Kania
melirik jam berwarna hitam yang melingkar cantik di tangan sebelah kirinya.
Sudah pukul 16.05. Dikembalikan pandangannya menatap lurus ke depan menuju
jalan raya yang dipenuhi kendaraan berbaris antri menunggu lampu hijau yang tak
kunjung menyala. Sama seperti seseorang yang sedang ditunggu Kania saat ini,
tak kunjung datang. Hampir 30 menit berlalu, Kania masih duduk sendiri di salah
satu sudut cafe lantai dua yang bernuansa rustic tersebut. Sore ini ia memiliki
janji untuk bertemu dengan salah satu teman lelakinya, Ardi.
Pandangan
Kania terpaku pada sepasang murid laki – laki dan perempuan berseragam SMA yang
berboncengan mengendarai motor di jalan raya depan cafe. Mereka asyik mengobrol
dan tertawa – tawa di atas motor. Tanpa disadari Kania tersenyum tipis
menyaksikan pemandangan tersebut. Entah mengapa, pemandangan tersebut tiba –
tiba membawa Kania kembali ke kenangan beberapa tahun lalu. Kenangan yang
selama ini, khususnya setahun belakangan ini selalu menghantui pikiran Kania.
***
8 tahun yang lalu, pada tanggal, bulan, dan jam yang sama.
“Kania,
mau kemana?” tanya Dewi.
“Aku
ke parkiran sebentar ya. Ada yang ketinggalan di motor,” jawab Kania. Lalu
dengan terburu – buru dia melangkah keluar kelas meninggalkan kedua temannya
yang menatap bingung. Bukankah mereka tidak membawa apa – apa di motor tadi?
Tangan
Kania dingin, matanya sebentar – sebentar menatap ke arah kelas mengawasi kedua
temannya. Sore ini mereka memiliki janji untuk belajar bersama di kelas. Dan
Kania, ternyata tak hanya memiliki satu janji dengan kedua temannya tadi. Dia
juga memiliki janji untuk bertemu seseorang di tempatnya kini berdiri, mushola
sekolah.
“Albert,
kamu dimana?” teriak kecil Kania. Dia melongokkan kepala kesana kemari mencari
sosok yang dipanggilnya tadi. Albert, dia adalah teman sekolah Kania. Mereka
bukan teman sekelas, hanya teman satu organisasi sekolah saja. Beberapa minggu
terakhir ini, bisa dikatakan mereka cukup dekat meski tak pernah ditunjukkan
didepan teman – teman mereka. Hanya intensitas sms yang meningkat dibanding
biasanya. Dan siang sepulang sekolah tadi, Albert memberanikan diri menyatakan
perasaannya kepada Kania. Seperti remaja pada umumnya, Albert meminta Kania
untuk menjadi pacarnya. Dan karena alasan itulah kini Kania berada di mushola
sekolah untuk memberikan jawaban atas pertanyaan Albert siang tadi.
“Maaf
maaf, aku ketiduran. Aku menunggumu dari tadi,”
Seorang
remaja laki – laki muncul dari dalam mushola sambil mengusap – usap kedua
matanya yang merah karena baru bangun tidur. Masih menggunakan celana seragam
sekolah dan jaket putih, Albert duduk di hadapan Kania membuat Kania salah
tingkah.
“Jadi, bagaimana jawabannya? Apa
kamu mau menerimaku?” lanjutnya lagi.
Kania
menunduk menghindari tatapan remaja laki – laki di hadapannya. Hatinya berdebar
tak karuan. Jawaban yang sudah dia siapkan dari rumah terasa tercekat di
tenggorokan berat untuk diucapkan. Entah kapan terakhir kali Kania merasakan
hal seperti ini. Untuk beberapa waktu Kania hanya bisa diam hingga akhirnya
muncullah suara kecil dari bibirnya. “Ya, aku mau.” Dengan tersipu malu Kania
menjawab dibalas dengan senyuman lebar Albert.
***
“Kania,
maaf aku terlambat. Tadi ada beberapa pekerjaan tambahan yang harus aku
selesaikan sebelum kesini. Kamu sudah lama menunggu?”
