Selasa, 08 Mei 2018

Sebut saja Cerpen (1)


Katanya ide bisa muncul dimana saja dan kapan saja. Seperti saat dua hari yang lalu malam sepulang kerja, ntah apa yang sedang saya pikirkan, sambil melamun tanpa saya sadari motor melaju hingga ke Jalan Kaliurang hampir menuju ringroad dari Jalan Godean. Sudah melewati kos saya. Padahal niat awalnya pulang kerja cari makan lalu pulang. Akhirnya motor saya hentikan di sebuah warung Gudeg pinggir jalan. Setelah membeli sebungkus nasi Gudeg, saya memutar motor menuju kos. Tapi lagi – lagi sambil melamun, saya bablas hingga hampir ke daerah Kotabaru. Untung segera setelah sadar saya belokkan stang motor ke arah Tugu Jogja untuk pulang. Dan di Jalan pulang inilah tiba – tiba muncul ide untuk menulis sebuah cerita. Saya tulis saja, agar ide ini tidak menguap. Meskipun tanpa judul..



-Tanpa Judul-




                Saat ini pukul setengah tiga pagi. Oh tidak, aku telat bangun. Mungkin karena aku baru tidur kurang lebih empat setengah jam dari pukul sepuluh malam tadi. Tapi cukuplah. Mengingat hari ini akan menjadi hari yang sangat panjang dan melelahkan untukku. Kupikir aku bisa tidur nanti saja setelah hari ini berlalu. Segera aku ambil handuk lalu mandi. Aku harus cepat, karena sudah telat.
                Setelah mandi aku bergegas keluar kamar. Sepi. Bahkan suara jangkrik pun tak terdengar di rumah ini. Baiklah, sepertinya yang lain masih tidur. Tapi bukankah tidak seharusnya mereka masih tertidur jam segini? Hari ini acara pentingku! Mereka harus bersiap – siap. Dan Ah, seharusnya mereka (dan aku tentunya) sudah mandi. Sebentar lagi para perias datang.
                Ku gedor pintu kamar Ayah dan Bunda sambil berteriak “Bundaaa, Ayaaah. Sudah bangun belum?” lalu aku bergegas ke pintu kamar berikutnya yaitu kamar Stella adikku. “Stellaaa, ayo banguuuun!”
                Kulirik jam dinding di ruang tengah, sudah hampir jam tiga pagi. Lalu ku liat layar kaca di handphoneku. Tidak ada apa – apa. Aku mengernyitkan dahi. Mulai cemas.
Bunda dan Ayah keluar dari kamar. Stella juga.
                “Bun, sudah hampir jam tiga kenapa periasnya belum datang? Mereka ngabarin Bunda ngga? Kok di Hpku ngga ada notif apa – apa ya? Ditelfon aja Bun, udah telat loh.”
                Bunda duduk di sofa, juga Ayah. Oke, untuk menghemat waktu apakah aku harus mengenakan gaun dulu? Tapi..
                “Bunda, gaunku mana? Sepertinya semalam sudah kugantung disitu?” Ya, aku yakin benar semalam sebelum tidur sudah menggantung gaunku di depan kamar. Kemana sekarang?! Siapa yang berani memindahkannya? Kalian tidak tahu kan, gaunku itu -yang berwarna gold- adalah gaun pertama yang aku disain sendiri saat aku duduk di kelas 2 SMA. Dan saat itu aku memiliki impian bahwa nanti aku akan mengenakan gaun yang kubuat sendiri itu di hari pernikahanku dengan pria yang aku cintai. Butuh waktu kurang lebih 3 bulan di sela – sela waktu bekerja untuk menyelesaikan gaun tersebut, karena aku ingin terlihat sempurna. Mulai dari memilih bahan hingga memasang detail berlian, aku tak mempercayakan pada orang lain. Ya, gaun itu kukatakan 95% hasil tanganku sendiri.
                Bunda hanya diam ketika kutanyakan kemana gaunku. Kulirik Stella, dia menunjuk ke arah kamar dengan dagunya. “Tolong ambilkan Stel. Dan kau, ayo mandiii. Kau liat kan sekarang sudah jam berapa? Ngga lucu kalau kita semua telat. Oh ya Bunda, sudah ditelfon belum periasnya?”
