Katanya ide bisa muncul dimana
saja dan kapan saja. Seperti saat dua hari yang lalu malam sepulang kerja, ntah
apa yang sedang saya pikirkan, sambil melamun tanpa saya sadari motor melaju
hingga ke Jalan Kaliurang hampir menuju ringroad dari Jalan Godean. Sudah
melewati kos saya. Padahal niat awalnya pulang kerja cari makan lalu pulang.
Akhirnya motor saya hentikan di sebuah warung Gudeg pinggir jalan. Setelah
membeli sebungkus nasi Gudeg, saya memutar motor menuju kos. Tapi lagi – lagi sambil
melamun, saya bablas hingga hampir ke daerah Kotabaru. Untung segera setelah
sadar saya belokkan stang motor ke arah Tugu Jogja untuk pulang. Dan di Jalan
pulang inilah tiba – tiba muncul ide untuk menulis sebuah cerita. Saya tulis saja, agar ide ini tidak menguap. Meskipun tanpa judul..
-Tanpa Judul-
Saat
ini pukul setengah tiga pagi. Oh tidak, aku telat bangun. Mungkin karena aku baru
tidur kurang lebih empat setengah jam dari pukul sepuluh malam tadi. Tapi cukuplah.
Mengingat hari ini akan menjadi hari yang sangat panjang dan melelahkan untukku.
Kupikir aku bisa tidur nanti saja setelah hari ini berlalu. Segera aku ambil
handuk lalu mandi. Aku harus cepat, karena sudah telat.
Setelah
mandi aku bergegas keluar kamar. Sepi. Bahkan suara jangkrik pun tak terdengar
di rumah ini. Baiklah, sepertinya yang lain masih tidur. Tapi bukankah tidak
seharusnya mereka masih tertidur jam segini? Hari ini acara pentingku! Mereka
harus bersiap – siap. Dan Ah, seharusnya mereka (dan aku tentunya) sudah mandi.
Sebentar lagi para perias datang.
Ku
gedor pintu kamar Ayah dan Bunda sambil berteriak “Bundaaa, Ayaaah. Sudah
bangun belum?” lalu aku bergegas ke pintu kamar berikutnya yaitu kamar Stella
adikku. “Stellaaa, ayo banguuuun!”
Kulirik
jam dinding di ruang tengah, sudah hampir jam tiga pagi. Lalu ku liat layar
kaca di handphoneku. Tidak ada apa – apa. Aku mengernyitkan dahi. Mulai cemas.
Bunda dan Ayah keluar dari kamar.
Stella juga.
“Bun,
sudah hampir jam tiga kenapa periasnya belum datang? Mereka ngabarin Bunda
ngga? Kok di Hpku ngga ada notif apa – apa ya? Ditelfon aja Bun, udah telat
loh.”
Bunda
duduk di sofa, juga Ayah. Oke, untuk menghemat waktu apakah aku harus
mengenakan gaun dulu? Tapi..
“Bunda,
gaunku mana? Sepertinya semalam sudah kugantung disitu?” Ya, aku yakin benar
semalam sebelum tidur sudah menggantung gaunku di depan kamar. Kemana
sekarang?! Siapa yang berani memindahkannya? Kalian tidak tahu kan, gaunku itu -yang
berwarna gold- adalah gaun pertama yang aku disain sendiri saat aku duduk di
kelas 2 SMA. Dan saat itu aku memiliki impian bahwa nanti aku akan mengenakan
gaun yang kubuat sendiri itu di hari pernikahanku dengan pria yang aku cintai.
Butuh waktu kurang lebih 3 bulan di sela – sela waktu bekerja untuk
menyelesaikan gaun tersebut, karena aku ingin terlihat sempurna. Mulai dari
memilih bahan hingga memasang detail berlian, aku tak mempercayakan pada orang
lain. Ya, gaun itu kukatakan 95% hasil tanganku sendiri.
Bunda
hanya diam ketika kutanyakan kemana gaunku. Kulirik Stella, dia menunjuk ke
arah kamar dengan dagunya. “Tolong ambilkan Stel. Dan kau, ayo mandiii. Kau
liat kan sekarang sudah jam berapa? Ngga lucu kalau kita semua telat. Oh ya
Bunda, sudah ditelfon belum periasnya?”
Aku
mulai panik. Kuambil handphone untuk menelpon Atta, tunanganku yang hari ini
akan menjadi suamiku. Ya, hari ini kami akhirnya akan menikah. Setelah hampir
enam tahun berjuang untuk sampai saat ini karena orangtua kami yang saling tidak
memberikan restu. Alasannya, karena kami berdua berbeda keyakinan. Atta muslim,
dan aku kristiani. Dan kami adalah pasangan yang berusaha menghargai perbedaan tersebut
dengan tidak saling memaksa satu sama lain untuk memiliki keyakinan yang sama.
