saya untuk beberapa waktu, bahwa saya ingin segera menikah.
Sebenarnya, saya sempat berpikir apakah menikah seindah itu sehingga banyak sekali (termasuk saya) yang ingin segera menikah? Seindah foto – foto yang sering saya lihat di media sosial. Seindah cerita teman – teman yang sudah menikah tentang bagaimana romantisnya pasangan mereka. Seindah kata – kata bijak yang sering saya baca baik dari buku atau dari media sosial. Karena hingga sejauh ini, saya belum pernah membayangkan bagaimana sulitnya kehidupan setelah menikah. Sempat terlintas di benak saya apakah karena tidak ada teman bercerita sehingga saya ingin menikah? Tidak juga. Setelah putus mungkin saya memang merasa kehilangan tempat untuk bercerita segala hal, tapi setidaknya jika hanya untuk bercerita hal itu masih bisa saya atasi. Saya masih memiliki sahabat yang dapat ditelfon kapan saja ketika saya butuh teman untuk bercerita apapun, dan begitu pun sebaliknya ketika mereka membutuhkan saya. Saya juga masih memiliki keluarga yang selalu memberikan perhatian kecil seperti mengingatkan untuk makan atau tidak begadang.
Yang saya tahu menikah itu membuat hidup lebih bahagia. Apalagi menikah berlandaskan cinta. Karena banyak juga orang yang menikah belum berlandaskan cinta tetapi mereka tetap bahagia. Dan bukankah bahagia adalah tujuan hidup semua orang? Termasuk saya. Maka pada titik ini saya bertanya lagi apakah untuk bahagia setelah menikah diperlukan cinta dulu sebelumnya? Lebih jelasnya mungkin apakah kita harus mencintai seseorang yang akan kita nikahi terlebih dahulu agar setelah menikah bisa hidup bahagia? Mungkin jawabannya tidak. Mengingat kenyataan yang tadi saya sebutkan bahwa banyak yang belum mencintai saat menikah tetapi tetap bahagia setelah menikah. Banyak pula yang baru belajar mencintai setelah menikah. And it’s not bad.
Malam itu saya baper sekali. Saya tidak tahu apakah cinta yang membuat bahagia atau menikahlah yang membuat bahagia. Tapi saya ingin menikah. Saya pernah mencoba mencintai terlebih dahulu sebelum memutuskan menikah tapi tidak berakhir bahagia. Maka kali ini saya ingin menikah terlebih dahulu lalu mencoba mencintai. Saya ingin menikah lalu berakhir mati bahagia.

Sabtu, 11 Maret 2017

Saat Hati Berjanji

                 Kania melirik jam berwarna hitam yang melingkar cantik di tangan sebelah kirinya. Sudah pukul 16.05. Dikembalikan pandangannya menatap lurus ke depan menuju jalan raya yang dipenuhi kendaraan berbaris antri menunggu lampu hijau yang tak kunjung menyala. Sama seperti seseorang yang sedang ditunggu Kania saat ini, tak kunjung datang. Hampir 30 menit berlalu, Kania masih duduk sendiri di salah satu sudut cafe lantai dua yang bernuansa rustic tersebut. Sore ini ia memiliki janji untuk bertemu dengan salah satu teman lelakinya, Ardi.
                Pandangan Kania terpaku pada sepasang murid laki – laki dan perempuan berseragam SMA yang berboncengan mengendarai motor di jalan raya depan cafe. Mereka asyik mengobrol dan tertawa – tawa di atas motor. Tanpa disadari Kania tersenyum tipis menyaksikan pemandangan tersebut. Entah mengapa, pemandangan tersebut tiba – tiba membawa Kania kembali ke kenangan beberapa tahun lalu. Kenangan yang selama ini, khususnya setahun belakangan ini selalu menghantui pikiran Kania. 