                Aku mulai panik. Kuambil handphone untuk menelpon Atta, tunanganku yang hari ini akan menjadi suamiku. Ya, hari ini kami akhirnya akan menikah. Setelah hampir enam tahun berjuang untuk sampai saat ini karena orangtua kami yang saling tidak memberikan restu. Alasannya, karena kami berdua berbeda keyakinan. Atta muslim, dan aku kristiani. Dan kami adalah pasangan yang berusaha menghargai perbedaan tersebut dengan tidak saling memaksa satu sama lain untuk memiliki keyakinan yang sama. Sulit memang. Namun, terlepas dari semua masalah yang sudah kami lewati itu, kami hanya ingin hari ini dapat berbagi kebahagiaan. Kami hanya ingin cinta kami berakhir indah.
                Nomor Atta tidak dapat dihubungi. Dan itu membuatku semakin panik. Bagaimana bisa di saat seperti ini Atta tidak bisa dihubungi? Perias juga belum datang. Seluruh orang di rumah baru bangun, dan belum bersiap – siap. Wah bisa gila rasanya. Aku jengkel sekali. Dan lihatlah, bahkan Ayah, Bunda dan Stella belum beranjak dari tempatnya. Tidak bisakah mereka bergegas?
                “Bundaaa, Ayaaah, Stellaaa. Kalian sedang apaaa? Ayo donggg bergegas. Kalian ngga mau kan lihat hari bahagiaku berantakan?” Aku mengatakan itu dengan hampir menangis sambil tetap berusaha menghubungi Atta, meskipun hasilnya masih sama. Nomornya tidak aktif, tidak bisa dihubungi.
                “Siska, Nak, berhentilah.” Bunda berucap lirih.
                Aku menatap Bunda. Harusnya Bunda tahu aku sedang panik, kenapa Bunda berbicara seperti itu? Hanya membuatku semakin kesal dan ingin marah. “Bunda lagi ngga melarang pernikahan aku terjadi kan?” Aku takut sekali Bunda kembali tidak merestui kami. Dan pikiran itu harus kusingkirkan jauh – jauh.
                “Jangan diteruskan lagi Siska.” Kali ini Bunda mengatakan hal itu sambil menitikkan airmata. Dan itu malah membuatku marah. Tidak boleh. Bunda sudah berjanji merestui kami. Bunda sudah tidak mempermasalahkan hubungan kami lagi. Aku lirik Ayah, beliau menundukkan kepala. Ku lirik Stella, dia pun mulai menangis. Ah tolonglah, kenapa kalian berubah di saat seperti ini. Dan Atta, kamu dimana?! Situasi seperti apa ini?! Kutelfon lagi Atta, tetap tidak aktif.
                “Atta kamu kemana?! Atta!! Atta!!” Airmataku mulai mengalir, aku pun bingung karena sepertinya aku hanya marah. Apa kalian bersekongkol mempermainkanku? Atau bersekongkol menyakitiku? Sungguh aku tidak mengerti situasi macam apa ini. Aku merasa dikhianati, bukan hanya oleh Atta yang tiba – tiba tidak bisa dihubungi, tetapi juga oleh keluargaku yang mendadak seperti ingin menghancurkan harapanku. Sementara aku bingung harus berbuat apa, tangisan Bunda semakin deras diikuti Stella. Kalian.. bisa bisanya kalian menangis membuatku semakin marah. Membuatku merasa bersalah. Membuatku merasa sakit hati. Membuatku merasa susah bernafas. Dan Atta kamu dimana!!! Kamu harus membantuku. Kita sudah berjanji akan berjuang hingga akhir. Kita sudah berjanji aku selalu bersama. Kamu dimana Atta, bantu akuuu.
                Aku panik. Aku kalut. “Apapun yang terjadi, aku akan tetap menikah dengan Atta!!”
                Plakk!!!
                Ayah menamparku keras. Aku terduduk.
                “Sadar Siska!! Atta sudah pergi seminggu yang lalu. Dia sudah meninggal!!”
                Aku lemas mendengar perkataan Ayah. Tidak mungkin Atta sudah pergi. Tidak mungkin Atta meninggal seminggu yang lalu. Kami masih mengantarkan undangan bersama saat itu. Pulangnya, kami masih mendatangi gedung pernikahan kami untuk memastikan semua berjalan seperti yang kami inginkan. Aku masih ingat jelas Atta menggenggam tanganku berjalan keluar gedung dan berkata “Kita akan berjalan keluar gedung ini sebagai suami dan istri. Kamu yang pertama dan terakhir untukku” Dan.. tiba – tiba aku ingat setelah itu ada sebuah mobil menabrak Atta dari belakang hingga Atta terpental. Atta berlumuran darah memandangku. Dan semuanya mendadak gelap sama seperti saat ini.

0 komentar:

Posting Komentar

 

This Template Was Found On Elfrida Chania's Blog