Sulit memang. Namun, terlepas dari semua masalah yang sudah kami lewati itu, kami
hanya ingin hari ini dapat berbagi kebahagiaan. Kami hanya ingin cinta kami
berakhir indah.
Nomor
Atta tidak dapat dihubungi. Dan itu membuatku semakin panik. Bagaimana bisa di
saat seperti ini Atta tidak bisa dihubungi? Perias juga belum datang. Seluruh
orang di rumah baru bangun, dan belum bersiap – siap. Wah bisa gila rasanya.
Aku jengkel sekali. Dan lihatlah, bahkan Ayah, Bunda dan Stella belum beranjak
dari tempatnya. Tidak bisakah mereka bergegas?
“Bundaaa,
Ayaaah, Stellaaa. Kalian sedang apaaa? Ayo donggg bergegas. Kalian ngga mau kan
lihat hari bahagiaku berantakan?” Aku mengatakan itu dengan hampir menangis
sambil tetap berusaha menghubungi Atta, meskipun hasilnya masih sama. Nomornya
tidak aktif, tidak bisa dihubungi.
“Siska,
Nak, berhentilah.” Bunda berucap lirih.
Aku
menatap Bunda. Harusnya Bunda tahu aku sedang panik, kenapa Bunda berbicara
seperti itu? Hanya membuatku semakin kesal dan ingin marah. “Bunda lagi ngga
melarang pernikahan aku terjadi kan?” Aku takut sekali Bunda kembali tidak
merestui kami. Dan pikiran itu harus kusingkirkan jauh – jauh.
“Jangan
diteruskan lagi Siska.” Kali ini Bunda mengatakan hal itu sambil menitikkan
airmata. Dan itu malah membuatku marah. Tidak boleh. Bunda sudah berjanji
merestui kami. Bunda sudah tidak mempermasalahkan hubungan kami lagi. Aku lirik
Ayah, beliau menundukkan kepala. Ku lirik Stella, dia pun mulai menangis. Ah
tolonglah, kenapa kalian berubah di saat seperti ini. Dan Atta, kamu dimana?!
Situasi seperti apa ini?! Kutelfon lagi Atta, tetap tidak aktif.
“Atta
kamu kemana?! Atta!! Atta!!” Airmataku mulai mengalir, aku pun bingung karena
sepertinya aku hanya marah. Apa kalian bersekongkol mempermainkanku? Atau
bersekongkol menyakitiku? Sungguh aku tidak mengerti situasi macam apa ini. Aku
merasa dikhianati, bukan hanya oleh Atta yang tiba – tiba tidak bisa dihubungi,
tetapi juga oleh keluargaku yang mendadak seperti ingin menghancurkan
harapanku. Sementara aku bingung harus berbuat apa, tangisan Bunda semakin
deras diikuti Stella. Kalian.. bisa bisanya kalian menangis membuatku semakin
marah. Membuatku merasa bersalah. Membuatku merasa sakit hati. Membuatku merasa
susah bernafas. Dan Atta kamu dimana!!! Kamu harus membantuku. Kita sudah
berjanji akan berjuang hingga akhir. Kita sudah berjanji aku selalu bersama.
Kamu dimana Atta, bantu akuuu.
Aku
panik. Aku kalut. “Apapun yang terjadi, aku akan tetap menikah dengan Atta!!”
Plakk!!!
Ayah
menamparku keras. Aku terduduk.
“Sadar
Siska!! Atta sudah pergi seminggu yang lalu. Dia sudah meninggal!!”
Aku
lemas mendengar perkataan Ayah. Tidak mungkin Atta sudah pergi. Tidak mungkin
Atta meninggal seminggu yang lalu. Kami masih mengantarkan undangan bersama
saat itu. Pulangnya, kami masih mendatangi gedung pernikahan kami untuk
memastikan semua berjalan seperti yang kami inginkan. Aku masih ingat jelas
Atta menggenggam tanganku berjalan keluar gedung dan berkata “Kita akan
berjalan keluar gedung ini sebagai suami dan istri. Kamu yang pertama dan
terakhir untukku” Dan.. tiba – tiba aku ingat setelah itu ada sebuah mobil
menabrak Atta dari belakang hingga Atta terpental. Atta berlumuran darah
memandangku. Dan semuanya mendadak gelap sama seperti saat ini.

0 komentar:
Posting Komentar