***
8 tahun yang lalu, pada tanggal, bulan, dan jam yang sama.

                “Kania, mau kemana?” tanya Dewi.
                “Aku ke parkiran sebentar ya. Ada yang ketinggalan di motor,” jawab Kania. Lalu dengan terburu – buru dia melangkah keluar kelas meninggalkan kedua temannya yang menatap bingung. Bukankah mereka tidak membawa apa – apa di motor tadi?
                Tangan Kania dingin, matanya sebentar – sebentar menatap ke arah kelas mengawasi kedua temannya. Sore ini mereka memiliki janji untuk belajar bersama di kelas. Dan Kania, ternyata tak hanya memiliki satu janji dengan kedua temannya tadi. Dia juga memiliki janji untuk bertemu seseorang di tempatnya kini berdiri, mushola sekolah.
                “Albert, kamu dimana?” teriak kecil Kania. Dia melongokkan kepala kesana kemari mencari sosok yang dipanggilnya tadi. Albert, dia adalah teman sekolah Kania. Mereka bukan teman sekelas, hanya teman satu organisasi sekolah saja. Beberapa minggu terakhir ini, bisa dikatakan mereka cukup dekat meski tak pernah ditunjukkan didepan teman – teman mereka. Hanya intensitas sms yang meningkat dibanding biasanya. Dan siang sepulang sekolah tadi, Albert memberanikan diri menyatakan perasaannya kepada Kania. Seperti remaja pada umumnya, Albert meminta Kania untuk menjadi pacarnya. Dan karena alasan itulah kini Kania berada di mushola sekolah untuk memberikan jawaban atas pertanyaan Albert siang tadi.
                “Maaf maaf, aku ketiduran. Aku menunggumu dari tadi,”
                Seorang remaja laki – laki muncul dari dalam mushola sambil mengusap – usap kedua matanya yang merah karena baru bangun tidur. Masih menggunakan celana seragam sekolah dan jaket putih, Albert duduk di hadapan Kania membuat Kania salah tingkah.
“Jadi, bagaimana jawabannya? Apa kamu mau menerimaku?” lanjutnya lagi.
                Kania menunduk menghindari tatapan remaja laki – laki di hadapannya. Hatinya berdebar tak karuan. Jawaban yang sudah dia siapkan dari rumah terasa tercekat di tenggorokan berat untuk diucapkan. Entah kapan terakhir kali Kania merasakan hal seperti ini. Untuk beberapa waktu Kania hanya bisa diam hingga akhirnya muncullah suara kecil dari bibirnya. “Ya, aku mau.” Dengan tersipu malu Kania menjawab dibalas dengan senyuman lebar Albert.

***
                “Kania, maaf aku terlambat. Tadi ada beberapa pekerjaan tambahan yang harus aku selesaikan sebelum kesini. Kamu sudah lama menunggu?”
                Kania menggeleng sambil tersenyum, “Aku juga baru sampai kok,”
                “Sudah pesan makanan? Kamu mau pesan apa?” Ardi membuka menu makanan yang ada di meja dan membaca dengan seksama. Hening sejenak. Ardi fokus kepada menu makanan di depannya. Kania menatap Ardi lalu menundukkan pandangannya.
                “Maaf Ar, aku harus pergi. Aku lupa aku sudah memiliki janji lain sebelumnya,”
                Ardi mendongakkan kepala menatap Kania, kaget. “Kania, aku baru sampai.”
                “Maaf sekali Ar, aku harus pergi. Ternyata aku tidak bisa.”
                Kania mengambil tas dan bergegas pergi meninggalkan Ardi yang terduduk diam. Ada yang tak bisa Kania bohongi. Ada yang tak bisa Kania paksakan. Perasaan.
                Ardi adalah sosok lelaki baik. Dia selalu membelikan Kania makan jika dilihatnya Kania terlalu sibuk bekerja. Dia yang selalu mengantarkan Kania pulang ke rumah jika Kania lembur hingga malam hari. Dia selalu membantu Kania menyelesaikan beberapa pekerjaan yang menumpuk. Dia yang selalu menjadi tempat Kania menceritakan keluh kesahnya. Dan beberapa bulan belakangan ini dia habiskan waktu hanya untuk menunggu jawaban Kania.
                Kania sangat menyadari dari awal bahwa Ardi memiliki perasaan khusus terhadap dirinya. Perhatian yang Ardi berikan bukan hanya sekedar perhatian seperti sesama teman biasa. Bukan pula bermaksud mempermainkan, Kania hanya ingin mencoba.
                Kepada Ardi, Kania mencoba untuk membuka hatinya. Kania hanya berusaha untuk melanjutkan hidupnya tanpa memikirkan sosok laki – laki dari masa lalunya. Kania hanya ingin memulai lembaran baru seperti yang sudah dilakukan laki – laki tersebut. Namun semakin dia berusaha menerima Ardi untuk hadir dalam hidupnya, semakin kuat pula sosok dari masa lalu itu muncul di kepalanya. Setiap kali Ardi memberikan perhatian khusus kepada Kania, setiap kali itu pula kenangan dari masa lalu muncul kembali ke hadapannya. Dan hal itu membuat Kania merasa sangat bersalah. Iya, bersalah terhadap Ardi yang tulus kepadanya.
                Sore ini, Kania memutuskan untuk berhenti memberi harapan kepada Ardi. Hal itu tak hanya akan menyakiti hati Ardi, tetapi juga dirinya sendiri. Hatinya remuk diiringi airmata yang tumpah. Dia merasa begitu buruk memperlakukan Ardi selama ini. Dia merasa begitu buruk mengkhianati perasaannya sendiri. Dia merasa begitu buruk melihat dirinya sendiri.
                Sejak delapan tahun yang lalu, Kania berjanji pada dirinya sendiri untuk menjaga hatinya selalu hanya untuk satu laki – laki. Janji yang tak pernah diminta oleh siapa – siapa, tetapi cukup membuat Kania susah bernafas seperti saat ini. Meski berkali – kali ditinggalkan, tak menyurutkan Kania untuk tetap menjaga janjinya hingga saat ini. Bahkan disaat Kania tahu bahwa tak ada lagi kesempatan untuk berbahagia bersama laki – laki itu, dia tak pernah melupakan janjinya.
                Laki – laki itu, Albert. Setelah pertemuan singkat di depan mushola sekolah, Kania menutup hatinya rapat – rapat kepada laki – laki lain selain Albert. Kania tak tahu apa yang begitu istimewa dari sosok Albert hingga dia tak mampu membuka sedikit celah untuk laki – laki lain di hatinya. Kania tak tahu bagaimana caranya berhenti memikirkan Albert, padahal hubungan mereka sudah berakhir lebih dari satu tahun yang lalu dan tidak lama lagi Albert akan menikah dengan kekasih barunya. Yang Kania tahu bahwa hingga selama ini hatinya hanya untuk Albert. Yang Kania tahu bahwa hingga selama ini dia hanya berharap pada Albert. Yang Kania tahu bahwa hingga selama ini dia tak bisa meninggalkan Albert.

