Sabtu, 11 Maret 2017

Saat Hati Berjanji

                 Kania melirik jam berwarna hitam yang melingkar cantik di tangan sebelah kirinya. Sudah pukul 16.05. Dikembalikan pandangannya menatap lurus ke depan menuju jalan raya yang dipenuhi kendaraan berbaris antri menunggu lampu hijau yang tak kunjung menyala. Sama seperti seseorang yang sedang ditunggu Kania saat ini, tak kunjung datang. Hampir 30 menit berlalu, Kania masih duduk sendiri di salah satu sudut cafe lantai dua yang bernuansa rustic tersebut. Sore ini ia memiliki janji untuk bertemu dengan salah satu teman lelakinya, Ardi.
                Pandangan Kania terpaku pada sepasang murid laki – laki dan perempuan berseragam SMA yang berboncengan mengendarai motor di jalan raya depan cafe. Mereka asyik mengobrol dan tertawa – tawa di atas motor. Tanpa disadari Kania tersenyum tipis menyaksikan pemandangan tersebut. Entah mengapa, pemandangan tersebut tiba – tiba membawa Kania kembali ke kenangan beberapa tahun lalu. Kenangan yang selama ini, khususnya setahun belakangan ini selalu menghantui pikiran Kania. 

***
8 tahun yang lalu, pada tanggal, bulan, dan jam yang sama.

                “Kania, mau kemana?” tanya Dewi.
                “Aku ke parkiran sebentar ya. Ada yang ketinggalan di motor,” jawab Kania. Lalu dengan terburu – buru dia melangkah keluar kelas meninggalkan kedua temannya yang menatap bingung. Bukankah mereka tidak membawa apa – apa di motor tadi?
                Tangan Kania dingin, matanya sebentar – sebentar menatap ke arah kelas mengawasi kedua temannya. Sore ini mereka memiliki janji untuk belajar bersama di kelas. Dan Kania, ternyata tak hanya memiliki satu janji dengan kedua temannya tadi. Dia juga memiliki janji untuk bertemu seseorang di tempatnya kini berdiri, mushola sekolah.
                “Albert, kamu dimana?” teriak kecil Kania. Dia melongokkan kepala kesana kemari mencari sosok yang dipanggilnya tadi. Albert, dia adalah teman sekolah Kania. Mereka bukan teman sekelas, hanya teman satu organisasi sekolah saja. Beberapa minggu terakhir ini, bisa dikatakan mereka cukup dekat meski tak pernah ditunjukkan didepan teman – teman mereka. Hanya intensitas sms yang meningkat dibanding biasanya. Dan siang sepulang sekolah tadi, Albert memberanikan diri menyatakan perasaannya kepada Kania. Seperti remaja pada umumnya, Albert meminta Kania untuk menjadi pacarnya. Dan karena alasan itulah kini Kania berada di mushola sekolah untuk memberikan jawaban atas pertanyaan Albert siang tadi.
                “Maaf maaf, aku ketiduran. Aku menunggumu dari tadi,”
                Seorang remaja laki – laki muncul dari dalam mushola sambil mengusap – usap kedua matanya yang merah karena baru bangun tidur. Masih menggunakan celana seragam sekolah dan jaket putih, Albert duduk di hadapan Kania membuat Kania salah tingkah.
“Jadi, bagaimana jawabannya? Apa kamu mau menerimaku?” lanjutnya lagi.
                Kania menunduk menghindari tatapan remaja laki – laki di hadapannya. Hatinya berdebar tak karuan. Jawaban yang sudah dia siapkan dari rumah terasa tercekat di tenggorokan berat untuk diucapkan. Entah kapan terakhir kali Kania merasakan hal seperti ini. Untuk beberapa waktu Kania hanya bisa diam hingga akhirnya muncullah suara kecil dari bibirnya. “Ya, aku mau.” Dengan tersipu malu Kania menjawab dibalas dengan senyuman lebar Albert.

