Kamis, 09 Maret 2017

Bapak



Malam ini, tanpa sebab saya merindukan Bapak. Saat mendengar suara Bapak di telfon, tanpa disadari mata saya berkaca – kaca. Sungguh, saya merindukan beliau. Laki – laki nomor satu dalam hidup saya. Entahlah, malam ini begitu melankoli membayangkan sosok beliau.
Kisah ini, untuk pertama kalinya saya gambarkan lagi di kepala setelah hampir lima tahun terakhir saya coba lupakan dan saya anggap tak pernah terjadi..
Sudah hampir lima tahun kami hidup terpisah. Bapak, satu – satunya laki – laki yang ada di rumah lima tahun yang lalu terpaksa harus meninggalkan rumah dan hidup terpisah dengan saya, Ibu, dan adik perempuan saya satu - satunya. Iya, Bapak saya lima tahun yang lalu masuk penjara, kasus Tipikor. 31 Juli 2012, setelah ashar saat bulan Ramadhan. Saya, Ibu dan adik saya berada di ruang keluarga sambil menonton tv saat handphone ibu berdering. Panggilan masuk dari Bapak. Cukup satu kalimat saja yang Bapak ucapkan saat itu mampu membuat hati kami bertiga hancur sehancur - sehancurnya. “Bu, maaf mulai hari ini Bapak ngga bisa pulang ke rumah.”
Ibu menangis tanpa suara. Adik saya terisak. Dan saya hanya bisa terdiam. Saya peluk Ibu dan Adik saya berusaha untuk menenangkan meski hati saya saat itu bergemuruh hebat. Saya ajak mereka sholat ashar. Selesai sholat, beberapa mobil berhenti tepat di halaman depan rumah kami. Bapak turun dari salah satu mobil didampingi banyak petugas kejaksaan dan pegawai kantornya. Ibu bergegas keluar kamar dan pecahlah tangis kedua orangtua saya sambil berpelukan di depan orang – orang asing yang tidak saya kenal itu. Adik saya menangis ditutupi bantal di dalam kamar. Dan saya hanya berdiri mematung menyaksikan bagaimana tatapan sinis orang – orang asing tersebut melihat kedua orangtua saya menangis berpelukan. Pernahkah kalian membayangkan menyaksikan hal tersebut di depan kedua mata kalian sendiri. Bagaimana Ibu dan Bapak saya yang menangis sedih dipandang rendah oleh orang lain yang bahkan belum pernah saya lihat sebelumnya.
Setelah Ibu berkemas menyiapkan baju ganti Bapak, Bapak menghampiri dan memeluk saya. Dengan suara bergetar dan airmata yang berusaha ditahan beliau berkata, “Maafkan Bapak mengecewakan Teteh. Tolong jaga Ibu dan Adek.” Hati saya hancur lebur. 20 tahun hidup di dunia, tidak ada kalimat yang lebih menyedihkan dari permintaan maaf Bapak yang saya dengar saat itu.
Bapak adalah sosok yang disegani oleh adik – adik dan teman kantornya, tetapi begitu hangat dan konyol saat berada di rumah. Bapak yang selalu menjaga sikap dan tidak banyak berbicara saat berada di tengah adik – adik dan teman kantornya, tetapi selalu bertingkah gila di depan istri dan anaknya. Bapak yang pada malam hari tiba – tiba memakai kacamata hitam dan berjoged di depan tv saat kami sedang menonton, Bapak yang tengah malam tiba – tiba membongkar isi kulkas dan memasakkan kami nasi goreng campur, Bapak yang sering sekali menyanyikan lagu dengan lirik yang diganti sesuka hati, Bapak yang jika diajak selfie selalu menampilkan pose aneh, Bapak yang mengikat celana pendeknya yang kedodoran dengan karet, dan banyak lagi tingkah Bapak yang hanya ditunjukkan Beliau saat berada di rumah bersama istri dan anaknya. Sungguh, saya merindukan itu semua.

Kebahagiaan Saya 💕👫
Selama hampir lima tahun, rumah sepi tanpa suara lawakan Bapak, suara ngorok Bapak, atau suara marah Bapak. Tidak ada laki – laki di rumah itu. Dan saya berusaha sekuat mungkin menggantikan sedikit peran Bapak setiap pulang ke rumah. Mengecat dinding, memotong rumput, memanjat jendela untuk mengganti gorden, antar jemput ibu dan adek, mengangkat barang – barang besar, atau memasang paku ditembok untuk menggantung sesuatu. Tapi tetap tak sempurna tanpa kehadiran Bapak.

Salah satu pose konyol Bapak

Beberapa moment penting dalam hidup saya dilewati tanpa kehadiran Bapak. Salah satunya saat wisuda. Bapak tidak bisa hadir menyaksikan langsung saya memakai toga. Bapak tidak bisa bergabung untuk ikut foto keluarga setelah saya wisuda. Saya ingat betul saat itu langkah saya terasa sangat berat ketika berjalan menuju Rektor untuk menerima ijazah sarjana. Betapa saya ingin sekali Bapak mendengarkan langsung nama saya dipanggil ke depan dan melihat langsung ke layar besar yang menyorot wajah saya lewat kamera. Tapi hingga hari itu berakhir, saya harus tetap bahagia dengan menerima bahwa Bapak memang tidak bisa hadir di tengah – tengah kita.
Malam ini, semua ingatan tentang Bapak membuat mendung hati saya. Saya teringat sebuah lagu lawas berjudul AYAH yang selalu membuat saya menangis setiap kali mendengarnya. Ayah, dengarkanlah.. aku ingin berjumpa walau hanya dalam mimpi. Saya selalu kehilangan kata – kata setiap bertemu beliau, bahkan saya belum pernah mengatakan bahwa saya mencintai beliau. Saya bahkan tidak sanggup berkata bahwa Bapaklah satu – satunya laki – laki hebat dalam hidup saya. Bahwa Bapaklah satu – satunya laki – laki yang rela mengorbakan hidupnya demi saya. Bahwa Bapaklah satu – satunya laki – laki yang akan selalu melindungi saya hingga akhir waktu.
Saya merindukan Bapak. Saya merindukan sosok hangat Bapak. Saya merindukan semuanya tentang Bapak. Bapak, sudah terlalu lama saya menahan rindu untuk Bapak tanpa pernah saya ungkapkan. Semoga kita segera berkumpul kembali....

0 komentar:

Posting Komentar

 

This Template Was Found On Elfrida Chania's Blog