Kamis, 09 Maret 2017

Bapak



Malam ini, tanpa sebab saya merindukan Bapak. Saat mendengar suara Bapak di telfon, tanpa disadari mata saya berkaca – kaca. Sungguh, saya merindukan beliau. Laki – laki nomor satu dalam hidup saya. Entahlah, malam ini begitu melankoli membayangkan sosok beliau.
Kisah ini, untuk pertama kalinya saya gambarkan lagi di kepala setelah hampir lima tahun terakhir saya coba lupakan dan saya anggap tak pernah terjadi..
Sudah hampir lima tahun kami hidup terpisah. Bapak, satu – satunya laki – laki yang ada di rumah lima tahun yang lalu terpaksa harus meninggalkan rumah dan hidup terpisah dengan saya, Ibu, dan adik perempuan saya satu - satunya. Iya, Bapak saya lima tahun yang lalu masuk penjara, kasus Tipikor. 31 Juli 2012, setelah ashar saat bulan Ramadhan. Saya, Ibu dan adik saya berada di ruang keluarga sambil menonton tv saat handphone ibu berdering. Panggilan masuk dari Bapak. Cukup satu kalimat saja yang Bapak ucapkan saat itu mampu membuat hati kami bertiga hancur sehancur - sehancurnya. “Bu, maaf mulai hari ini Bapak ngga bisa pulang ke rumah.”
Ibu menangis tanpa suara. Adik saya terisak. Dan saya hanya bisa terdiam. Saya peluk Ibu dan Adik saya berusaha untuk menenangkan meski hati saya saat itu bergemuruh hebat. Saya ajak mereka sholat ashar. Selesai sholat, beberapa mobil berhenti tepat di halaman depan rumah kami. Bapak turun dari salah satu mobil didampingi banyak petugas kejaksaan dan pegawai kantornya. Ibu bergegas keluar kamar dan pecahlah tangis kedua orangtua saya sambil berpelukan di depan orang – orang asing yang tidak saya kenal itu. Adik saya menangis ditutupi bantal di dalam kamar. Dan saya hanya berdiri mematung menyaksikan bagaimana tatapan sinis orang – orang asing tersebut melihat kedua orangtua saya menangis berpelukan. Pernahkah kalian membayangkan menyaksikan hal tersebut di depan kedua mata kalian sendiri. Bagaimana Ibu dan Bapak saya yang menangis sedih dipandang rendah oleh orang lain yang bahkan belum pernah saya lihat sebelumnya.
Setelah Ibu berkemas menyiapkan baju ganti Bapak, Bapak menghampiri dan memeluk saya. Dengan suara bergetar dan airmata yang berusaha ditahan beliau berkata, “Maafkan Bapak mengecewakan Teteh. Tolong jaga Ibu dan Adek.” Hati saya hancur lebur. 20 tahun hidup di dunia, tidak ada kalimat yang lebih menyedihkan dari permintaan maaf Bapak yang saya dengar saat itu.
Bapak adalah sosok yang disegani oleh adik – adik dan teman kantornya, tetapi begitu hangat dan konyol saat berada di rumah. Bapak yang selalu menjaga sikap dan tidak banyak berbicara saat berada di tengah adik – adik dan teman kantornya, tetapi selalu bertingkah gila di depan istri dan anaknya. Bapak yang pada malam hari tiba – tiba memakai kacamata hitam dan berjoged di depan tv saat kami sedang menonton, Bapak yang tengah malam tiba – tiba membongkar isi kulkas dan memasakkan kami nasi goreng campur, Bapak yang sering sekali menyanyikan lagu dengan lirik yang diganti sesuka hati, Bapak yang jika diajak selfie selalu menampilkan pose aneh, Bapak yang mengikat celana pendeknya yang kedodoran dengan karet, dan banyak lagi tingkah Bapak yang hanya ditunjukkan Beliau saat berada di rumah bersama istri dan anaknya. Sungguh, saya merindukan itu semua.