***
                “Kania, maaf aku terlambat. Tadi ada beberapa pekerjaan tambahan yang harus aku selesaikan sebelum kesini. Kamu sudah lama menunggu?”
                Kania menggeleng sambil tersenyum, “Aku juga baru sampai kok,”
                “Sudah pesan makanan? Kamu mau pesan apa?” Ardi membuka menu makanan yang ada di meja dan membaca dengan seksama. Hening sejenak. Ardi fokus kepada menu makanan di depannya. Kania menatap Ardi lalu menundukkan pandangannya.
                “Maaf Ar, aku harus pergi. Aku lupa aku sudah memiliki janji lain sebelumnya,”
                Ardi mendongakkan kepala menatap Kania, kaget. “Kania, aku baru sampai.”
                “Maaf sekali Ar, aku harus pergi. Ternyata aku tidak bisa.”
                Kania mengambil tas dan bergegas pergi meninggalkan Ardi yang terduduk diam. Ada yang tak bisa Kania bohongi. Ada yang tak bisa Kania paksakan. Perasaan.
                Ardi adalah sosok lelaki baik. Dia selalu membelikan Kania makan jika dilihatnya Kania terlalu sibuk bekerja. Dia yang selalu mengantarkan Kania pulang ke rumah jika Kania lembur hingga malam hari. Dia selalu membantu Kania menyelesaikan beberapa pekerjaan yang menumpuk. Dia yang selalu menjadi tempat Kania menceritakan keluh kesahnya. Dan beberapa bulan belakangan ini dia habiskan waktu hanya untuk menunggu jawaban Kania.
                Kania sangat menyadari dari awal bahwa Ardi memiliki perasaan khusus terhadap dirinya. Perhatian yang Ardi berikan bukan hanya sekedar perhatian seperti sesama teman biasa. Bukan pula bermaksud mempermainkan, Kania hanya ingin mencoba.
                Kepada Ardi, Kania mencoba untuk membuka hatinya. Kania hanya berusaha untuk melanjutkan hidupnya tanpa memikirkan sosok laki – laki dari masa lalunya. Kania hanya ingin memulai lembaran baru seperti yang sudah dilakukan laki – laki tersebut. Namun semakin dia berusaha menerima Ardi untuk hadir dalam hidupnya, semakin kuat pula sosok dari masa lalu itu muncul di kepalanya. Setiap kali Ardi memberikan perhatian khusus kepada Kania, setiap kali itu pula kenangan dari masa lalu muncul kembali ke hadapannya. Dan hal itu membuat Kania merasa sangat bersalah. Iya, bersalah terhadap Ardi yang tulus kepadanya.
                Sore ini, Kania memutuskan untuk berhenti memberi harapan kepada Ardi. Hal itu tak hanya akan menyakiti hati Ardi, tetapi juga dirinya sendiri. Hatinya remuk diiringi airmata yang tumpah. Dia merasa begitu buruk memperlakukan Ardi selama ini. Dia merasa begitu buruk mengkhianati perasaannya sendiri. Dia merasa begitu buruk melihat dirinya sendiri.
                Sejak delapan tahun yang lalu, Kania berjanji pada dirinya sendiri untuk menjaga hatinya selalu hanya untuk satu laki – laki. Janji yang tak pernah diminta oleh siapa – siapa, tetapi cukup membuat Kania susah bernafas seperti saat ini. Meski berkali – kali ditinggalkan, tak menyurutkan Kania untuk tetap menjaga janjinya hingga saat ini. Bahkan disaat Kania tahu bahwa tak ada lagi kesempatan untuk berbahagia bersama laki – laki itu, dia tak pernah melupakan janjinya.
                Laki – laki itu, Albert. Setelah pertemuan singkat di depan mushola sekolah, Kania menutup hatinya rapat – rapat kepada laki – laki lain selain Albert. Kania tak tahu apa yang begitu istimewa dari sosok Albert hingga dia tak mampu membuka sedikit celah untuk laki – laki lain di hatinya. Kania tak tahu bagaimana caranya berhenti memikirkan Albert, padahal hubungan mereka sudah berakhir lebih dari satu tahun yang lalu dan tidak lama lagi Albert akan menikah dengan kekasih barunya. Yang Kania tahu bahwa hingga selama ini hatinya hanya untuk Albert. Yang Kania tahu bahwa hingga selama ini dia hanya berharap pada Albert. Yang Kania tahu bahwa hingga selama ini dia tak bisa meninggalkan Albert.

0 komentar:

Posting Komentar

 

This Template Was Found On Elfrida Chania's Blog