Kania
menggeleng sambil tersenyum, “Aku juga baru sampai kok,”
“Sudah
pesan makanan? Kamu mau pesan apa?” Ardi membuka menu makanan yang ada di meja
dan membaca dengan seksama. Hening sejenak. Ardi fokus kepada menu makanan di
depannya. Kania menatap Ardi lalu menundukkan pandangannya.
“Maaf
Ar, aku harus pergi. Aku lupa aku sudah memiliki janji lain sebelumnya,”
Ardi
mendongakkan kepala menatap Kania, kaget. “Kania, aku baru sampai.”
“Maaf
sekali Ar, aku harus pergi. Ternyata aku tidak bisa.”
Kania
mengambil tas dan bergegas pergi meninggalkan Ardi yang terduduk diam. Ada yang
tak bisa Kania bohongi. Ada yang tak bisa Kania paksakan. Perasaan.
Ardi
adalah sosok lelaki baik. Dia selalu membelikan Kania makan jika dilihatnya
Kania terlalu sibuk bekerja. Dia yang selalu mengantarkan Kania pulang ke rumah
jika Kania lembur hingga malam hari. Dia selalu membantu Kania menyelesaikan
beberapa pekerjaan yang menumpuk. Dia yang selalu menjadi tempat Kania
menceritakan keluh kesahnya. Dan beberapa bulan belakangan ini dia habiskan
waktu hanya untuk menunggu jawaban Kania.
Kania
sangat menyadari dari awal bahwa Ardi memiliki perasaan khusus terhadap
dirinya. Perhatian yang Ardi berikan bukan hanya sekedar perhatian seperti
sesama teman biasa. Bukan pula bermaksud mempermainkan, Kania hanya ingin
mencoba.
Kepada
Ardi, Kania mencoba untuk membuka hatinya. Kania hanya berusaha untuk
melanjutkan hidupnya tanpa memikirkan sosok laki – laki dari masa lalunya.
Kania hanya ingin memulai lembaran baru seperti yang sudah dilakukan laki –
laki tersebut. Namun semakin dia berusaha menerima Ardi untuk hadir dalam
hidupnya, semakin kuat pula sosok dari masa lalu itu muncul di kepalanya.
Setiap kali Ardi memberikan perhatian khusus kepada Kania, setiap kali itu pula
kenangan dari masa lalu muncul kembali ke hadapannya. Dan hal itu membuat Kania
merasa sangat bersalah. Iya, bersalah terhadap Ardi yang tulus kepadanya.
Sore
ini, Kania memutuskan untuk berhenti memberi harapan kepada Ardi. Hal itu tak
hanya akan menyakiti hati Ardi, tetapi juga dirinya sendiri. Hatinya remuk
diiringi airmata yang tumpah. Dia merasa begitu buruk memperlakukan Ardi selama
ini. Dia merasa begitu buruk mengkhianati perasaannya sendiri. Dia merasa
begitu buruk melihat dirinya sendiri.
Sejak
delapan tahun yang lalu, Kania berjanji pada dirinya sendiri untuk menjaga
hatinya selalu hanya untuk satu laki – laki. Janji yang tak pernah diminta oleh
siapa – siapa, tetapi cukup membuat Kania susah bernafas seperti saat ini. Meski
berkali – kali ditinggalkan, tak menyurutkan Kania untuk tetap menjaga janjinya
hingga saat ini. Bahkan disaat Kania tahu bahwa tak ada lagi kesempatan untuk
berbahagia bersama laki – laki itu, dia tak pernah melupakan janjinya.
Laki
– laki itu, Albert. Setelah pertemuan singkat di depan mushola sekolah, Kania
menutup hatinya rapat – rapat kepada laki – laki lain selain Albert. Kania tak
tahu apa yang begitu istimewa dari sosok Albert hingga dia tak mampu membuka
sedikit celah untuk laki – laki lain di hatinya. Kania tak tahu bagaimana
caranya berhenti memikirkan Albert, padahal hubungan mereka sudah berakhir
lebih dari satu tahun yang lalu dan tidak lama lagi Albert akan menikah dengan
kekasih barunya. Yang Kania tahu bahwa hingga selama ini hatinya hanya untuk
Albert. Yang Kania tahu bahwa hingga selama ini dia hanya berharap pada Albert.
Yang Kania tahu bahwa hingga selama ini dia tak bisa meninggalkan Albert.

0 komentar:
Posting Komentar