Kebahagiaan Saya 💕👫
Selama hampir lima tahun, rumah sepi tanpa suara lawakan Bapak, suara ngorok Bapak, atau suara marah Bapak. Tidak ada laki – laki di rumah itu. Dan saya berusaha sekuat mungkin menggantikan sedikit peran Bapak setiap pulang ke rumah. Mengecat dinding, memotong rumput, memanjat jendela untuk mengganti gorden, antar jemput ibu dan adek, mengangkat barang – barang besar, atau memasang paku ditembok untuk menggantung sesuatu. Tapi tetap tak sempurna tanpa kehadiran Bapak.

Salah satu pose konyol Bapak

Beberapa moment penting dalam hidup saya dilewati tanpa kehadiran Bapak. Salah satunya saat wisuda. Bapak tidak bisa hadir menyaksikan langsung saya memakai toga. Bapak tidak bisa bergabung untuk ikut foto keluarga setelah saya wisuda. Saya ingat betul saat itu langkah saya terasa sangat berat ketika berjalan menuju Rektor untuk menerima ijazah sarjana. Betapa saya ingin sekali Bapak mendengarkan langsung nama saya dipanggil ke depan dan melihat langsung ke layar besar yang menyorot wajah saya lewat kamera. Tapi hingga hari itu berakhir, saya harus tetap bahagia dengan menerima bahwa Bapak memang tidak bisa hadir di tengah – tengah kita.
Malam ini, semua ingatan tentang Bapak membuat mendung hati saya. Saya teringat sebuah lagu lawas berjudul AYAH yang selalu membuat saya menangis setiap kali mendengarnya. Ayah, dengarkanlah.. aku ingin berjumpa walau hanya dalam mimpi. Saya selalu kehilangan kata – kata setiap bertemu beliau, bahkan saya belum pernah mengatakan bahwa saya mencintai beliau. Saya bahkan tidak sanggup berkata bahwa Bapaklah satu – satunya laki – laki hebat dalam hidup saya. Bahwa Bapaklah satu – satunya laki – laki yang rela mengorbakan hidupnya demi saya. Bahwa Bapaklah satu – satunya laki – laki yang akan selalu melindungi saya hingga akhir waktu.
Saya merindukan Bapak. Saya merindukan sosok hangat Bapak. Saya merindukan semuanya tentang Bapak. Bapak, sudah terlalu lama saya menahan rindu untuk Bapak tanpa pernah saya ungkapkan. Semoga kita segera berkumpul kembali....

 

This Template Was Found On Elfrida Chania's Blog